Josefa tersenyum, mendapatkan sedikit pencerahan. "Mungkin kita bisa mencari cara untuk menggunakan teknologi modern secara bijak, tapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip kearifan lokal mereka. Seperti mengembangkan sistem irigasi yang lebih efisien tapi tetap ramah lingkungan."
Teguh mengangguk setuju. "Bisakah kamu mulai riset tentang ini? Aku yakin kita bisa menemukan titik temu yang tepat antara tradisi dan inovasi."
Josefa mengangguk mantap. "Aku akan mulai dari sana. Terima kasih, Teguh. Kamu selalu punya sudut pandang yang inspiratif."
"Tentu saja, Se. Kita tim, kan?" Teguh tersenyum.
Ketika lampu kecil masih setia menyala di sudut ruangan, Josefa mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Pesta Adat Dambu menjadi titik awalnya untuk menyatukan masa lalu yang kaya dengan masa depan yang cerah, sebuah perjalanan yang akan menandai keberhasilannya dalam menapaki jejaknya di Kimaam.
Pertanyaan tentang Tradisi
Malam itu, angin sepoi-sepoi menyapu halaman asrama IPB tempat Josefa tinggal. Di dalam kamarnya yang kecil namun nyaman, Josefa duduk di meja belajar dengan buku-buku dan catatan tersebar di sekitarnya. Pikirannya kembali melayang ke kampung halamannya di Kampung Tabonji, Pulau Kimaam, di mana pertanyaan tentang tradisi dan modernitas sering kali mengusiknya.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diberi ketukan pelan. Itu Rani, teman seangkatan Josefa yang juga berasal dari daerah pedalaman Papua.
"Josefa, masih terjaga?" Rani bertanya sambil memasuki kamar.
Josefa mengangguk, menyambut kedatangan Rani. "Iya, sedang memikirkan beberapa hal."
Rani duduk di sebelah Josefa, meletakkan buku di pangkuannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"