Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Membaca dan menulis, kesukaanku. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bela Negara di Era Digital, Tantangan dan Peluang

19 Desember 2024   05:25 Diperbarui: 18 Desember 2024   19:31 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Bela Negara (HBN) yang diperingati setiap 19 Desember merupakan momentum penting untuk mengenang deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara pada 19 Desember 1948 di Sumatera Barat sebagai bukti keteguhan bangsa dalam mempertahankan kedaulatan di tengah krisis akibat Agresi Militer Belanda II. Ditandai dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006, HBN tidak hanya menjadi refleksi sejarah, tetapi juga panggilan abadi bagi seluruh elemen masyarakat untuk membela negara sesuai perkembangan zaman. Di era digital, Bela Negara meluas dari pertahanan fisik ke ranah ideologi, budaya, dan ekonomi, menghadapi ancaman seperti serangan siber dan disinformasi, sekaligus memanfaatkan peluang teknologi untuk memperkuat nasionalisme dan kemandirian. Dalam semangat ini, setiap individu memiliki tanggung jawab strategis, seperti literasi digital dan menjaga ketahanan ideologi, agar Bela Negara tetap relevan tanpa kehilangan akar sejarahnya.

Tantangan Bela Negara di Era Digital

Ancaman siber: Ancaman siber mencakup risiko keamanan data pribadi, infrastruktur strategis, dan serangan digital yang semakin meningkat. Teknologi modern mempermudah serangan siber, seperti pencurian identitas dan sabotase infrastruktur kritis (misalnya, jaringan listrik dan sistem perbankan). National Cybersecurity Alliance menyebutkan pentingnya literasi keamanan siber sebagai benteng pertama dalam melawan serangan ini. Studi dari NIST juga menyoroti perlunya kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta untuk membangun infrastruktur yang lebih aman dan mendorong kesadaran publik tentang risiko ini.

Penyebaran hoaks dan disinformasi: Hoaks dan disinformasi mengancam kestabilan sosial dan persatuan bangsa. Laporan oleh Wardle & Derakhshan, dalam Information Disorder (2017), menunjukkan bahwa informasi palsu sering digunakan untuk memecah belah masyarakat, memperburuk konflik sosial, dan memanipulasi opini publik. Media sosial menjadi saluran utama penyebaran hoaks, sehingga memerlukan peran aktif pengguna dalam memverifikasi informasi. Pemerintah dan organisasi internasional seperti UNESCO menekankan pentingnya edukasi literasi media digital untuk menangkal disinformasi.

Kesenjangan digital atau digital divide: Ketimpangan akses teknologi dapat memperparah ketidakadilan sosial, terutama di daerah terpencil dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Penelitian Milheim (2006) menunjukkan bahwa kurangnya akses ke teknologi dan infrastruktur digital menyebabkan ketimpangan dalam pendidikan dan kesempatan ekonomi. Hal ini menjadi tantangan besar dalam memastikan inklusi digital sehingga semua warga negara dapat berpartisipasi dalam pembangunan digital.

Globalisasi budaya: Globalisasi budaya melalui internet sering kali membawa pengaruh budaya asing yang mengancam identitas nasional. Konsumsi konten asing tanpa filter dapat mengikis nilai-nilai budaya lokal. Seperti disebutkan dalam laporan UNESCO, penting untuk menyeimbangkan adopsi teknologi dengan upaya pelestarian budaya melalui konten lokal yang menarik dan edukatif. Program-program berbasis komunitas yang mempromosikan budaya lokal juga menjadi strategi efektif untuk menghadapi tantangan ini.

Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan (i) Regulasi yang lebih ketat tentang keamanan siber dan perlindungan data. (ii) Literasi digital di kalangan masyarakat untuk menangkal hoaks dan disinformasi. (iii) Investasi dalam infrastruktur digital yang inklusif. (iv) Dukungan untuk pelestarian budaya lokal melalui teknologi.

Peluang Bela Negara di Era Digital

Teknologi sebagai sarana edukasi: Platform digital dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran kebangsaan. Teknologi memungkinkan pemerintah dan institusi pendidikan menciptakan konten interaktif, seperti video animasi, permainan edukasi, atau kursus online yang menyisipkan nilai-nilai patriotisme. Sahlberg (2018) dalam Finnish Lessons 2.0 (2018), menekankan pentingnya integrasi teknologi untuk menciptakan pembelajaran yang relevan dengan tantangan modern. Di Indonesia, program Belajar.id oleh Kementerian Pendidikan adalah contoh nyata bagaimana teknologi memperluas jangkauan edukasi hingga ke daerah terpencil. Teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), analitik data besar (big data), dan Internet of Things (IoT) dapat digunakan untuk melindungi kedaulatan negara. Misalnya, pengembangan cyber defense berbasis AI mampu mendeteksi dan merespons ancaman siber secara real-time. Menurut laporan Singer & Friedman, dalam Cybersecurity and Cyberwar: What Everyone Needs to Know (2014), inovasi ini bukan hanya penting untuk keamanan, melainkan juga sebagai sarana menunjukkan kedaulatan digital negara. Indonesia sendiri memiliki Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk memperkuat pertahanan siber.

Partisipasi generasi muda: Generasi muda merupakan penggerak utama di dunia digital. Dengan jumlah pengguna aktif media sosial yang tinggi, platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dapat digunakan untuk menyebarkan semangat nasionalisme. Laporan dari We Are Social (2023) menyebutkan bahwa 191 juta orang Indonesia aktif di media sosial. Pemerintah dapat bekerja sama dengan influencer dan konten kreator untuk menyampaikan pesan bela negara. Penelitian oleh Jenkins, dkk. dalam Participatory Culture in a Networked Era (2016) menunjukkan bahwa partisipasi generasi muda di media digital menciptakan ruang kolaborasi untuk tujuan sosial.

Ekonomi digital: Ekonomi menawarkan peluang besar untuk membangun kemandirian bangsa. E-commerce dan teknologi finansial (fintech) seperti GoTo, Tokopedia, dan OVO menjadi pilar ekonomi Indonesia di era digital. Menurut laporan McKinsey & Company (2018), ekonomi digital di Asia Tenggara diproyeksikan mencapai USD 300 miliar pada 2025. Hal ini menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi ketergantungan pada produk asing. Tapscott dalam The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence (2014), juga menyoroti bagaimana digitalisasi mendorong inovasi lokal dan kemandirian ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun