Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengungkap Jejak "Wai" dalam Tradisi Masyarakat Lamaholot

23 November 2024   12:23 Diperbarui: 23 November 2024   12:33 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wai" dan Nilai Kearifan Lokal

Masyarakat Lamaholot menunjukkan kearifan lokal dalam menjaga sumber daya air secara berkelanjutan. Mereka memahami pentingnya air untuk kebutuhan sehari-hari dan keberlanjutan ekosistem, menerapkan aturan adat yang melindungi pohon dan hutan di sekitar mata air. Bagi mereka, menjaga air tidak hanya tindakan ekologis, tetapi juga bagian dari kehidupan sosial dan spiritual. Menurut Fikret Berkes dalam Sacred Ecology (1999), banyak masyarakat adat mengelola sumber daya dengan ritual dan nilai spiritual yang mendukung keberlanjutan alam. Bagi masyarakat Lamaholot, hutan di sekitar mata air adalah tempat sakral yang dilindungi sebagai bentuk tanggung jawab moral, sejalan dengan ajaran Gereja Katolik untuk merawat ciptaan Tuhan.

Air dianggap sebagai aset kolektif yang harus dijaga oleh seluruh masyarakat, bukan milik perorangan. Di daerah seperti Lamanuna (Lembata), aturan adat melarang pembukaan lahan atau pembakaran hutan di sekitar sumber air untuk menjaga keseimbangan alam. Pelanggaran terhadap aturan ini dianggap mengganggu harmoni alam dan dipulihkan melalui upacara adat sebagai bentuk permohonan kepada leluhur. Raymond Firth dalam Elements of Social Organization (1963) menyebutkan bahwa pengorbanan dalam upacara adat sering dilakukan untuk memulihkan keseimbangan alam yang terganggu. Hal ini menunjukkan pentingnya tanggung jawab kolektif dalam menjaga alam, selaras dengan ajaran Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) yang menekankan peran semua orang dalam melindungi sumber daya bumi. Dengan pandangan yang menghormati alam dan memandang air sebagai milik bersama, masyarakat Lamaholot berhasil mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan sosial dalam pengelolaan air. Nilai kebersamaan dan kepedulian lingkungan ini menjadi landasan penting dalam menjaga keberlanjutan hidup di tengah tantangan ekologi yang terus berkembang.

Tantangan Modern terhadap Kearifan Lokal

Perkembangan zaman membawa ancaman terhadap ketersediaan air bersih, terutama dari perubahan iklim yang memengaruhi cuaca, musim, dan suhu global. Di wilayah seperti Flores Timur, Adonara, Solor, dan Lembata, perubahan iklim menyebabkan kelangkaan air di musim kering dan banjir di musim hujan. Selain itu, eksploitasi alam melalui deforestasi, pertambangan, dan pertanian intensif mengakibatkan erosi tanah dan kontaminasi kimia yang menurunkan kualitas air. J. B. Ruhl dalam The Law of Ecosystem Services (2014) menyatakan bahwa ketergantungan manusia pada teknologi dan eksploitasi berlebihan mengancam keberlanjutan air, sementara Paus Fransiskus (2015) menegaskan bahwa air bersih adalah hak dasar yang harus dijaga. Bagi masyarakat adat Lamaholot, aturan adat yang melestarikan air kini terancam oleh tekanan globalisasi dan modernisasi.

Modernisasi membawa perubahan gaya hidup yang menggeser nilai-nilai masyarakat lokal. Dulu, air dalam budaya Lamaholot dihormati sebagai elemen suci dengan nilai spiritual dan sosial. Namun, budaya konsumtif yang masuk mengurangi perhatian terhadap kelestarian air, melemahkan nilai-nilai tradisional yang mengutamakan lingkungan. James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998) menyebut masyarakat adat menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan tradisi di tengah tekanan modernitas. Paus Fransiskus (2015) juga mendorong masyarakat untuk memelihara nilai spiritual yang berakar pada warisan leluhur sebagai bagian dari respons terhadap perubahan zaman, agar tetap terhubung dengan nilai ekologi yang mendalam. Masyarakat Lamaholot menunjukkan bahwa air bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi bagian dari identitas budaya dan spiritual mereka. Tantangan modern ini menuntut komunitas untuk memperkuat kearifan lokal dan kebijakan baru yang mendukung keberlanjutan ekologi setempat.

Artikel ini mengungkap makna "wai" dalam budaya Lamaholot sebagai simbol penting air yang mencerminkan kearifan lokal, spiritualitas, dan sosial. Mempertahankan arti "wai" berarti melestarikan pandangan hidup dan penghormatan terhadap ciptaan Tuhan. Di tengah ancaman modern terhadap lingkungan, menghargai dan melestarikan sumber daya air menjadi tanggung jawab bersama, tak hanya bagi masyarakat Lamaholot, tetapi juga sebagai pelajaran universal tentang keseimbangan ekologi demi generasi mendatang. Melalui tradisi ini, masyarakat Lamaholot menjaga keharmonisan dengan alam dan memperkuat ikatan leluhur, turut berkontribusi pada keberlanjutan global, dan memberi inspirasi bagi kita semua untuk memelihara alam sebagai sumber kehidupan. (*)

Merauke, 23 November 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun