Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tragedi di Zaman Herodes: Pesta Kanak-Kanak Suci di Tengah Sukacita Kelahiran Yesus

28 Desember 2024   04:25 Diperbarui: 28 Desember 2024   09:20 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap tanggal 28 Desember, Gereja Katolik memperingati Pesta Kanak-Kanak Suci, mengenang bayi-bayi tak berdosa yang dibunuh atas perintah Raja Herodes, sebagaimana dicatat dalam Injil (Mat 2:13-18). Sebagai martir pertama, kehidupan mereka dikorbankan karena ketakutan Herodes akan kelahiran Yesus, Raja baru yang dinubuatkan para nabi. Perayaan ini berlangsung tiga hari setelah Hari Natal, yang merayakan kelahiran Yesus Sang Raja Damai, sekaligus mengingatkan umat pada tragedi memilukan pembunuhan bayi-bayi di Betlehem. Dalam kontras antara sukacita kelahiran Kristus dan kekejaman Herodes, umat diajak merenungkan makna pengorbanan Kanak-kanak Suci sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah serta relevansinya dalam menghormati hidup dan menghadapi tantangan zaman.

Catatan Sejarah

Setelah para Majus dari Timur mengunjungi Bayi Yesus, mereka mendapat peringatan dalam mimpi agar tidak kembali ke istana Herodes (Mat 2:12). Hal ini membuat Herodes, yang telah mendengar nubuat tentang kelahiran seorang Raja dari para nabi, merasa sangat terganggu. Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya, Herodes memerintahkan pembunuhan semua bayi laki-laki berusia dua tahun ke bawah di Betlehem dan sekitarnya. Peristiwa ini dikenal sebagai pembantaian bayi-bayi tak berdosa, atau dalam tradisi Gereja Katolik dikenal 'Pesta Kanak-Kanak Suci.' 

Tindakan Herodes mencerminkan ketakutan dan kebrutalan yang berakar pada ambisi kekuasaan. Santo Yohanes Krisostomus mengomentari peristiwa ini dengan menyatakan, "Herodes lebih takut kehilangan takhtanya daripada menyesali dosa-dosanya" (Homilies on Matthew, 8:4). Hal ini menegaskan sifat duniawi kekuasaan Herodes yang bertentangan dengan kedamaian dan keadilan yang dibawa Kristus. Menurut Katekismus, tindakan Herodes menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap Yesus sejak awal hidup-Nya, menegaskan bahwa misi Kristus akan selalu berhadapan dengan penolakan dari dunia (KGK, 1994:530).

Peristiwa pembantaian bayi di Betlehem juga dikaitkan dengan nubuat Nabi Yeremia (Yer 31:15), yang dikutip oleh Injil Matius: "Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat memilukan, Rahel menangisi anak-anaknya, dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi" (Mat 2:18). Rama adalah sebuah tempat di wilayah Efraim, yang dalam konteks Perjanjian Lama menjadi simbol pembuangan bangsa Israel. Rahel, sebagai ibu leluhur bangsa Israel, digambarkan menangisi keturunannya yang hilang. Nubuat ini memiliki makna yang lebih dalam, sebagaimana dijelaskan oleh R.T. France dalam The Gospel of Matthew (2007), bahwa tangisan Rahel menjadi simbol penderitaan besar yang dialami umat manusia akibat dosa. 

Gereja memandang bahwa pembantaian ini merupakan tanda awal penderitaan Yesus sebagai Mesias yang telah dinubuatkan. Sebagaimana ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives (2012), Herodes adalah gambaran dunia yang menolak kasih Allah dan memilih jalan kekerasan untuk melawan rencana keselamatan Allah. Melalui tragedi ini, Gereja mengajarkan bahwa Allah turut merasakan penderitaan umat-Nya dan akan membalas kejahatan dengan kasih yang lebih besar. Nubuat Yeremia diakhiri dengan pengharapan akan pemulihan, yang mengantisipasi karya penebusan Kristus sebagai Raja Damai. 

Makna Teologis dan Spiritual

Gereja Katolik menghormati Kanak-Kanak Suci sebagai martir pertama, selain Santo Stefanus, karena mereka menjadi korban kekejaman Raja Herodes demi Kristus. Meskipun tidak sadar memberikan hidup mereka, mereka menjadi saksi iman yang menggantikan Kristus. Santo Agustinus dalam salah satu homilinya menyebut mereka sebagai "bunga-bunga martir" yang, dalam kemurnian dan ketidakbersalahan mereka, mempersembahkan nyawa mereka kepada Allah.

Katekismus menjelaskan martir adalah mereka yang memberikan hidupnya sebagai kesaksian iman kepada Kristus (KGK 1994:2473). Kanak-kanak Suci ini dimuliakan oleh Gereja karena hidup mereka yang singkat menjadi lambang kemurnian yang tak ternoda, sebagaimana dikumandangkan Yesus lam Injil, "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah" (Mat. 5:8). Sementara Paus Benediktus XVI (2012) menulis bahwa Kanak-Kanak Suci adalah simbol pertentangan antara terang dan gelap. Kematian mereka menunjukkan bagaimana kekuatan duniawi seperti Herodes berusaha memadamkan terang Kristus sejak awal. Namun, pengorbanan mereka menjadi tanda kemenangan Kristus atas kejahatan.

Pesta Kanak-Kanak Suci bukan hanya peringatan sejarah, tetapi juga sebuah panggilan spiritual untuk menghormati hidup yang tak bersalah. Tragedi pembantaian ini mengingatkan umat manusia akan nilai hidup setiap individu, terutama yang lemah dan tak berdaya, seperti kanak-kanak. Paus Yohanes Paulus II, dalam Evangelium Vitae (1995), menekankan bahwa menghormati hidup manusia adalah tanggung jawab moral yang tak terpisahkan dari iman Kristiani. Selain itu, pesta ini mengantar umat pada kesadaran akan kehadiran kejahatan yang selalu mengintai di tengah kebaikan, sebagaimana ditegaskan Paus Yohanes Paulus II, bahwa "di setiap zaman, ada Herodes yang berusaha menghancurkan kehidupan yang tak berdosa, tetapi Tuhan selalu hadir untuk menyatakan kemenangan kasih-Nya" (Angelus, 28 Desember 1980). 

Dalam konteks ini, Pesta Kanak-Kanak Suci adalah ajakan untuk memperjuangkan hidup dalam segala aspeknya, termasuk melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Hal ini juga menjadi kesempatan untuk merenungkan bagaimana umat Kristiani dapat menjadi terang di tengah dunia yang penuh tantangan moral. Lebih dari itu, perayaan ini mengingatkan bahwa pengorbanan Kanak-Kanak Suci adalah bagian dari rencana keselamatan Allah yang lebih besar. Mereka menjadi saksi kasih Allah yang tak terbatas, yang memulihkan dunia dari dosa melalui Kristus. Dengan demikian, Pesta Kanak-Kanak Suci adalah panggilan untuk hidup dalam kemurnian hati, penghormatan terhadap hidup, dan komitmen untuk melawan kejahatan dengan kekuatan kasih. 

Relevansi Perayaan bagi Umat Masa Kini

Mengingat nilai kehidupan manusia, terutama anak-anak: Pesta Kanak-Kanak Suci menjadi pengingat akan nilai kehidupan manusia, khususnya anak-anak, sebagai anugerah Allah yang harus dihormati dan dilindungi. Yesus sendiri menegaskan pentingnya menghormati anak-anak: "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku" (Mat 18:5). Gereja mengajarkan bahwa setiap kehidupan, dari konsepsi hingga kematian alami, adalah sakral karena diciptakan dalam gambar dan rupa Allah (Kej 1:27). Paus Yohanes Paulus II (1995), menekankan bahwa menghormati kehidupan anak-anak berarti melawan budaya kematian yang meremehkan nilai manusia. Anak-anak yang tak bersalah, seperti Kanak-kanak Suci, adalah simbol ketidakbersalahan dan harapan, yang harus dipelihara oleh keluarga dan masyarakat.

Menginspirasi perlindungan bagi yang lemah dan tak berdaya: Tragedi pembantaian Kanak-Kanak Suci mencerminkan realitas kekerasan dan ketidakadilan yang terus berlanjut hingga masa kini. Perayaan ini mengingatkan umat untuk berdiri sebagai pelindung bagi mereka yang lemah dan tak berdaya, seperti anak-anak, kaum miskin, dan korban penindasan. Gereja menyerukan perlindungan bagi yang termarjinalkan sebagai bagian dari misi kasih Kristiani. Paus Fransiskus, dalam   homilinya pada Pesta Kanak-Kanak Suci 2016, mengingatkan bahwa penderitaan anak-anak akibat perang, eksploitasi, dan perdagangan manusia adalah tanggung jawab umat manusia untuk dihentikan. Paus menegaskan, "Kita dipanggil untuk menjadi suara bagi yang tak bersuara, membela hak mereka untuk hidup dan berkembang dalam damai."

Panggilan untuk merenungkan cinta kasih Allah yang bekerja bahkan di tengah tragedi: Meski Kanak-Kanak Suci kehilangan nyawa, Gereja memandang pengorbanan mereka sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah. Cinta kasih Allah dinyatakan dalam karya penebusan Kristus, yang datang untuk membebaskan umat manusia dari dosa dan kematian. Pesta ini mengundang umat untuk merenungkan bagaimana kasih Allah tetap bekerja bahkan di tengah penderitaan dan tragedi. Rasul Paulus menulis, "Segala sesuatu turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah" (Rom 8:28). Dalam konteks ini, pengorbanan Kanak-kanak Suci menjadi simbol kemenangan kasih Allah atas kejahatan. Paus Benediktus XVI, dalam Spe Salvi (2007), menjelaskan bahwa penderitaan yang dialami orang tak bersalah menemukan maknanya dalam harapan akan kasih dan pemulihan Allah yang sempurna.

Akhirnya, Pesta Kanak-Kanak Suci mengajarkan bahwa kehidupan dan pengorbanan bayi-bayi yang tak bersalah di masa Herodes tidak sia-sia, melainkan menjadi kesaksian pertama atas kedatangan Kristus, Sang Penebus dunia. Dalam ketidakberdayaan mereka, Kanak-kanak Suci memancarkan makna pengorbanan yang mulia, mengingatkan bahwa setiap kehidupan berharga di mata Allah, dan penderitaan, dalam rencana keselamatan-Nya, tidak pernah sia-sia. Perayaan ini mengarahkan umat kepada pengharapan dan iman dalam Kristus, Sang Raja Damai, yang menebus dosa manusia dan membawa kasih serta damai sejahtera, sebagaimana disampaikan Rasul Paulus bahwa penderitaan saat ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan datang (Rom. 8:18). Dalam era digital penuh tantangan, umat diingatkan untuk melindungi generasi muda dari kekerasan dan pengaruh negatif, dengan menjadi saksi kasih Kristus dan membangun dunia yang memungkinkan anak-anak tumbuh dalam kasih, martabat, dan keadilan. (*)

Merauke, 28 Desember 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun