Lingkungan hidup yang sehat adalah aset berharga yang harus dijaga untuk keberlanjutan hidup manusia dan seluruh makhluk di bumi, namun kerusakan ekosistem terus terjadi akibat eksploitasi berlebihan demi kepentingan ekonomi segelintir pihak. Untuk membangun kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam, pemerintah Indonesia menetapkan Hari Menanam Pohon pada 28 November melalui Keputusan Presiden RI Nomor 24 Tahun 2008. Penanaman pohon menjadi langkah sederhana namun efektif dalam memulihkan keseimbangan alam, mengurangi dampak negatif kerusakan lingkungan, dan menciptakan bumi yang lebih hijau serta sehat, sekaligus menjadi simbol kepedulian dan investasi masa depan demi keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Krisis Lingkungan dan Pentingnya Tindakan Nyata
Indonesia, dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia, menghadapi tantangan deforestasi yang serius. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa pada 2022 luas hutan Indonesia mencapai 96,0 juta hektar, namun laporan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan rata-rata kehilangan hutan mencapai 2,54 juta hektar per tahun antara 2017--2021, setara dengan enam kali luas lapangan sepak bola setiap menit.
Eksploitasi hutan untuk kepentingan ekonomi seperti perkebunan dan pertambangan sering mengabaikan dampak lingkungan jangka panjang. Selain mengurangi tutupan hutan, kegiatan ini mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengancam keanekaragaman hayati, sesuai dengan peringatan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si' (2015) tentang kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam yang tidak terkendali.
Deforestasi juga memicu perubahan iklim dengan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Sebagai penyerap karbon dioksida, hilangnya hutan meningkatkan konsentrasi gas ini di atmosfer, memperparah pemanasan global. Selain itu, tutupan hutan yang hilang mengurangi kemampuan tanah menyerap air, memicu risiko banjir saat hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Ekosistem yang rusak akibat deforestasi mengancam kebutuhan dasar manusia seperti air bersih, udara segar, dan pangan. Ketergantungan manusia pada ekosistem seimbang menegaskan pandangan Paus Fransiskus (2015) bahwa semua makhluk saling terkait, dan setiap tindakan terhadap lingkungan memiliki dampak luas terhadap kesejahteraan umat manusia.
Hari Menanam Pohon, Momen Refleksi dan Aksi
Penetapan Hari Menanam Pohon bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menanam pohon sebagai langkah nyata memulihkan kerusakan lingkungan dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Emil Salim dalam Manusia dan Lingkungan (2006) menegaskan bahwa pohon tidak hanya menghasilkan oksigen tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem, mengurangi dampak perubahan iklim, dan melindungi keanekaragaman hayati.
Kerusakan lingkungan seperti deforestasi dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali menjadi alasan mendesak di balik aksi ini. Data KLHK mencatat rata-rata kehilangan 650.000 hektar hutan per tahun dalam satu dekade terakhir, yang meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan longsor. Kondisi ini menggarisbawahi perlunya aksi nyata yang lebih berkelanjutan.
Para ahli seperti Al Gore dalam An Inconvenient Truth (2007) menyerukan agar kegiatan simbolis seperti Hari Menanam Pohon menjadi bagian dari budaya masyarakat. Di Indonesia, organisasi seperti Lindungi Hutan mendorong kolaborasi pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk memperkuat penghijauan, baik di perkotaan maupun desa terpencil, serta meningkatkan edukasi lingkungan di sekolah-sekolah agar tercipta kebiasaan berkelanjutan.
Kisah sukses seperti Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) KLHK, yang merehabilitasi 3 juta hektar lahan kritis antara 2015--2021, menunjukkan dampak positif penghijauan. Inisiatif Green Campus Universitas Indonesia berhasil menanam 10.000 pohon, menciptakan lingkungan belajar yang sehat, sementara Desa Sendang, Jawa Tengah, menggunakan pohon produktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus memperbaiki lingkungan, memberikan contoh nyata manfaat penghijauan.
Perspektif Laudato Si': Merawat Rumah Bersama
Dalam Laudato Si' (2015), Paus Fransiskus menekankan bahwa bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab moral. Mengutip Santo Fransiskus dari Assisi, ia menggambarkan alam sebagai "saudara" dan "saudari" kita. Paus menegaskan bahwa eksploitasi bumi tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga melanggar martabat manusia, menuntut perlindungan atas ciptaan Allah sebagai tanggung jawab moral umat manusia.
Krisis lingkungan saat ini, seperti perubahan iklim, deforestasi, dan polusi, disebut sebagai dampak dari "budaya pembuangan" yang mengutamakan keuntungan ekonomi di atas kesejahteraan manusia dan bumi. Menurut Celia Deane-Drummond, dalam Theology and Ecology (2016), tanggung jawab moral ini bersifat kolektif, menuntut kolaborasi antara pemimpin dunia dan masyarakat sipil untuk membangun masa depan yang berkelanjutan.
Konsep ekologi integral yang menjadi inti Laudato Si' menghubungkan isu lingkungan dengan keadilan sosial. Paus menyatakan bahwa krisis lingkungan dan sosial saling terkait, di mana kerusakan alam berdampak lebih besar pada kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan adat. Leonardo Boff dalam Ecology and Liberation (1995) menambahkan bahwa ekologi integral adalah jembatan antara solidaritas manusia dan tanggung jawab terhadap bumi, sehingga melindungi lingkungan juga berarti melawan ketidakadilan struktural.
Paus Fransiskus mengajak semua orang untuk mengambil peran aktif dalam memulihkan hubungan harmonis dengan alam melalui tindakan kecil, seperti mengurangi limbah, menggunakan energi terbarukan, dan menanam pohon. Selain itu, Laudato Si' menekankan pentingnya pendidikan lingkungan untuk menanamkan kesadaran ekologis sejak dini, karena perubahan budaya diperlukan untuk merawat bumi. Mary Evelyn Tucker dalam Living Cosmology (2016) menyebut manusia sebagai penjaga yang bertanggung jawab untuk memastikan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Aksi Nyata: Menanam Pohon Sebagai Langkah Awal
Penanaman pohon berperan besar dalam pelestarian lingkungan, terutama dalam menyerap karbon dioksida (CO), gas rumah kaca utama penyebab perubahan iklim. Pohon juga menghasilkan oksigen dan membantu menstabilkan iklim dengan mengatur suhu serta pola curah hujan. Menurut Thomas Crowther, dalam Nature (2015), pohon lebih efektif menyerap karbon dibandingkan teknologi modern yang ada saat ini.
Selain menjaga atmosfer, pohon melestarikan keanekaragaman hayati dengan menyediakan habitat bagi berbagai spesies. Hutan tropis Indonesia, misalnya, menjadi rumah bagi 80% spesies darat dunia. Penelitian William Laurance (2017) menunjukkan bahwa penanaman kembali hutan mampu memulihkan ekosistem yang rusak dan melindungi jutaan spesies dari ancaman kepunahan.
Inisiatif penanaman pohon mulai banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Gerakan Indonesia Berkebun, dipelopori oleh Ridwan Kamil dalam Urban Gardening Movement (2018), mengubah lahan kosong menjadi ruang hijau produktif. Kisah inspiratif lainnya adalah Sadiman, petani asal Gunung Kidul yang berhasil mengembalikan mata air dengan menanam ribuan pohon beringin. Aksi individu ini membuktikan bahwa langkah kecil dapat membawa dampak besar.
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan penghijauan. Program pemerintah seperti GN-KPA menargetkan penanaman di daerah kritis, sementara sektor swasta, seperti Astra Green Energy, mendukung rehabilitasi hutan. Partisipasi masyarakat juga penting, seperti melalui program Desa Hutan Lestari yang melibatkan penduduk lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, sehingga memperbaiki lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
Tantangan dan Solusi dalam Gerakan Penanaman Pohon
Tantangan
Kurangnya partisipasi dan perawatan pohon: Salah satu tantangan utama dalam gerakan penanaman pohon adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk melanjutkan perawatan setelah menanam. Menurut Emil Salim, dalam Ekologi dan Pembangunan Berkelanjutan (2010), "Menanam pohon hanyalah awal, sementara perawatan pohon adalah langkah penting untuk memastikan keberlanjutan manfaatnya." Banyak program penghijauan gagal mencapai tujuannya karena pohon-pohon yang ditanam tidak dirawat, sehingga mati dalam waktu singkat.
Konflik kepentingan antara ekonomi dan lingkungan: Konflik ini sering muncul ketika kebutuhan ekonomi mendesak menyebabkan pengabaian terhadap aspek lingkungan. Misalnya, konversi hutan menjadi lahan sawit yang menguntungkan secara ekonomi tetapi merusak ekosistem hutan. John Perlin dalam A Forest Journey (2005) menekankan bahwa "keserakahan ekonomi jangka pendek sering mengorbankan stabilitas ekologis jangka panjang." Konflik ini semakin diperparah oleh lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan.
Solusi
Edukasi dan kesadaran masyarakat: Solusi utama untuk tantangan ini adalah meningkatkan edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan. Gerakan seperti Earth Hour atau One Tree Planted telah menunjukkan bahwa kampanye yang menarik dan informatif dapat mengubah pola pikir masyarakat. Vandana Shiva, dalam Earth Democracy (2005), menyatakan bahwa "kesadaran lingkungan harus ditanamkan sejak dini untuk membangun generasi yang peduli terhadap planet ini." Edukasi harus mencakup pentingnya perawatan pohon pasca-penanaman agar upaya penghijauan benar-benar efektif.
Regulasi yang lebih ketat: Regulasi terhadap eksploitasi sumber daya alam harus diperkuat. Pemerintah perlu memastikan bahwa perusahaan besar yang memanfaatkan lahan untuk kegiatan ekonomi juga bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan. Program seperti Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia telah menetapkan target restorasi hutan, tetapi keberhasilan program ini sangat bergantung pada pengawasan ketat dan kerja sama masyarakat.
Kampanye kreatif untuk menginspirasi partisipasi: Kampanye kreatif yang melibatkan seni, teknologi, dan budaya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam gerakan penanaman pohon. Sebagai contoh, program Green Music Initiative di Eropa menggabungkan konser musik dengan pesan lingkungan, menginspirasi generasi muda untuk terlibat dalam aksi nyata. Di Indonesia, gerakan seperti Indonesia Menanam menggunakan media sosial untuk mengajak masyarakat menanam dan merawat pohon dengan slogan menarik. Erna Witoelar (2018), dalam konteks budaya dan lingkungan, menyatakan bahwa "kampanye harus relevan secara budaya untuk menciptakan resonansi emosional di kalangan masyarakat lokal." Pendekatan ini memastikan bahwa pesan lingkungan diterima dengan baik dan memotivasi tindakan nyata.
Uraian di atas menunjukkan bahwa menanam pohon adalah tindakan sederhana dengan dampak besar bagi bumi dan masa depan, menjadi simbol harapan untuk menjaga keberlanjutan hidup sekaligus momentum memulai aksi nyata merawat lingkungan. Hari Menanam Pohon seharusnya menjadi gerakan berkelanjutan yang melibatkan semua elemen masyarakat, sejalan dengan nilai-nilai Laudato Si' (2015) oleh Paus Fransiskus, yang mengajak kita merawat bumi sebagai rumah bersama dan menjaga keseimbangan alam. Dengan semangat gotong royong, langkah nyata seperti menanam pohon, menjaga hutan, dan mempromosikan kebijakan berkelanjutan dapat memulihkan lingkungan dan menciptakan dunia yang lebih hijau, sehat, serta harmonis bagi generasi mendatang.
Merauke, 28 November 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H