Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Novel] Menapak Jejak di Kimaam, Episode 95-96

19 Januari 2025   04:30 Diperbarui: 18 Januari 2025   14:21 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Cover Novel Menapak Jejak di Kimaam (Dokumentasi Pribadi)

Penerapan Ilmu di Ladang

Setelah diskusi yang intens dengan warga Kampung Tabonji, Josefa dan timnya---Didimus dan Teguh---memulai implementasi sistem pertanian baru yang mereka rencanakan. Mereka memilih ladang yang luas di pinggiran kampung sebagai tempat untuk menerapkan ilmu yang telah mereka pelajari di Bogor.

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terlalu tinggi di langit, Josefa dan Didimus sudah bersiap-siap di ladang. Mereka membawa peralatan pertanian modern yang mereka kumpulkan selama di Bogor: alat pengolah tanah yang lebih efisien, bibit tanaman unggul, dan pupuk organik yang mereka buat sendiri dari bahan-bahan lokal. Teguh, dengan teliti, memeriksa setiap peralatan dan bahan yang akan digunakan untuk memastikan semuanya siap digunakan.

"Josefa, sepertinya alat pengolah tanah ini bisa mempercepat pekerjaan kita," kata Teguh sambil memeriksa alat tersebut.

Josefa mengangguk, "Benar, Teguh. Kita harus pastikan semua berjalan lancar hari ini. Ini adalah langkah pertama kita."

Didimus menambahkan, "Saya sudah memeriksa tanahnya. Kondisinya cukup baik untuk mulai menanam. Kita hanya perlu memastikan drainasenya berfungsi dengan baik."

Mereka mulai bekerja dengan penuh semangat. Didimus mengarahkan pengolahan tanah menggunakan teknik baru yang dia pelajari untuk meningkatkan kualitas tanah yang digunakan untuk menanam ubi-ubi, tanaman utama dalam pertanian tradisional Marind Anim.

"Teguh, bantu saya dengan alat ini. Kita mulai dari area sini," kata Didimus sambil menunjuk area yang sudah diukur.

"Tentu, Didimus. Josefa, bagaimana dengan bibitnya?" tanya Teguh.

Josefa, dengan tekun, menanamkan bibit-bibit yang mereka pilih dengan hati-hati, memastikan setiap tanaman diletakkan dengan jarak yang tepat untuk memaksimalkan hasil panen. "Bibit-bibit ini harus ditanam dengan jarak yang cukup agar mereka bisa tumbuh optimal. Jangan terlalu rapat," ujar Josefa sambil menunjukkan cara yang benar kepada beberapa warga yang datang membantu.

Selama proses ini, mereka terus menggabungkan pengetahuan lokal yang mereka dapatkan dari warga kampung. Beberapa petani tua datang untuk memberikan nasihat tentang cara-cara tradisional dalam menanam tanaman di tanah basah Kimaam.

Pak Leo, salah satu petani senior, mendekati Josefa, "Josefa, jangan lupa, sebelum menanam, ada baiknya kita lakukan doa bersama untuk memohon berkah."

Josefa tersenyum dan mengangguk, "Benar, Pak Leo. Kita akan selalu menghormati tradisi kita. Terima kasih atas pengingatnya."

Hari demi hari, mereka bekerja keras di bawah sinar matahari tropis yang hangat. Mereka tidak hanya mengelola tanah dan menanam tanaman, tetapi juga memberikan pelatihan kepada warga kampung yang tertarik untuk belajar lebih banyak tentang teknik pertanian modern yang mereka terapkan. Beberapa pemuda dan pemudi mulai bergabung dalam upaya mereka, membantu dalam setiap tahap proses pertanian.

"Saya sangat tertarik dengan cara baru ini, Josefa. Apa saya bisa belajar lebih banyak?" tanya Renata, seorang pemudi kampung.

"Tentu saja, Renata. Kami di sini untuk berbagi ilmu. Kamu bisa bergabung dengan kami setiap hari dan belajar dari awal sampai akhir," jawab Josefa dengan ramah.

Saat musim hujan datang, ladang mereka tetap terawat dengan baik. Drainase yang mereka bangun membantu menghindari genangan air yang berlebihan, sementara pemupukan organik memberi nutrisi yang cukup untuk tanaman berkembang dengan subur. Hasilnya, ubi-ubi mulai tumbuh dengan baik, ukurannya lebih besar dan kualitasnya lebih baik dari sebelumnya.

"Didimus, lihat ini! Ubi-ubi kita tumbuh dengan subur," kata Teguh dengan gembira.

Didimus mengangguk dengan bangga, "Kerja keras kita mulai membuahkan hasil. Ini adalah bukti bahwa kombinasi pengetahuan tradisional dan teknologi modern bisa berhasil."

Penerapan ilmu yang mereka pelajari di Bogor tidak hanya menghasilkan hasil pertanian yang lebih baik, tetapi juga membawa semangat baru bagi komunitas Kampung Tabonji. Mereka mulai melihat betapa pentingnya menggabungkan pengetahuan tradisional dengan inovasi modern untuk mencapai kemajuan yang berkelanjutan dan menghormati akar budaya mereka di Pulau Kimaam.

