Menulis Surat ke Keluarga
Di suatu sore yang cerah di Bogor, Josefa duduk sendiri di kamarnya setelah selesai dengan semua kegiatan perkuliahan dan tugasnya. Dia mengambil selembar kertas dan pena, lalu mulai menulis surat panjang untuk keluarganya di Kampung Tabonji. Suasana di kamarnya tenang, hanya terdengar riuh rendah dari luar jendela yang terbuka, angin sepoi-sepoi yang masuk menerpa wajahnya.
"Teman-teman sekelas aku di sini sangat membantu, Ayah. Mereka baik dan selalu mendukung aku," tulis Josefa dengan penuh rasa syukur.
Dia berhenti sejenak, memikirkan bagaimana menggambarkan betapa berartinya dukungan dari teman-temannya. Kemudian, lanjut menulis, "Aku sedang belajar banyak tentang pertanian modern, Ibu. Ilmu yang aku dapatkan di sini sangat berharga."
Mengingat pembelajaran yang telah dilaluinya, Josefa tersenyum. Ia menggigit pena dengan antusias, menuliskan pengalamannya. "Kemarin, kami belajar tentang sistem irigasi tetes. Aku pikir metode ini bisa sangat membantu di kampung kita."
Dia terdiam sejenak, mengingat sungai di kampungnya yang begitu jernih. "Sungai di sini tidak sejernih sungai di kampung, Ayah. Aku kangen sekali dengan suara air yang mengalir di samping rumah kita," tulisnya dengan penuh kerinduan.
Josefa membayangkan wajah kedua orang tuanya saat membaca surat ini. Dia tahu mereka akan merasa bangga dan sedikit lega mengetahui bahwa dia baik-baik saja. "Ibu, aku juga merindukan masakanmu. Di sini makanannya enak, tapi tidak ada yang bisa menggantikan rasa masakan rumah."
Malam sebelumnya, Josefa berbincang dengan Teguh tentang perasaannya. "Teguh, kadang-kadang aku merasa sangat rindu dengan rumah," kata Josefa sambil menatap langit malam Bogor.
Teguh mengangguk, memahaminya. "Itu wajar, Josefa. Aku juga sering merasa rindu dengan kampung halamanku. Tapi ingat, kita di sini untuk masa depan yang lebih baik."
Josefa mengangguk, merasakan semangatnya kembali. "Kamu benar, Teguh. Surat ini akan membantu mereka memahami bahwa aku tetap kuat di sini."