Natal adalah momen penuh sukacita yang menghangatkan hati, saat kelahiran Kristus dalam kesahajaan menjadi awal dari perjalanan cinta dan pengorbanan-Nya. Dalam terang bintang yang memandu para majus dan nyanyian malaikat bagi para gembala, kita diingatkan akan damai sejahtera yang Ia bawa.
Namun, sehari setelah Natal (26 Desember), Gereja merayakan Pesta Santo Stefanus, martir pertama yang mengorbankan nyawanya demi iman. Ini menekankan bahwa sukacita Natal tak terpisahkan dari semangat pengorbanan kasih. Natal mengajarkan bahwa cinta sejati melibatkan panggilan untuk memberikan segalanya demi kebenaran dan keselamatan umat manusia.
Kelahiran yang Membawa Pengharapan
Kelahiran Yesus adalah perwujudan kasih Allah yang terbesar kepada dunia. Yohanes menulis, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh 3:16).
Ayat ini menegaskan bahwa kelahiran Yesus adalah awal dari rencana keselamatan Allah bagi umat manusia. Katekismus mengajarkan bahwa misteri inkarnasi menunjukkan bagaimana Allah menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. "Allah menjadi manusia supaya kita dapat menjadi bagian dari kodrat ilahi-Nya" (KGK 456-460).
Kelahiran Kristus tidak hanya membawa damai, tetapi juga pengharapan bahwa dosa tidak akan memiliki kata akhir atas hidup manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Paus Benediktus XVI dalam Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives (2012), "Dalam kelembutan seorang bayi yang tak berdaya, Allah menunjukkan kekuatan kasih-Nya yang menyelamatkan. Kehadiran Kristus memberikan pengharapan baru, karena kasih Allah nyata di tengah-tengah kita."
Yesus lahir di palungan, sebuah tempat sederhana yang menunjukkan kerendahan hati Allah, sebagaimana dikisahkan Lukas (2:7). Palungan menjadi simbol kasih Allah yang menjangkau semua manusia, tanpa memandang status atau kedudukan.
Dengan demikian, palungan menekankan pentingnya kerendahan hati sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Warta Natal bukan sekadar perayaan tradisi atau nostalgia.
Dalam kelahiran Kristus, Allah mengajak kita untuk menanggapi kasih-Nya dengan mencintai sesama dan menyerahkan diri kepada-Nya, sebagaimana diwartakan Malaikat (Luk 2:10-11). Sebagai umat Kristiani, kita dipanggil untuk merespons kasih Allah ini dengan hidup yang penuh cinta dan pengorbanan.
Kematian yang Menggenapi Cinta
Santo Stefanus adalah martir pertama dalam Gereja yang memberikan nyawanya demi iman kepada Kristus (Kis 6-7). Ia dipilih sebagai salah satu dari tujuh diakon untuk melayani komunitas Kristen awal, dan dikenal sebagai orang yang "penuh iman dan Roh Kudus" (Kis 6:5), serta sangat berani dalam mewartakan Injil.
Namun, keberanian Stefanus dalam membela kebenaran membuatnya menghadapi perlawanan sengit dari pemimpin agama Yahudi. Tuduhan palsu diarahkan kepadanya, tetapi Stefanus tidak gentar. Dengan penuh keberanian, ia menyampaikan khotbahnya yang penuh kuasa tentang sejarah keselamatan dan peran Kristus sebagai Mesias yang dijanjikan.
Akhirnya, ia dihukum mati dengan dirajam batu. Saat dirajam, ia tetap menunjukkan kasih yang luar biasa kepada musuh-musuhnya. Ia berdoa, "Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku," dan kemudian memohon, "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" (Kis 7:59-60). Doa ini menunjukkan bahwa Stefanus meneladani Yesus, yang juga berdoa untuk pengampunan bagi mereka yang menyalibkan-Nya (Luk 23:34).
Kematian Stefanus adalah cerminan pengorbanan Kristus di salib. Ia tidak hanya menyerahkan nyawanya, tetapi juga menunjukkan cinta yang sempurna dengan mengampuni mereka yang membunuhnya (Kis 7:59-60).
Tindakan ini merupakan penegasan pesan kasih Kristus yang diajarkan dalam Injil: "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5:44). Martir-martir seperti Stefanus adalah bukti nyata bahwa cinta sejati kepada Tuhan dan kebenaran melampaui ketakutan akan kematian.
Rasul Paulus menulis: "Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan, atau kesesakan, atau penganiayaan, atau kelaparan, atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? ... Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita" (Rom 8:35-37). Kita diajak untuk melihat martir seperti Stefanus sebagai inspirasi hidup iman.
Kelahiran dan Kematian Saling Melengkapi
Kelahiran Yesus di Betlehem adalah momen yang membawa terang ke dalam dunia yang gelap. "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya" (Yoh 1:14). Kehadiran Yesus adalah tanda kasih Allah yang nyata untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa.
Namun, keselamatan yang dimulai dengan kelahiran Yesus tidak terlepas dari penderitaan dan pengorbanan. Rasul Paulus menyatakan bahwa Kristus "merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib" (Flp 2:8). Dengan demikian, kelahiran-Nya adalah awal dari perjalanan cinta yang berujung pada pengorbanan demi keselamatan umat manusia.
Sebagai martir pertama, Stefanus memberikan hidupnya demi iman kepada Kristus yang baru lahir di hati para pengikut-Nya. Ia, dengan penuh iman dan Roh Kudus, memberikan kesaksian tentang Yesus sebagai Mesias. Ia menjadi saksi bahwa kelahiran Yesus di dunia melahirkan komitmen mendalam dalam hidup orang percaya, hingga rela menyerahkan nyawa demi kebenaran (Kis 6-7). Kematian Stefanus mencerminkan nilai iman yang dihidupi oleh para pengikut Kristus. Ia menjadi contoh bagaimana iman kepada Kristus yang lahir membawa pengorbanan yang nyata. Doa pengampunannya "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka" (Kis 7:6) menunjukkan bahwa kematian Stefanus adalah cerminan dari kasih Kristus sendiri di salib.
Kelahiran Yesus selalu membawa konsekuensi pengorbanan, baik dalam pelayanan maupun dalam kesaksian hidup. Sebagaimana kelahiran Kristus di kandang yang hina menunjukkan kerendahan hati, kehidupan para pengikut-Nya juga diwarnai dengan panggilan untuk melayani dan memberikan diri. Stefanus menjadi teladan bagaimana cinta kepada Kristus tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan dan, jika perlu, melalui kematian. Martir seperti Stefanus adalah tanda bahwa kelahiran Kristus tidak berhenti pada sukacita Natal, tetapi juga mengajak setiap orang percaya untuk hidup dalam kasih yang siap berkorban.
Panggilan kepada Umat Kristiani
Apakah kita siap menghidupi semangat pengorbanan? Natal kerap dirayakan dengan gegap gempita, diwarnai cahaya lampu, hadiah, dan pesta. Namun, apakah kita benar-benar menghayati makna Natal sebagaimana yang dihidupi oleh Santo Stefanus? Stefanus, martir pertama, memberikan hidupnya demi iman kepada Kristus yang baru lahir di hati para pengikut-Nya. Dalam konteks modern, tantangan umat Kristiani adalah menyeimbangkan sukacita Natal dengan semangat pengorbanan. Paus Fransiskus dalam homilinya pada Natal 2020 mengingatkan, "Natal sejati adalah tentang membuka hati kita kepada Kristus yang datang dalam wujud paling sederhana dan mengajarkan kasih tanpa pamrih." Kita diajak untuk melihat Natal bukan hanya sebagai momen perayaan, tetapi juga sebagai panggilan untuk hidup sesuai dengan iman kita, bahkan jika itu berarti pengorbanan pribadi. Selain itu, Stefanus adalah teladan bahwa iman sejati menuntut komitmen penuh, bukan sekadar penghayatan dangkal. Tantangan kita adalah: "Apakah saya siap merayakan Natal dengan hidup yang mencerminkan kasih Kristus, bahkan jika itu berarti memberikan diri demi kebenaran?"
Hidup dalam iman yang mendalam: Sukacita Natal sejati bukan hanya terletak pada perayaan eksternal, tetapi dalam penghayatan akan kasih Allah yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Kristus datang ke dunia bukan untuk membawa kenyamanan duniawi, melainkan mengundang umat-Nya kepada kehidupan iman yang mendalam. Stefanus adalah contoh bagaimana sukacita sejati ditemukan dalam kesaksian iman, bahkan di tengah penganiayaan. Natal menjadi momen refleksi apakah hidup kita telah sepenuhnya terarah pada kasih Allah, yang diwujudkan dalam tindakan kasih kepada sesama.
Bertahan hingga akhir: Yesus sendiri memperingatkan para pengikut-Nya bahwa menjadi murid-Nya berarti menghadapi tantangan dan penolakan: "Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat" (Mat 10:22). Stefanus adalah bukti nyata dari janji ini. Ketekunannya dalam iman mencerminkan panggilan Kristus kepada setiap umat untuk tetap setia meskipun menghadapi kesulitan. Bagi umat Kristiani modern, ini adalah pengingat bahwa sukacita Natal sejati mengharuskan kita untuk terus bertahan dalam iman, menghadapi tantangan dengan keberanian, dan memberikan diri dalam pelayanan kepada Tuhan. Sukacita itu bukanlah tentang kenyamanan, melainkan tentang menemukan kekuatan dalam kasih dan kebenaran.
Akhirnya, sukacita Natal adalah perayaan kelahiran Yesus, Sang Juru Selamat. Ia membawa damai dan harapan bagi dunia, namun tidak terlepas dari pengorbanan, sebagaimana diingatkan melalui perayaan Santo Stefanus sehari setelah Natal. Stefanus, martir pertama, menunjukkan bahwa kasih sejati membutuhkan keberanian untuk memberi diri sepenuhnya, mencerminkan kasih Allah yang tidak pernah menyerah, bahkan di tengah penderitaan. Dalam perayaan ini, kita diajak untuk menjadi saksi Kristus dengan membawa terang kasih Allah kepada sesama melalui tindakan nyata. Natal adalah momen untuk menerima dan mewujudkan kasih Allah dengan hati yang penuh syukur dan pengorbanan. (*)
Merauke, 26 Desember 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H