Kebingungan Josefa
Di tengah perjalanan pendidikannya di IPB, Josefa sering kali merasa terombang-ambing dalam pergulatan batinnya. Pada suatu sore yang mendung di perpustakaan IPB, Josefa duduk di antara rak-rak buku yang penuh dengan pengetahuan pertanian modern. Dia memegang buku tentang teknik budi daya tanaman yang revolusioner, sementara pikirannya melayang jauh ke kampung halamannya di Kampung Tabonji, Pulau Kimaam.
Tiba-tiba, Teguh, teman sebangkunya, datang dan duduk di sebelahnya.
"Sedang apa, Se?" tanya Teguh sambil melirik buku yang dipegang Josefa.
"Ah, cuma baca-baca teknik budi daya tanaman ini," jawab Josefa dengan senyum tipis. "Tapi pikiranku malah melayang ke kampung halaman."
Teguh mengangguk, seakan mengerti. "Pasti kangen ya? Apa yang kamu pikirkan tentang kampungmu?"
"Pemandangan ubi-ubi besar saat Pesta Adat Dambu beberapa tahun lalu. Aneh saja, mereka bisa tumbuh subur tanpa pestisida atau pupuk kimia modern," ungkap Josefa.
"Menarik," kata Teguh. "Kamu jadi membandingkan dengan apa yang kita pelajari di sini?"
"Iya," jawab Josefa sambil mengangguk. "Di sini kita belajar teknik-teknik canggih, tapi di kampungku mereka punya cara sendiri yang ternyata efektif."
Teguh tersenyum. "Aku paham. Tapi menurutmu, apakah cara tradisional itu bisa diterapkan secara luas? Maksudku, teknologi modern kan dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan hasil."
"Itu yang jadi dilema bagiku, Teguh," Josefa berkata dengan nada serius. "Aku ingin menghargai kearifan lokal, tapi juga melihat potensi dari teknologi modern."