Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Novel] Menapak Jejak di Kimaam, Episode 77-78

27 Desember 2024   04:30 Diperbarui: 26 Desember 2024   17:56 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Cover Novel Menapak Jejak di Kimaam (Dokumen Pribadi) 

Mengingat Kembali Pesta Dambu

Di malam yang sepi di asrama IPB, Josefa duduk di meja belajarnya dengan buku catatan yang terbuka di hadapannya. Lampu kecil berkedip-kedip di sudut ruangan, menciptakan suasana yang hening dan khidmat. Pikirannya melayang ke belakang, mengingat kembali saat-saat indah di Kampung Tabonji saat Pesta Adat Dambu beberapa tahun lalu.

Tiba-tiba, pintu kamarnya diberi ketukan pelan. Teguh masuk dengan wajah serius.

"Se, masih di sini?" Teguh bertanya sambil duduk di samping Josefa.

Josefa tersenyum lembut. "Ya, lagi memikirkan Pesta Adat Dambu dulu. Kamu pernah ke sana, kan?"

Teguh mengangguk. "Iya, pernah sekali. Suasana tradisional mereka luar biasa. Tapi, apa yang kamu pikirkan tentang tanaman ubi-ubi itu?"

Josefa mengernyitkan dahi. "Aku terkesima dengan hasilnya. Tanpa teknologi modern, mereka bisa mencapai produktivitas yang tinggi. Aku jadi bertanya-tanya, apakah ada cara untuk menggabungkan cara mereka dengan ilmu yang kita pelajari di sini?"

Teguh mengangguk mengerti. "Sulit dipungkiri, teknologi modern memberikan efisiensi yang tak tertandingi. Tapi kearifan lokal mereka juga punya nilai yang besar."

Josefa memandang Teguh, ekspresinya penuh pemikiran. "Aku rasa solusinya ada di tengah-tengah. Kita bisa mengambil yang terbaik dari kedua dunia ini."

"Seperti bagaimana?" Teguh menatap Josefa dengan antusiasme.

Josefa tersenyum, mendapatkan sedikit pencerahan. "Mungkin kita bisa mencari cara untuk menggunakan teknologi modern secara bijak, tapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip kearifan lokal mereka. Seperti mengembangkan sistem irigasi yang lebih efisien tapi tetap ramah lingkungan."

Teguh mengangguk setuju. "Bisakah kamu mulai riset tentang ini? Aku yakin kita bisa menemukan titik temu yang tepat antara tradisi dan inovasi."

Josefa mengangguk mantap. "Aku akan mulai dari sana. Terima kasih, Teguh. Kamu selalu punya sudut pandang yang inspiratif."

"Tentu saja, Se. Kita tim, kan?" Teguh tersenyum.

Ketika lampu kecil masih setia menyala di sudut ruangan, Josefa mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Pesta Adat Dambu menjadi titik awalnya untuk menyatukan masa lalu yang kaya dengan masa depan yang cerah, sebuah perjalanan yang akan menandai keberhasilannya dalam menapaki jejaknya di Kimaam.

Pertanyaan tentang Tradisi

Malam itu, angin sepoi-sepoi menyapu halaman asrama IPB tempat Josefa tinggal. Di dalam kamarnya yang kecil namun nyaman, Josefa duduk di meja belajar dengan buku-buku dan catatan tersebar di sekitarnya. Pikirannya kembali melayang ke kampung halamannya di Kampung Tabonji, Pulau Kimaam, di mana pertanyaan tentang tradisi dan modernitas sering kali mengusiknya.

Tiba-tiba, pintu kamarnya diberi ketukan pelan. Itu Rani, teman seangkatan Josefa yang juga berasal dari daerah pedalaman Papua.

"Josefa, masih terjaga?" Rani bertanya sambil memasuki kamar.

Josefa mengangguk, menyambut kedatangan Rani. "Iya, sedang memikirkan beberapa hal."

Rani duduk di sebelah Josefa, meletakkan buku di pangkuannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Josefa menghela nafas, mencoba membagi kekhawatirannya. "Aku sedang memikirkan relevansi kearifan lokal di tengah kemajuan ilmu pengetahuan modern. Seperti ubi-ubi besar di desaku, mereka tumbuh begitu subur tanpa teknologi canggih."

Rani mengangguk mengerti. "Itu memang menakjubkan. Tapi di sini, ilmu yang kita pelajari menjanjikan efisiensi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya."

Josefa mengangguk. "Ya, itulah yang membuatku bingung. Apakah ada cara untuk memadukan keduanya tanpa mengorbankan keaslian budaya kita?"

Rani tersenyum lembut. "Mungkin kita perlu melihatnya sebagai komplementer satu sama lain. Teknologi bisa meningkatkan efisiensi tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional yang kita miliki."

Josefa menatap Rani dengan perasaan lega. "Mungkin memang begitu. Aku harus mencari jalan tengah di antara semua ini."

Rani mengangguk setuju. "Kamu pasti bisa, Josefa. Kamu memiliki visi yang jelas untuk membawa perubahan positif."

Dalam kegelapan malam yang semakin mendalam, Josefa merasa ada pencerahan yang menembus kebingungannya. Mungkin solusinya bukanlah memilih satu atau yang lain, tetapi menciptakan harmoni antara tradisi yang diwariskan dan pengetahuan modern yang diperolehnya. Dengan pikiran yang lebih jernih, Josefa merencanakan langkah selanjutnya untuk menggabungkan nilai-nilai tradisional dengan teknologi canggih dalam upayanya untuk membawa perubahan yang positif bagi kampung halamannya.

(Bersambung)

Merauke, 27 Desember 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun