Air adalah sumber kehidupan yang melampaui kebutuhan biologis dan menjadi dasar dari setiap aktivitas manusia, mulai dari pertanian hingga pembentukan ekosistem yang lestari; air juga hadir sebagai simbol kehidupan, kemurnian, dan keberlanjutan dalam berbagai tradisi di dunia. Bagi masyarakat Lamaholot di Flores Timur, Adonara, Solor, dan Lembata, hubungan dengan air sangat erat dan tercermin dalam kearifan lokal yang menyatu dengan alam, yang mereka hormati sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya. Istilah "wai," yang berpadanan dengan "air," mewakili nilai ini, bukan hanya sebagai kata sehari-hari, tetapi sebagai simbol penghargaan dalam nama-nama tempat dan pribadi, seperti Waiwerang dan Waiteba, menegaskan bahwa air adalah penghubung antara manusia, alam, dan leluhur, yang melambangkan semangat kehidupan yang mengalir dalam komunitas mereka.
Makna "Wai" dalam Nama Tempat dan Pribadi
Kata "wai" memiliki tempat yang istimewa dalam penamaan wilayah geografis, seperti Waiteba, Waiwerang, Waikomo, dan banyak lainnya. Kata "wai," yang berpadanan dengan "air," dalam bahasa Lamaholot, sering ditemui sebagai awalan atau bagian dari nama tempat. Ini bukan sekadar penanda lokasi sumber air atau sungai, tetapi juga simbol penghormatan terhadap alam, khususnya air yang menjadi sumber kehidupan.
Menurut Clifford Geertz, dalam The Interpretation of Cultures (1973), simbol-simbol seperti nama tempat dapat menggambarkan nilai budaya yang mendalam dari masyarakat tersebut, di mana alam sering dianggap sebagai entitas sakral dalam pandangan masyarakat tradisional. Dalam hal ini, penggunaan "wai" sebagai penanda wilayah menggambarkan pandangan masyarakat Lamaholot terhadap air sebagai entitas yang memberi kehidupan sekaligus memiliki makna spiritual yang kuat. Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) menekankan bahwa "air, seperti alam secara keseluruhan, adalah anugerah Tuhan yang perlu dilindungi, karena semua manusia memiliki hak atas air bersih sebagai hak yang tidak dapat dicabut." Dalam konteks ini, masyarakat Lamaholot secara alami menerapkan nilai-nilai tersebut melalui kearifan lokal dalam menghormati dan menjaga sumber air, menjadikannya bagian dari identitas budaya dalam nama tempat mereka.
Selain dalam penamaan tempat, kata "wai" juga ditemukan dalam nama-nama pribadi, seperti Markus Waiwuri, Thomas Wai, atau Lukas Wai. Penggunaan "wai" pada nama individu biasanya mencerminkan harapan bahwa individu tersebut memiliki sifat-sifat yang berkaitan dengan air---seperti ketahanan, ketenangan, dan kemampuan untuk mengalir menghadapi perubahan hidup. Dalam banyak masyarakat tradisional, nama yang berkaitan dengan elemen alam dianggap membawa kekuatan atau perlindungan khusus, dan hal ini juga berlaku dalam masyarakat Lamaholot.
Dalam perspektif psikologi sosial, penamaan yang melibatkan simbol-simbol alam dapat memperkuat identitas budaya dan nilai-nilai sosial seseorang, sebagaimana dikemukakan oleh Emile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912). Menurutnya, identitas individu sering dibentuk oleh simbol-simbol kolektif masyarakatnya, dan dengan memberikan nama yang terkait dengan air, masyarakat Lamaholot memperkuat nilai dan harapan yang mereka miliki bagi anak-anak mereka.
Dari sisi spiritualitas, nama yang mengandung unsur "wai" mencerminkan penghormatan yang dalam terhadap alam sebagai salah satu ciptaan Tuhan. Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa "air adalah lambang kehidupan yang diberikan oleh Tuhan" (KGK 1992). Karena itu, penghormatan masyarakat Lamaholot terhadap air yang diwujudkan dalam nama pribadi dapat dilihat sebagai ekspresi iman dan pengakuan akan karunia Tuhan. Melalui penggunaan kata "wai" dalam nama tempat dan pribadi, masyarakat Lamaholot tidak hanya menunjukkan penghargaan atas air sebagai sumber kehidupan, tetapi juga menghidupkan kembali identitas mereka yang harmonis dengan alam, sekaligus selaras dengan nilai-nilai spiritualitas yang diwariskan secara turun-temurun.
"Wai" sebagai Sumber Kehidupan dan Identitas Budaya
Air memiliki nilai praktis dan sakral dalam kehidupan masyarakat Lamaholot. Selain untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, memasak, dan bertani, air merupakan pusat dari produktivitas dan ketahanan pangan mereka. Sumber air dijaga dengan aturan adat agar terhindar dari eksploitasi dan pencemaran, menunjukkan kearifan lokal dalam menjaga keberlanjutan sumber daya. Kearifan masyarakat Lamaholot dalam merawat sumber air mencerminkan tanggung jawab mereka terhadap generasi mendatang. Merawat sumber air tidak sekadar menjaga lingkungan, tetapi juga melindungi hak dasar manusia akan air bersih, sebagaimana ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015).
Air juga memainkan peran penting dalam ritual dan kepercayaan masyarakat Lamaholot. Misalnya, dalam upacara pemanggilan hujan di musim kemarau panjang, air menjadi simbol restu dari alam semesta. Selain itu, upacara pembersihan simbolis menggunakan air diyakini dapat menghilangkan energi negatif, menandakan awal baru bagi individu atau komunitas. Menurut Arnold van Gennep dalam The Rites of Passage (1960), air dalam ritual pembersihan melambangkan pemurnian dan kelahiran kembali. Dalam budaya Lamaholot, upacara ini tidak hanya bermakna budaya tetapi juga spiritual, menghubungkan manusia dengan leluhur dan alam. Dalam kebudayaan Lamaholot, air atau "wai" melampaui fungsi praktisnya, menjadi simbol penghubung antara manusia, alam, dan dunia spiritual. Masyarakat percaya bahwa dengan menghormati air, mereka menjaga hubungan harmonis dengan leluhur dan alam, yang mendatangkan berkah bagi komunitas.
Simbol air ini, menurut Durkheim (1912), merepresentasikan nilai kolektif masyarakat Lamaholot. Paus Yohanes Paulus II dalam pesan Hari Perdamaian Sedunia (2002) juga menekankan pentingnya menjaga air sebagai warisan ilahi, menegaskan bahwa menghormati air berarti menghormati kehidupan. Dengan menghormati air, masyarakat Lamaholot tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga memperkuat identitas budaya mereka yang memandang alam sebagai bagian integral dari kehidupan spiritual. Air sebagai "wai" melambangkan keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual, menjadikannya unsur kunci dalam menjaga keharmonisan.
"Wai" dan Nilai Kearifan Lokal
Masyarakat Lamaholot menunjukkan kearifan lokal dalam menjaga sumber daya air secara berkelanjutan. Mereka memahami pentingnya air untuk kebutuhan sehari-hari dan keberlanjutan ekosistem, menerapkan aturan adat yang melindungi pohon dan hutan di sekitar mata air. Bagi mereka, menjaga air tidak hanya tindakan ekologis, tetapi juga bagian dari kehidupan sosial dan spiritual. Menurut Fikret Berkes dalam Sacred Ecology (1999), banyak masyarakat adat mengelola sumber daya dengan ritual dan nilai spiritual yang mendukung keberlanjutan alam. Bagi masyarakat Lamaholot, hutan di sekitar mata air adalah tempat sakral yang dilindungi sebagai bentuk tanggung jawab moral, sejalan dengan ajaran Gereja Katolik untuk merawat ciptaan Tuhan.
Air dianggap sebagai aset kolektif yang harus dijaga oleh seluruh masyarakat, bukan milik perorangan. Di daerah seperti Lamanuna (Lembata), aturan adat melarang pembukaan lahan atau pembakaran hutan di sekitar sumber air untuk menjaga keseimbangan alam. Pelanggaran terhadap aturan ini dianggap mengganggu harmoni alam dan dipulihkan melalui upacara adat sebagai bentuk permohonan kepada leluhur. Raymond Firth dalam Elements of Social Organization (1963) menyebutkan bahwa pengorbanan dalam upacara adat sering dilakukan untuk memulihkan keseimbangan alam yang terganggu. Hal ini menunjukkan pentingnya tanggung jawab kolektif dalam menjaga alam, selaras dengan ajaran Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) yang menekankan peran semua orang dalam melindungi sumber daya bumi. Dengan pandangan yang menghormati alam dan memandang air sebagai milik bersama, masyarakat Lamaholot berhasil mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan sosial dalam pengelolaan air. Nilai kebersamaan dan kepedulian lingkungan ini menjadi landasan penting dalam menjaga keberlanjutan hidup di tengah tantangan ekologi yang terus berkembang.
Tantangan Modern terhadap Kearifan Lokal
Perkembangan zaman membawa ancaman terhadap ketersediaan air bersih, terutama dari perubahan iklim yang memengaruhi cuaca, musim, dan suhu global. Di wilayah seperti Flores Timur, Adonara, Solor, dan Lembata, perubahan iklim menyebabkan kelangkaan air di musim kering dan banjir di musim hujan. Selain itu, eksploitasi alam melalui deforestasi, pertambangan, dan pertanian intensif mengakibatkan erosi tanah dan kontaminasi kimia yang menurunkan kualitas air. J. B. Ruhl dalam The Law of Ecosystem Services (2014) menyatakan bahwa ketergantungan manusia pada teknologi dan eksploitasi berlebihan mengancam keberlanjutan air, sementara Paus Fransiskus (2015) menegaskan bahwa air bersih adalah hak dasar yang harus dijaga. Bagi masyarakat adat Lamaholot, aturan adat yang melestarikan air kini terancam oleh tekanan globalisasi dan modernisasi.
Modernisasi membawa perubahan gaya hidup yang menggeser nilai-nilai masyarakat lokal. Dulu, air dalam budaya Lamaholot dihormati sebagai elemen suci dengan nilai spiritual dan sosial. Namun, budaya konsumtif yang masuk mengurangi perhatian terhadap kelestarian air, melemahkan nilai-nilai tradisional yang mengutamakan lingkungan. James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998) menyebut masyarakat adat menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan tradisi di tengah tekanan modernitas. Paus Fransiskus (2015) juga mendorong masyarakat untuk memelihara nilai spiritual yang berakar pada warisan leluhur sebagai bagian dari respons terhadap perubahan zaman, agar tetap terhubung dengan nilai ekologi yang mendalam. Masyarakat Lamaholot menunjukkan bahwa air bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi bagian dari identitas budaya dan spiritual mereka. Tantangan modern ini menuntut komunitas untuk memperkuat kearifan lokal dan kebijakan baru yang mendukung keberlanjutan ekologi setempat.
Artikel ini mengungkap makna "wai" dalam budaya Lamaholot sebagai simbol penting air yang mencerminkan kearifan lokal, spiritualitas, dan sosial. Mempertahankan arti "wai" berarti melestarikan pandangan hidup dan penghormatan terhadap ciptaan Tuhan. Di tengah ancaman modern terhadap lingkungan, menghargai dan melestarikan sumber daya air menjadi tanggung jawab bersama, tak hanya bagi masyarakat Lamaholot, tetapi juga sebagai pelajaran universal tentang keseimbangan ekologi demi generasi mendatang. Melalui tradisi ini, masyarakat Lamaholot menjaga keharmonisan dengan alam dan memperkuat ikatan leluhur, turut berkontribusi pada keberlanjutan global, dan memberi inspirasi bagi kita semua untuk memelihara alam sebagai sumber kehidupan. (*)
Merauke, 23 November 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H