"Saya sangat bangga dengan apa yang telah kita capai. Ini baru permulaan," kata Josefa penuh semangat.

"Betul, Josefa. Kita akan terus berjuang untuk kemajuan kampung kita," jawab Didimus dengan tegas.

Dengan penuh harapan, mereka melangkah ke masa depan yang lebih cerah, siap menghadapi tantangan dan mencapai keberhasilan yang lebih besar bersama-sama.

Eksperimen Pertama

Eksperimen pertama Josefa, Didimus, dan Teguh di ladang mereka menjadi tonggak penting dalam perjalanan mereka untuk mengembangkan sistem pertanian baru di Kampung Tabonji. Setelah beberapa bulan bekerja keras menyiapkan tanah dan menanam bibit ubi-ubi, saatnya mereka melihat hasil dari upaya mereka.

Pagi itu, mereka berkumpul di ladang dengan perasaan campuran antara tegang dan harap-harap cemas. Matahari terbit perlahan-lahan di ufuk timur, menerangi ladang yang tampak hijau subur berkat perawatan intensif mereka. Josefa, yang berdiri di antara tanaman yang mulai menguning karena matang, merasa detak jantungnya berdegup kencang.

"Teguh, bagaimana menurutmu kondisi tanahnya?" tanya Josefa sambil melihat ke arah Teguh yang sibuk memeriksa sampel tanah.

Teguh mengangguk pelan, "Tanahnya terlihat subur, Josefa. Kandungan nutrisinya sepertinya cukup untuk mendukung pertumbuhan ubi-ubi ini."

Didimus, yang selalu bijaksana dalam menghadapi setiap tantangan, mencermati pertumbuhan tanaman dengan teliti. "Kita harus memastikan bahwa metode kita ini benar-benar cocok dengan kondisi lokal di sini," katanya sambil menyentuh daun-daun ubi yang segar.

Ketika mereka mulai menggali tanah untuk mengumpulkan umbi-ubi pertama, harapan mereka mulai memuncak. Josefa tersenyum lega saat melihat umbi-umbi yang tampak lebih besar dan lebih sehat dari yang pernah mereka panen sebelumnya di Kampung Tabonji.

"Ini luar biasa! Umbinya jauh lebih besar dari biasanya," seru Josefa dengan mata berbinar.

Didimus mengangguk puas, menunjukkan bahwa teknik pengelolaan tanah yang mereka terapkan telah memberikan hasil yang diharapkan. "Sepertinya metode kita berhasil, Josefa. Ini baru permulaan yang baik."

Sementara itu, Teguh dengan cermat mencatat semua observasi mereka, mulai dari ukuran dan berat umbi hingga kualitas tanah di sekitar akar tanaman. "Kita perlu menyimpan semua data ini untuk analisis lebih lanjut. Ini penting untuk perbaikan ke depan," kata Teguh sambil menulis di buku catatannya.

Setelah memeriksa semua parameter yang mereka tentukan, mereka memutuskan untuk membagi hasil dan data mereka dengan warga kampung dalam pertemuan komunitas berikutnya. Josefa merasakan kelegaan yang mendalam saat melihat bahwa kerja keras mereka mulai membuahkan hasil.

Pengumuman hasil eksperimen pertama mereka disambut dengan antusiasme di antara warga kampung. "Lihat, apa yang kalian capai! Ini sangat menginspirasi," ujar Pak Leo, salah satu petani senior, dengan bangga.

"Terima kasih, Pak Leo. Kami hanya mencoba yang terbaik untuk kampung kita," jawab Didimus dengan rendah hati.

Beberapa dari mereka yang awalnya skeptis kini mulai melihat nilai dari pendekatan baru yang Josefa, Didimus, dan Teguh bawa. Diskusi berlanjut tentang langkah-langkah selanjutnya dalam mengembangkan pertanian yang lebih berkelanjutan dan menghasilkan di Kampung Tabonji.

"Saya pikir kita bisa memperluas metode ini ke ladang lain," kata Renata, salah satu pemuda kampung yang turut membantu dalam proyek ini.

Josefa mengangguk setuju, "Itu ide bagus, Renata. Dengan kerja sama dan dukungan dari semua warga, kita bisa mencapai lebih banyak lagi."

Eksperimen pertama ini bukan hanya tentang menghasilkan tanaman yang lebih baik, tetapi juga tentang membuka jalan bagi perubahan positif dalam budaya pertanian komunitas Marind Anim. Josefa, Didimus, dan Teguh merasa semakin termotivasi untuk melanjutkan upaya mereka, membangun masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan bagi generasi mendatang di Pulau Kimaam.

"Ini baru permulaan. Kita masih punya banyak pekerjaan, tapi saya yakin kita bisa melakukannya," kata Josefa dengan semangat.

"Benar, bersama kita bisa membawa perubahan," tambah Didimus dengan tekad kuat.

Teguh tersenyum dan berkata, "Mari kita terus bekerja keras untuk masa depan Kampung Tabonji."

Dengan semangat yang membara, mereka melangkah maju, siap menghadapi tantangan berikutnya dan membawa kemajuan bagi komunitas mereka.

(Bersambung)

Merauke, 19 Januari 2025

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun