Reaksi Warga
Reaksi warga terhadap eksperimen pertama Josefa, Didimus, dan Teguh di ladang mereka sangatlah bervariasi, mencerminkan perbedaan pandangan dan harapan dalam komunitas Kampung Tabonji. Setelah pengumuman hasil pertama mereka, beberapa warga terlihat antusias dan optimis terhadap perubahan yang mungkin terjadi, sementara yang lain tetap skeptis dan ingin melihat lebih banyak bukti sebelum sepenuhnya menerima pendekatan baru ini.
Pagi itu, Josefa mengadakan pertemuan informal di teras rumah panggungnya dengan beberapa warga yang menunjukkan minat awal dalam proyek pertanian baru mereka.
"Pak Leo, saya sangat menghargai minat Bapak dalam proyek ini. Kami benar-benar membutuhkan dukungan dari para petani berpengalaman seperti Bapak," kata Josefa sambil menyesap minuman kelapa.
Pak Leo, yang awalnya skeptis, melihat langsung matahari pagi memantulkan sinarnya ke ladang tempat mereka melakukan eksperimen. "Josefa, saya akan terus melihat perkembangan ini dengan hati terbuka. Namun, saya berharap kita dapat terus berdiskusi tentang langkah-langkah berikutnya," ujarnya dengan nada yang lebih lunak dari sebelumnya.
Josefa tersenyum mengangguk. "Tentu, Pak Leo. Kami akan memastikan bahwa setiap langkah yang kami ambil melibatkan partisipasi dan persetujuan dari seluruh komunitas."
Sementara itu, di sebelah mereka, beberapa pemuda dan pemudi duduk di atas tikar pandan, berdiskusi panjang dengan Didimus tentang teknik pengolahan tanah yang mereka pelajari dari tim. Renata, adik Josefa, tampak bersemangat saat mengajukan pertanyaan tentang bagaimana mereka bisa membantu dalam penanaman lebih lanjut.
"Kak Josefa, apakah saya bisa membantu mengatur bibit untuk penanaman berikutnya?" tanya Renata dengan mata berbinar.
Josefa tersenyum bangga pada adiknya. "Tentu, Renata. Kita bisa mulai merencanakan tahap berikutnya bersama-sama."
Namun, tidak semua warga begitu mudah menerima perubahan. Beberapa tetap memiliki kekhawatiran yang tak terucapkan tentang dampak jangka panjang dari penggunaan teknologi baru di ladang mereka. Mereka berkumpul di ujung teras, mengobrol dalam bahasa Marind Anim, merenungkan langkah-langkah yang akan diambil oleh generasi muda ini.
Josefa, yang selalu terbuka untuk mendengarkan pendapat semua orang, mendekati mereka dengan penuh hormat. "Saudara-saudara, saya mengerti kekhawatiran yang Anda rasakan. Kami tidak ingin merusak apa pun yang sudah ada di sini. Kami ingin membangun atas dasar yang telah dibangun oleh leluhur kita, dengan teknologi yang dapat membantu kita mencapai potensi tanah ini tanpa membahayakan masa depannya."
Mereka mengangguk perlahan, mendengarkan kata-kata Josefa dengan serius. Beberapa di antara mereka mulai melihat nilai dari hasil langsung yang mereka saksikan di ladang.
Dengan kesabaran dan komunikasi yang terus-menerus, sikap skeptis beberapa warga mulai berubah menjadi penerimaan yang lebih baik. Mereka melihat langsung hasil dari ladang yang diolah dengan teknik baru, menyaksikan tanaman yang tumbuh lebih subur dan sehat.
"Pertanian kita memang butuh inovasi, tetapi kita juga harus memastikan bahwa nilai-nilai kita tetap terjaga," ujar Mbak Clara, salah seorang tokoh wanita di kampung itu, dengan suara yang penuh keyakinan.
Josefa mengangguk setuju. "Benar sekali, Mbak Clara. Itu sebabnya kami ingin melibatkan seluruh komunitas dalam setiap langkah perjalanan ini."
Reaksi warga ini mencerminkan kompleksitas dalam mengenalkan perubahan dalam sebuah komunitas yang diikat erat oleh tradisi dan nilai-nilai budaya. Namun, semangat untuk mencapai perubahan positif dan berkelanjutan terus memandu langkah-langkah Josefa dan timnya dalam membangun masa depan pertanian yang lebih baik di Pulau Kimaam.
Bantuan dari Teguh
Teguh, mahasiswa asal Semarang yang bergabung dalam proyek pertanian di Kampung Tabonji, membawa kontribusi berharga dalam perjalanan Josefa dan Didimus. Dengan keahliannya dalam ilmu pertanian modern dan kritis terhadap pendekatan yang digunakan, Teguh menjadi salah satu pilar penting dalam tim.
Sore itu, di bawah rindangnya pohon bakau di tepi pantai, Josefa dan Didimus duduk bersama dengan Teguh yang sedang menyiapkan peralatan untuk sesi pelatihan yang akan datang.
"Josefa, Didimus, saya pikir ini saat yang tepat untuk memperkenalkan sistem pengukuran kelembaban tanah yang baru kita dapatkan," ujar Teguh sambil menunjukkan sensor kelembaban tanah yang baru saja dia bawa.
Didimus mengangguk setuju. "Baik, Teguh. Bagaimana cara kerjanya?"
Teguh menjelaskan dengan antusias, "Sensor ini akan memberi kita data real-time tentang kondisi kelembaban tanah di berbagai bagian ladang. Dengan begitu, kita bisa menyesuaikan irigasi secara lebih tepat, mengurangi risiko kekurangan atau kelebihan air."
Josefa tersenyum mengangguk. "Itu pasti akan sangat membantu meningkatkan efisiensi pemakaian air dan hasil panen kita."
Selain membantu di lapangan, Teguh juga aktif memberikan pelatihan kepada warga kampung yang tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang teknologi pertanian modern.
Beberapa petani muda duduk di hadapan Teguh, menatap dengan penuh antusiasme saat dia menjelaskan tentang prinsip-prinsip ilmiah di balik penggunaan pupuk organik dan teknik irigasi yang mereka terapkan. "Dengan mengintegrasikan teknologi ini," kata Teguh dengan penuh semangat, "kita tidak hanya meningkatkan hasil panen, tetapi juga menjaga lingkungan sekitar tetap sehat."
Beberapa minggu kemudian, Teguh juga berperan penting dalam memfasilitasi hubungan antara tim pertanian dengan pihak luar, seperti pemerintah daerah dan organisasi pertanian di Papua. Dia mengatur pertemuan dengan pihak terkait untuk berbagi pengalaman dan hasil dari eksperimen pertanian mereka.
"Dengan menghadirkan kolaborasi seperti ini," ujar Teguh di depan audiens yang terdiri dari petani dan pejabat pemerintah setempat, "kita dapat belajar satu sama lain dan memperkuat upaya untuk pertanian yang lebih berkelanjutan di Kampung Tabonji."
Kerjasama Teguh dengan Josefa dan Didimus tidak hanya membawa perubahan positif dalam ladang, tetapi juga menginspirasi semangat kolaborasi dan inovasi di seluruh komunitas Marind Anim di Pulau Kimaam. Dengan integrasi antara ilmu pengetahuan modern dan kearifan lokal, mereka semakin yakin bahwa masa depan pertanian mereka akan lebih produktif dan berkelanjutan.
(Bersambung)
Merauke, 22 Januari 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI