Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada Sudah Usai, Mari Menagih Janji

7 Desember 2024   06:25 Diperbarui: 7 Desember 2024   06:44 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilkada 2024 telah usai, membuka lembaran baru kepemimpinan di berbagai daerah, dan masyarakat yang telah menunaikan hak demokratisnya kini memiliki peran penting untuk memastikan janji-janji kampanye tidak hanya menjadi angan-angan, tetapi direalisasikan sebagai tindakan nyata. Janji politik, yang selalu menjadi bagian dari masa kampanye, sering terbagi antara yang realistis, seperti perbaikan infrastruktur atau peningkatan layanan publik, dan yang terlalu muluk serta sulit diwujudkan, sehingga kerap menimbulkan kekecewaan saat tidak terpenuhi. Melalui artikel ini, masyarakat diajak untuk aktif menagih janji sebagai bagian dari menjaga demokrasi yang sehat dan akuntabel, sementara pemimpin diingatkan akan tanggung jawab moral mereka untuk memenuhi janji guna membangun kepercayaan publik, mewujudkan pembangunan yang adil, dan berkelanjutan.

Janji Kampanye sebagai Kontrak Moral

Janji kampanye bukan sekadar alat untuk menarik suara, tetapi sebuah kontrak moral yang mengikat pemimpin terpilih kepada masyarakat. Menurut pakar etika politik, Susan Rose-Ackerman (Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 1999), janji kampanye adalah bentuk komunikasi yang menetapkan ekspektasi publik terhadap pemimpin. Ia menulis, "Janji politik mencerminkan kesepakatan tak tertulis antara kandidat dan pemilih, yang jika dilanggar, dapat merusak legitimasi dan reputasi pemimpin. Komitmen ini mengandung tanggung jawab yang besar, karena setiap janji yang diucapkan pada masa kampanye akan menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan di mata masyarakat. Oleh sebab itu, pemimpin terpilih wajib menjaga integritas dengan berupaya memenuhi janji-janji tersebut. 

Pemenuhan janji kampanye tidak hanya menunjukkan tanggung jawab, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik yang telah diberikan melalui suara. Dalam The Politics of Trust (2004), Eric M. Uslaner menekankan bahwa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bergantung pada keselarasan antara ucapan dan tindakan. Ia menegaskan, "Ketika janji kampanye tidak terpenuhi, masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan, yang berpotensi menimbulkan apatisme politik dan penurunan partisipasi warga dalam demokrasi." Pemimpin yang konsisten memenuhi janjinya akan mendapatkan dukungan yang lebih besar, bahkan pada periode-periode pemerintahan berikutnya. Sebaliknya, kegagalan memenuhi janji dapat menimbulkan rasa kecewa yang memicu ketidakstabilan sosial dan politik. 

Janji kampanye sering mencakup berbagai aspek kehidupan yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Berikut, beberapa jenis janji yang sering disampaikan. Pertama, infrastruktur: Pembangunan jalan, jembatan, fasilitas umum, hingga akses listrik dan air bersih, seperti seorang kandidat menjanjikan perbaikan jalan desa untuk mempermudah mobilitas ekonomi masyarakat. Kedua, pelayanan publik: Peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan administrasi publik seperti janji pembangunan rumah sakit baru atau pemberian beasiswa bagi pelajar kurang mampu. Ketiga, kesejahteraan rakyat: Program bantuan langsung tunai, subsidi harga kebutuhan pokok, hingga penciptaan lapangan kerja. Janji-janji ini sering menjadi daya tarik bagi masyarakat yang mengharapkan perubahan kondisi ekonomi. Sebagaimana dijelaskan oleh Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation (1999), fokus pada isu-isu tersebut adalah refleksi dari kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Namun, Diamond juga mengingatkan bahwa keberhasilan janji kampanye harus dilihat dari kemampuan pemimpin untuk mengimplementasikannya secara efektif sesuai dengan kapasitas anggaran dan pemerintahan. 

Fokus pada Janji yang Realistis

Janji kampanye sering mencakup berbagai rencana ambisius yang terlihat menarik di mata masyarakat. Namun, penting untuk memprioritaskan janji yang realistis---yang dapat diwujudkan dalam batas anggaran, kapasitas administrasi, dan waktu yang tersedia. Menurut Paul Collier (The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007), keberhasilan kebijakan publik bergantung pada kesesuaian antara tujuan program dan sumber daya yang tersedia. Ia menyatakan, "Visi besar tanpa perhitungan sumber daya hanya akan berujung pada kekecewaan publik." Selain itu, memprioritaskan janji yang realistis membantu pemerintah menjaga fokus pada kebutuhan mendesak masyarakat. Dengan demikian, anggaran yang terbatas dapat dialokasikan secara efektif untuk program yang benar-benar memberikan dampak langsung. 

Masyarakat memegang peranan penting dalam memilah janji kampanye yang relevan dengan kebutuhan lokal. Dalam Public Deliberation: Pluralism, Complexity, and Democracy (2006), James Bohman menjelaskan bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam diskusi publik untuk menentukan prioritas kebijakan. Ia menyatakan, "Partisipasi warga dalam menilai relevansi dan urgensi program kampanye memungkinkan mereka menjadi pengawas aktif terhadap pelaksanaan janji politik." Misalnya, di daerah pedesaan yang kesulitan mengakses air bersih, masyarakat dapat menuntut realisasi janji pembangunan infrastruktur air daripada proyek besar yang tidak memiliki dampak langsung terhadap kehidupan mereka. 

Dengan keterlibatan aktif, masyarakat dapat membantu pemerintah menyusun kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Janji kecil yang realistis sering memiliki potensi membawa perubahan besar ketika dilaksanakan dengan baik. Misalnya, janji membangun sebuah jembatan kecil di desa terpencil. Secara fisik, jembatan tersebut mungkin tampak sederhana, tetapi manfaatnya dapat meluas---mulai dari mempermudah akses pendidikan, kesehatan, hingga perdagangan. Dalam Small Change: Why Business Won't Save the World (2010), Michael Edwards menyatakan bahwa intervensi kecil yang tepat sasaran dapat menciptakan efek domino. Ia menegaskan, "Perubahan besar sering dimulai dari tindakan kecil yang berhasil mengubah dinamika sosial dan ekonomi masyarakat setempat." Contoh lain adalah program bantuan alat pertanian sederhana bagi petani. Janji ini mungkin tidak spektakuler, tetapi dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani secara signifikan. Keberhasilan program-program kecil seperti ini menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin mereka. 

Pemimpin sebagai Pelayan, Bukan Penguasa

Pemimpin yang melayani adalah sosok yang memprioritaskan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Berbeda dengan pemimpin yang berkuasa, yang cenderung menggunakan jabatan untuk memperkuat kendali atau meraih keuntungan pribadi. Robert K. Greenleaf (Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness, 1977), menggambarkan pemimpin yang melayani sebagai individu yang "memimpin dengan cara mendengarkan, berempati, dan mengutamakan kebutuhan orang lain." Sebaliknya, pemimpin yang berkuasa cenderung menuntut ketaatan tanpa dialog dan sering memanfaatkan otoritas untuk memperkuat posisinya. Tipe kepemimpinan ini berisiko menciptakan ketimpangan kekuasaan yang merugikan masyarakat dan merusak kepercayaan publik. 

Kepemimpinan yang melayani berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemimpin ini fokus pada pemenuhan kebutuhan mendasar, pemberdayaan masyarakat, dan penciptaan lingkungan yang inklusif. Dalam Leadership for the Common Good: Tackling Public Problems in a Shared-Power World (1992), Barbara C. Crosby & John M. Bryson menekankan bahwa "kepemimpinan yang melayani dapat menciptakan kolaborasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat, yang pada akhirnya mempercepat pembangunan." Contohnya adalah pemimpin daerah yang menyediakan akses air bersih atau memperbaiki fasilitas pendidikan. Langkah-langkah sederhana namun berdampak besar seperti ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menciptakan rasa percaya masyarakat akan pemimpinnya. 

Pemimpin yang sejati harus menjadikan integritas dan kerja nyata sebagai pilar utama dalam menjalankan tugasnya. John C. Maxwell, (The 21 Irrefutable Laws of Leadership, 1998), menulis, "Seorang pemimpin yang hebat adalah mereka yang konsisten antara perkataan dan perbuatan, serta menunjukkan dedikasi pada nilai-nilai moral yang tinggi." Imbauan kepada para pemimpin adalah untuk selalu ingat bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa. Dengan bekerja nyata dan memegang teguh integritas, seorang pemimpin dapat membangun kepercayaan masyarakat yang berkelanjutan dan meninggalkan warisan kepemimpinan yang positif. 

Peran Aktif Masyarakat dalam Mengawasi

Masyarakat memiliki hak untuk menagih janji politik yang diutarakan selama kampanye. Hal ini merupakan bagian dari kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat. Menurut David Beetham (The Legitimation of Power, 1991), legitimasi kekuasaan pemimpin berasal dari penerimaan masyarakat berdasarkan kinerjanya, termasuk pemenuhan janji kampanye. Ia menulis, "Hak rakyat untuk mengawasi bukan hanya formalitas demokrasi, tetapi esensi dari akuntabilitas." Namun, hak ini harus diimbangi dengan kewajiban masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses pengawasan kebijakan. Dengan menjadi pengawas yang kritis dan konstruktif, masyarakat membantu menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan bertanggung jawab. 

Partisipasi aktif masyarakat, seperti menghadiri dialog publik, terlibat dalam forum warga, atau memberikan masukan melalui mekanisme resmi, merupakan langkah penting dalam memastikan janji pemimpin terlaksana. Sherry Arnstein (A Ladder of Citizen Participation, 1969), menjelaskan bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, termasuk dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan adalah kunci demokrasi partisipatif yang sehat. Forum warga, misalnya, dapat digunakan sebagai ruang untuk menyampaikan keluhan atau ide-ide pembangunan. Di banyak negara, praktik ini telah menunjukkan efektivitasnya dalam memastikan transparansi kebijakan. Dengan menyuarakan kebutuhan lokal secara langsung, masyarakat dapat memengaruhi prioritas anggaran dan program pemerintah. 

Keberhasilan pengawasan masyarakat sering terlihat pada realisasi proyek-proyek yang dianggap sederhana namun signifikan. Misalnya, inisiatif komunitas di Kerala, India, berhasil mengawasi implementasi program pembangunan jalan desa yang dijanjikan selama kampanye. Dalam Decentralisation and Development: Experiences from Kerala (1999), T.M. Thomas Isaac & Richard W. Franke mencatat bahwa keterlibatan warga dalam memantau proyek ini tidak hanya memastikan janji politik ditepati, tetapi juga meningkatkan efisiensi pelaksanaannya. Contoh lain adalah partisipasi masyarakat di Bogor, Indonesia, dalam mengawasi distribusi bantuan sosial selama pandemi COVID-19. Melalui mekanisme pelaporan berbasis komunitas, warga memastikan bahwa bantuan tepat sasaran dan tidak diselewengkan. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa pengawasan aktif dapat menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat. 

Kendala dan Solusi dalam Pemenuhan Janji

Pemenuhan janji kampanye sering terhambat oleh berbagai kendala struktural dan situasional. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan anggaran. Pemimpin sering menjanjikan program ambisius tanpa mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah. Dalam Fiscal Policy and Development Planning (1978), Richard A. Musgrave menyatakan bahwa "anggaran publik harus diseimbangkan dengan kebutuhan pembangunan dan keterbatasan sumber daya." Selain itu, regulasi yang tidak fleksibel dapat menghambat implementasi janji. Misalnya, birokrasi yang berbelit-belit atau konflik antara pemerintah daerah dan pusat sering memperlambat realisasi kebijakan. Kondisi sosial, seperti resistensi masyarakat atau kurangnya partisipasi, juga menjadi tantangan dalam menjalankan program-program berbasis komunitas. 

Untuk menghadapi kendala ini, pemimpin perlu menerapkan strategi berbasis transparansi dan kolaborasi. Salah satu langkah penting adalah membuka akses informasi kepada masyarakat tentang realitas anggaran dan tantangan regulasi. James D. Fearon (Deliberation as Discussion, 2000), menekankan pentingnya komunikasi terbuka antara pemerintah dan masyarakat untuk membangun kepercayaan. Ia menulis, "Keterbukaan mendorong masyarakat memahami batasan pemerintah dan menciptakan ruang dialog untuk solusi bersama."  Selain itu, pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program menjadi kunci. Contoh yang sering disebut adalah pendekatan participatory budgeting, yaitu masyarakat dilibatkan dalam menetapkan prioritas penggunaan anggaran publik. Dalam studi oleh Gianpaolo Baiocchi (Participation, Activism, and Politics: The Porto Alegre Experiment, 2005), pendekatan ini terbukti meningkatkan efisiensi pengelolaan anggaran dan menciptakan rasa kepemilikan di kalangan masyarakat. 

Kendala lain yang sering muncul adalah pemimpin terjebak dalam praktik "membayar utang biaya kampanye" kepada pihak-pihak yang mendukung pencalonan mereka. Hal ini merugikan kepentingan publik karena mengalihkan fokus dari program prioritas ke agenda kelompok tertentu. Untuk mengatasi ini, pemimpin harus memperkuat integritas dengan memisahkan kepentingan pribadi dari tanggung jawab publik. John C. Maxwell (Ethics 101: What Every Leader Needs to Know, 2003), menyatakan bahwa "seorang pemimpin sejati melayani semua pihak secara adil, bukan hanya mereka yang mendukungnya secara politik." 

Uraian di atas menunjukkan, menagih janji kampanye adalah langkah penting dalam menjaga demokrasi yang sehat, karena pemenuhan janji tidak hanya memuaskan masyarakat tetapi juga menjaga kredibilitas politik dan membangun kepercayaan publik. Partisipasi aktif masyarakat harus berlanjut setelah pemungutan suara melalui pengawasan, dialog publik, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan untuk memastikan pemerintah tetap berada pada jalur yang benar dan masyarakat menjadi mitra strategis pembangunan. Harapan besar ditujukan kepada pemimpin untuk menjunjung integritas dan memenuhi janji mereka, demi membangun kepercayaan publik dan mewujudkan demokrasi yang kuat untuk kemajuan bangsa.

Merauke, 7 Desember 2024

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun