Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Novel] Menapak Jejak di Kimaam, Episode 93-94

17 Januari 2025   04:30 Diperbarui: 16 Januari 2025   18:23 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan digelar di balai pertemuan desa, tempat di mana suara deburan ombak di pantai dekatnya kadang-kadang terdengar samar-samar. Josefa berdiri di depan para tetua dan anggota masyarakat yang datang dari berbagai rumah panggung di sekitar kampung. Wajah-wajah mereka penuh dengan rasa penasaran dan harapan, siap mendengarkan apa yang Josefa ingin sampaikan.

Dengan penuh semangat dan keyakinan, Josefa menjelaskan perjalanannya dalam belajar di Bogor dan bagaimana dia ingin mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya untuk meningkatkan hasil pertanian di Kampung Tabonji.

"Kami telah belajar banyak di Bogor," kata Josefa, "metode pertanian modern yang digabungkan dengan tradisi lokal kita bisa menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan dan efisien. Saya yakin kita bisa meningkatkan hasil panen tanpa merusak lingkungan."

Pak Leo, seorang petani senior, mengangkat tangan dan bertanya, "Bagaimana caranya kita bisa yakin bahwa teknologi ini cocok dengan tanah kita di sini, Josefa?"

Josefa tersenyum dan menjawab, "Saya mengerti kekhawatiran itu, Pak Leo. Setiap langkah yang kita ambil akan didasarkan pada uji coba dan pengamatan. Kita akan menyesuaikan teknologi ini agar sesuai dengan kondisi tanah dan iklim kita."

Didimus yang berdiri di sampingnya menambahkan, "Dan kita tidak akan melupakan kearifan lokal. Doa-doa dan ritual kita tetap akan menjadi bagian dari proses menanam dan panen."

Ibu Marta, yang biasanya pendiam, tiba-tiba angkat bicara, "Saya pernah dengar tentang pupuk organik. Apakah kita bisa memanfaatkannya dari sumber daya lokal kita?"

"Betul sekali, Ibu Marta," jawab Josefa, "Kita bisa menggunakan limbah organik dari dapur dan peternakan kita untuk membuat pupuk kompos. Ini adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas tanah tanpa harus membeli pupuk kimia."

Percakapan berlangsung penuh antusiasme. Warga mulai memberikan masukan mereka, mengungkapkan kekhawatiran mereka, dan memberikan ide-ide tentang bagaimana teknologi modern dapat diintegrasikan dengan cara hidup tradisional mereka. Ada percakapan yang panjang tentang cara-cara untuk memperbaiki sistem irigasi, memanfaatkan pupuk organik dari sumber daya lokal, dan meningkatkan kualitas tanah tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya mereka.

Pak Herman, salah satu tetua desa, mengangguk-angguk mendengarkan. "Kalau begitu, kita harus bekerja sama. Setiap petani harus siap untuk belajar dan berbagi pengalaman."

Josefa mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan oleh warga, mencatat ide-ide mereka, dan menghargai perspektif unik yang mereka bawa dari pengalaman hidup mereka masing-masing. Dia merasa terdorong untuk bekerja sama dengan komunitas untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan bersama sambil mempertahankan identitas budaya mereka yang kaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun