Dalam interaksi sehari-hari, semakin akrab hubungan, semakin bebas seseorang mengekspresikan diri tanpa formalitas, bahkan sering dengan nada yang "kasar." Sebaliknya, hubungan yang baru atau profesional cenderung menggunakan bahasa yang lebih halus. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketidaksopanan dalam hubungan akrab justru mencerminkan kedekatan dan kepercayaan. Pertanyaan menarik muncul mengenai mengapa keakraban mengurangi kesopanan, yang terasa nyaman namun memiliki dasar linguistik dan sosial. Dari perspektif sosiolinguistik, memahami pola ini penting karena bahasa tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menegaskan hubungan sosial dan menghindari kesalahpahaman antarbudaya.
Konsep Dasar Kesopanan dalam Linguistik
Kesopanan dalam linguistik menunjukkan bagaimana norma sosial memengaruhi komunikasi untuk menjaga keharmonisan hubungan. Brown dan Levinson, dalam Politeness: Some Universals in Language Usage (1987), mengidentifikasi dua jenis "muka" sosial---muka positif dan muka negatif---yang penting dalam interaksi. Muka positif mencerminkan keinginan untuk diterima dan dihargai, sementara muka negatif berkaitan dengan kebutuhan mempertahankan otonomi pribadi.
Konsep muka positif dan negatif ini menggambarkan strategi komunikasi untuk menghindari konflik. Muka positif melibatkan upaya mendekatkan diri, seperti memberi pujian atau persetujuan untuk mempererat hubungan sosial. Sebaliknya, muka negatif menjaga kebebasan individu melalui permintaan atau permohonan maaf agar lawan bicara merasa dihormati tanpa merasa tertekan.
Penggunaan kesopanan positif dan negatif bergantung pada konteks hubungan. Dalam hubungan akrab, kesopanan positif lebih sering digunakan untuk menunjukkan keakraban dan solidaritas, sering kali melalui humor atau panggilan akrab. Sebaliknya, dalam hubungan profesional atau budaya hierarkis, kesopanan negatif yang menjaga jarak lebih umum untuk menghormati otonomi lawan bicara, terutama dalam interaksi formal.
Keakraban dan Pengaruhnya Terhadap Kesopanan
Keakraban dalam hubungan sosial memengaruhi cara seseorang berbicara dan berperilaku. Dalam sosiolinguistik, keakraban menurunkan kebutuhan akan kesopanan formal dan memungkinkan gaya komunikasi yang lebih santai.
Keakraban sebagai faktor pengurang kesopanan: Hubungan yang akrab memungkinkan seseorang berkomunikasi dengan lebih leluasa, termasuk menggunakan bahasa yang mungkin dianggap "tidak sopan" oleh orang luar. Menurut Brown & Levinson (1987), semakin tinggi tingkat keakraban, semakin kecil tekanan untuk mematuhi kesopanan formal karena adanya kepercayaan timbal balik. Robin Lakoff dalam The Logic of Politeness (1973) juga menyatakan bahwa dalam hubungan akrab, orang cenderung lebih spontan dan kurang terkendali, mengorbankan kesopanan demi keterbukaan dan kenyamanan.
Prinsip solidaritas: Prinsip ini menjelaskan mengapa hubungan akrab cenderung lebih santai dalam hal kesopanan. Solidaritas menciptakan rasa kebersamaan yang memungkinkan gaya komunikasi santai atau bahkan kasar. Geoffrey Leech dalam Principles of Pragmatics (1983) menjelaskan bahwa solidaritas mengurangi kebutuhan menjaga kesantunan formal karena adanya pemahaman bersama antara individu. Brown & Levinson (1987) juga mencatat bahwa solidaritas menurunkan jarak sosial dan memungkinkan ungkapan yang biasanya kasar digunakan untuk mendekatkan hubungan.
Ketidaksopanan yang wajar dalam keakraban: Dalam hubungan sangat akrab, ketidaksopanan bisa dianggap wajar. Janet Holmes dalam An Introduction to Sociolinguistics (2013) menjelaskan bahwa ungkapan yang tampaknya kasar dari sudut pandang orang luar justru menjadi simbol keakraban dan kenyamanan. Teman dekat atau keluarga bisa bercanda kasar tanpa menyinggung satu sama lain, dan jenis komunikasi ini menunjukkan "ketidaksopanan yang wajar" karena di dalamnya terkandung niat positif. Ungkapan kasar dalam hubungan akrab, seperti antara teman atau saudara, merupakan bentuk "bahasa akrab." Misalnya, kakak beradik yang saling ejek dengan ungkapan seperti "dasar pemalas" mungkin terdengar kasar, tetapi dalam konteks tersebut, ungkapan ini menandakan kedekatan dan persaudaraan. Komunikasi ini menunjukkan bahwa hubungan emosional lebih diutamakan daripada kepatuhan pada norma kesopanan umum.
Jarak Sosial dan Kesopanan dalam Hubungan yang Tidak Akrab
Dalam hubungan yang tidak akrab, kesopanan menjadi alat penting untuk menjaga jarak sosial dan menunjukkan rasa hormat terhadap status atau posisi masing-masing individu. Dalam konteks sosiolinguistik, kesopanan ini berfungsi untuk menghindari konflik dan menciptakan suasana formal yang sesuai dengan perbedaan hierarki atau jarak sosial.
Jarak sosial dan hierarki: Jarak sosial dan perbedaan status sangat memengaruhi tingkat kesopanan yang diharapkan dalam komunikasi. Menurut Brown & Levinson (1987), semakin besar jarak sosial, semakin tinggi kebutuhan kesopanan formal untuk melindungi citra diri setiap pihak. Dalam hierarki, seperti antara atasan dan bawahan, bahasa sopan mengakui posisi dan otoritas pihak yang lebih tinggi. Erving Goffman dalam Interaction Ritual: Essays in Face-to-Face Behavior (1967) juga menyatakan bahwa orang berusaha melindungi citra diri dalam interaksi, dan kesopanan membantu menjaga keseimbangan dalam hubungan dengan jarak sosial besar. Dalam konteks yang tidak akrab, bahasa formal dan sopan penting untuk mempertahankan struktur hierarki dan mencegah potensi konflik atau ketidaknyamanan.
Fungsi kesopanan dalam interaksi resmi: Dalam interaksi formal, kesopanan berfungsi menjaga jarak emosional dan menunjukkan rasa hormat. Geoffrey Leech (1983) menyatakan bahwa kesopanan membantu mempertahankan jarak sosial dan memberikan penghargaan terhadap status seseorang. Kesopanan formal memastikan hubungan tetap sesuai norma yang ditetapkan. Aspek penting dalam kesopanan formal adalah kesopanan negatif, yang menghindari gangguan terhadap otonomi orang lain. Brown & Levinson (1987) menjelaskan bahwa kesopanan negatif ini digunakan untuk menjaga kebebasan pihak lain, terutama dalam hubungan dengan jarak sosial atau hierarki besar.
Contoh kasus interaksi atasan dan bawahan atau komunikasi antarorang yang baru bertemu: Kesopanan formal berfungsi menunjukkan rasa hormat terhadap peran atau otoritas seseorang, terutama dalam lingkungan kerja. Janet Holmes (2013) menyatakan bahwa bawahan sering menggunakan bahasa sopan untuk menegaskan hierarki dan menjaga jarak sosial, mencerminkan perbedaan status. Dalam hubungan baru, kesopanan membantu menciptakan kesan pertama yang baik dan menghindari kesalahpahaman. Richard Watts dalam Politeness (2003) menambahkan bahwa kesopanan membangun kerangka hubungan positif, mengurangi potensi ketidaknyamanan, dan memperjelas batas interaksi.
Analisis Kasus dalam Konteks Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia memiliki cara unik untuk mencerminkan keakraban dan kesopanan melalui pilihan kata, sapaan, dan cara berbicara. Dari perspektif sosiolinguistik, bahasa berfungsi untuk mengatur jarak sosial serta menambah atau mengurangi formalitas dalam interaksi antarindividu. Hal ini membantu individu menunjukkan hubungan yang lebih akrab atau tetap menjaga jarak yang sopan sesuai konteks sosial.
Penggunaan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menunjukkan tingkat keakraban atau perbedaan status antara pembicara dan pendengar. Sapaan seperti "Bapak," "Ibu," atau "Saudara" menandakan formalitas dan jarak sosial, sementara sapaan seperti "kamu" atau "lu" digunakan di kalangan teman atau keluarga dekat. Pilihan kata yang lebih sopan seperti "saya" dan "Anda" biasanya digunakan dalam situasi formal atau dengan orang yang tidak akrab untuk menunjukkan rasa hormat.
Bahasa Indonesia juga memungkinkan seseorang memilih antara kata sapaan formal dan informal sesuai kebutuhan. Jakob Sumardjo dalam Komunikasi Antarbudaya di Indonesia (2018) mencatat bahwa dalam situasi yang menuntut formalitas, seseorang cenderung menggunakan bahasa yang menunjukkan kehormatan dan kesopanan. Namun, dalam konteks santai, bahasa yang lebih informal atau bahkan "tidak sopan" secara konvensional justru menunjukkan kedekatan dan solidaritas.
Contoh penggunaan ini tampak dalam dua konteks percakapan yang berbeda. Dalam konteks formal, seorang karyawan baru memanggil atasannya dengan sapaan "Pak" untuk menunjukkan rasa hormat. Sebaliknya, dalam konteks informal antara dua teman, penggunaan sapaan "lu" dan "gue" menandakan kedekatan. Sapaan informal ini menegaskan keakraban, sebagaimana dijelaskan oleh Soetomo dalam Bahasa dan Identitas Sosial di Indonesia (2020), bahwa bahasa yang lebih akrab dan santai menghilangkan batasan formalitas dalam interaksi antar teman.
Implikasinya dalam Kehidupan Sosial
Fenomena "semakin akrab, semakin tidak sopan" memiliki implikasi luas dalam kehidupan sosial, terutama dalam hubungan antarbudaya, sosial, dan profesional. Memahami bagaimana kesopanan dan keakraban diekspresikan di berbagai budaya sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan membangun hubungan yang sehat.
Perbedaan persepsi kesopanan antarbudaya bisa memicu konflik. Goffman (1967) menunjukkan bahwa konsep "muka" berbeda-beda di setiap budaya, yang memengaruhi tingkat kesopanan. Di budaya seperti Jepang atau Korea, formalitas tetap penting meskipun hubungan sudah akrab, sementara di budaya lain, seperti Amerika Serikat, gaya komunikasi lebih langsung dan cenderung informal dalam situasi akrab. Ketidaksesuaian ini dapat menciptakan ketegangan, terutama dalam lingkungan kerja internasional atau multikultural.
Tingkat keakraban memengaruhi gaya komunikasi dalam hubungan sosial. Dalam hubungan pribadi yang akrab, orang merasa lebih nyaman menunjukkan keaslian mereka melalui komunikasi santai. Holmes dalam Women, Men, and Politeness (1995) menyatakan bahwa hubungan akrab memungkinkan penggunaan bahasa lebih fleksibel karena pemahaman bahwa bahasa langsung mencerminkan keintiman, bukan ketidakhormatan. Sebaliknya, dalam hubungan yang kurang akrab, struktur bahasa formal lebih sering digunakan untuk menunjukkan rasa hormat.
Dalam konteks profesional, kesopanan dalam komunikasi bisnis sangat penting untuk menjaga hubungan baik dan mencegah kesalahpahaman yang dapat memengaruhi produktivitas. Brown & Levinson (1987) menguraikan bahwa kesopanan dalam lingkungan profesional membantu menjaga hierarki dan relasi kekuasaan, sehingga tercipta suasana yang saling menghormati.
Pemahaman yang baik tentang fenomena ini juga dapat membangun budaya kerja yang lebih terbuka. Dell Hymes dalam Foundations in Sociolinguistics (1974) menyatakan bahwa adaptasi gaya komunikasi, termasuk kapan harus bersikap santai atau formal, dapat meningkatkan efektivitas dan kenyamanan interaksi profesional, mendukung kolaborasi dan keterbukaan dalam tim kerja.
Uraian di atas menunjukkan, keakraban dan kesopanan dalam komunikasi dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya. Kesopanan bukan sekadar aturan formal; itu menjaga hubungan sosial. Hubungan akrab memungkinkan komunikasi lebih langsung, sementara hubungan kurang akrab cenderung menjaga jarak untuk menghormati. Menurut teori "muka" Brown & Levinson, "muka" positif mendominasi dalam hubungan akrab untuk menciptakan penerimaan, sedangkan "muka" negatif mendominasi dalam hubungan formal untuk menjaga batasan. Memahami konteks ini mencegah kesalahpahaman, terutama dalam lingkungan multikultural, sehingga memungkinkan komunikasi efektif dan hubungan saling menghormati.
Merauke, 16 November 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H