Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

(Novel) Menapak Jejak di Kimaam, Episode 53-54

22 November 2024   06:05 Diperbarui: 22 November 2024   06:30 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Cover Menapak Jejak di Kimaam (Dokumen Pribadi)

Menulis Surat ke Keluarga

Di suatu sore yang cerah di Bogor, Josefa duduk sendiri di kamarnya setelah selesai dengan semua kegiatan perkuliahan dan tugasnya. Dia mengambil selembar kertas dan pena, lalu mulai menulis surat panjang untuk keluarganya di Kampung Tabonji. Suasana di kamarnya tenang, hanya terdengar riuh rendah dari luar jendela yang terbuka, angin sepoi-sepoi yang masuk menerpa wajahnya.

"Teman-teman sekelas aku di sini sangat membantu, Ayah. Mereka baik dan selalu mendukung aku," tulis Josefa dengan penuh rasa syukur.

Dia berhenti sejenak, memikirkan bagaimana menggambarkan betapa berartinya dukungan dari teman-temannya. Kemudian, lanjut menulis, "Aku sedang belajar banyak tentang pertanian modern, Ibu. Ilmu yang aku dapatkan di sini sangat berharga."

Mengingat pembelajaran yang telah dilaluinya, Josefa tersenyum. Ia menggigit pena dengan antusias, menuliskan pengalamannya. "Kemarin, kami belajar tentang sistem irigasi tetes. Aku pikir metode ini bisa sangat membantu di kampung kita."

Dia terdiam sejenak, mengingat sungai di kampungnya yang begitu jernih. "Sungai di sini tidak sejernih sungai di kampung, Ayah. Aku kangen sekali dengan suara air yang mengalir di samping rumah kita," tulisnya dengan penuh kerinduan.

Josefa membayangkan wajah kedua orang tuanya saat membaca surat ini. Dia tahu mereka akan merasa bangga dan sedikit lega mengetahui bahwa dia baik-baik saja. "Ibu, aku juga merindukan masakanmu. Di sini makanannya enak, tapi tidak ada yang bisa menggantikan rasa masakan rumah."

Malam sebelumnya, Josefa berbincang dengan Teguh tentang perasaannya. "Teguh, kadang-kadang aku merasa sangat rindu dengan rumah," kata Josefa sambil menatap langit malam Bogor.

Teguh mengangguk, memahaminya. "Itu wajar, Josefa. Aku juga sering merasa rindu dengan kampung halamanku. Tapi ingat, kita di sini untuk masa depan yang lebih baik."

Josefa mengangguk, merasakan semangatnya kembali. "Kamu benar, Teguh. Surat ini akan membantu mereka memahami bahwa aku tetap kuat di sini."

Surat itu bukan hanya sekadar komunikasi rutin, tetapi juga menjadi media bagi Josefa untuk mengungkapkan semua perasaannya yang terpendam kepada keluarganya. Dia menulis dengan penuh cinta dan harap, bahwa meskipun jauh dari mereka, dia selalu berdoa agar keluarganya selalu sehat dan bahagia di kampung halamannya.

Setelah menyelesaikan suratnya, Josefa melipatnya dengan hati-hati dan menuliskan alamat dengan teliti sebelum mengirimkannya dengan perasaan harap-harap cemas yang campur aduk. "Semoga Ayah dan Ibu senang membaca surat ini," gumamnya sambil menatap amplop yang siap dikirim.

Dukungan dari Jauh

Di suatu sore di Bogor yang cerah, Josefa duduk di meja kecil di kamarnya setelah selesai dengan semua kegiatan perkuliahan dan tugasnya. Dia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi panggilan video. Layar ponselnya segera menyala dengan wajah hangat ibunya, Maria, yang tersenyum di sisi layar.

Josefa tersenyum hangat. "Halo, Ibu! Bagaimana kabar di kampung?"

Maria tersenyum lebar. "Kami semua baik-baik saja di sini, Nak. Kamu sendiri bagaimana di sana? Apa kabar kuliahmu?"

Josefa menceritakan segala hal yang dia alami sejak pertama kali tiba di Bogor. Dia bercerita tentang suasana kampus IPB yang ramai dan penuh dengan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia.

Maria mendengarkan dengan penuh perhatian. "Bagus, Nak. Ibuku selalu mendoakanmu agar selalu diberi kemudahan dalam menuntut ilmu di sana."

Josefa tersenyum, merasa hangat dengan dukungan dari ibunya. "Terima kasih, Ibu. Aku berusaha keras untuk belajar dan tidak mengecewakan semua dukungan dan doa dari kalian di sana."

Maria tersenyum lembut. "Kami yakin kamu bisa, Nak. Tetap semangat dan jangan lupakan akar budayamu."

Josefa mengangguk. "Ya, Ibu. Aku juga merindukan kampung halaman, terutama saat hujan turun di sana."

Panggilan video itu berlanjut dengan cerita-cerita hangat tentang kehidupan di kampung halaman. Josefa menggambarkan keindahan alam, aroma bunga dan tanah basah, serta momen-momen bersama keluarga yang selalu membawa kehangatan dalam ingatannya.

Setelah berbincang lama, panggilan video itu akhirnya berakhir dengan saling berjanji untuk selalu berkomunikasi dan saling memberi dukungan. Josefa merasa beruntung memiliki keluarga yang selalu ada di sampingnya, meskipun jarak memisahkan mereka.

Setelah menutup panggilan, Josefa kembali duduk di meja kecilnya, merasa penuh semangat dan terhubung dengan akar budayanya, serta siap menghadapi hari-hari mendatang di IPB dengan tekad yang bulat.

(Bersambung)

Merauke, 22 November 2024

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun