Perdebatan Pertama
Perdebatan antara Josefa dan orang tuanya mencapai puncaknya di ruang keluarga mereka di Kampung Tabonji. Udara malam yang lembab memasuki rumah kayu mereka, sementara sinar bulan remang-remang menerangi keheningan di dalam ruangan. Josefa duduk di antara kedua orang tuanya, wajahnya serius menghadapi momen penting ini.
"Ayah, Ibu, saya sudah memutuskan untuk kuliah di IPB," ucap Josefa dengan suara yang mantap.
Ayahnya mengangguk, ekspresi wajahnya mencerminkan pertimbangan yang dalam. "Kamu tahu kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak. Musamus lebih dekat, lebih aman."
Ibunya menggenggam tangan Josefa dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan yang mulai terasa di udara. "Kamu harus memikirkan semua hal, Nak. IPB jauh, biaya hidup lebih tinggi."
Josefa menelan ludah, dia sudah menyiapkan jawaban untuk setiap kekhawatiran mereka. "Ayah, Ibu, saya tahu. Tapi IPB memiliki sumber daya dan pengalaman lebih untuk mendukung mimpi saya dalam bidang pertanian. Saya ingin mendalami ilmu pertanian secara menyeluruh."
Ayahnya memandang Josefa dengan tajam, namun ada kelembutan di matanya. "Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini, Josefa? Jauh dari rumah, menghadapi semua kesulitan sendirian?"
Josefa mengangguk dengan tegas. "Ya, Ayah. Saya ingin kembali ke kampung halaman setelah lulus dan menerapkan pengetahuan yang didapat untuk meningkatkan hasil pertanian lokal. Ini bukan hanya tentang saya, tapi juga tentang kita semua di Kampung Tabonji."
Ibunya menatap suaminya, kemudian kembali ke Josefa. "Nak, bagaimana dengan biaya hidup di sana? Kita tidak punya banyak uang."
Josefa tersenyum, mencoba memberikan keyakinan kepada kedua orang tuanya. "Saya sudah mencari informasi tentang beasiswa dan pekerjaan paruh waktu di Bogor. Saya bisa membantu meringankan beban biaya."
Diskusi berlanjut panjang. Argumen dari kedua belah pihak dipertukarkan dengan penuh emosi. Josefa merasa teguh pada pendiriannya meskipun hatinya terasa berat melihat kekhawatiran yang dirasakan oleh orang tuanya. Dia mencoba meyakinkan mereka bahwa perubahan ini adalah langkah maju yang diperlukan, meskipun penuh tantangan.
"Josefa, kamu tahu kami sangat mencintaimu dan hanya ingin yang terbaik," kata ayahnya, suaranya mulai melembut. "Tapi jika ini benar-benar yang kamu inginkan dan kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang, kami akan mendukungmu."
"Betul, Nak," tambah ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Kami akan selalu mendoakanmu. Berjanjilah untuk menjaga diri baik-baik di sana."
Josefa merasa lega dan terharu. "Terima kasih, Ayah, Ibu. Saya berjanji akan menjaga diri dan membuat kalian bangga."
"Josefa, kami bangga dengan keberanianmu," kata ayahnya akhirnya, suaranya penuh dengan rasa haru dan dukungan. "Kamu memang anak yang luar biasa."
Ibu Josefa mengangguk setuju, bibirnya menggumam doa-doa bagi keselamatan putrinya di masa depan yang baru.
Malam itu, Josefa tidur dengan pikiran yang penuh haru. Meskipun keputusannya untuk melawan harapan orang tuanya tidak mudah, dia merasa lega telah mengungkapkan tekadnya dengan jelas. Langkah pertama menuju impian dan perubahan telah diambilnya, dan meskipun masih banyak rintangan yang akan dihadapinya, dia siap menghadapinya dengan penuh semangat dan tekad yang bulat.
Perdebatan Kedua
Perdebatan antara Josefa dan orang tuanya tentang pilihan kuliahnya di IPB berlanjut dalam suasana tegang di ruang keluarga mereka. Malam itu, angin sepoi-sepoi dari pantai mengiringi percakapan yang penuh emosi di antara mereka. Josefa duduk di hadapan ayah dan ibunya, raut wajahnya mencerminkan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
"Ayah, Ibu, saya sudah berpikir panjang tentang ini. Saya ingin melanjutkan kuliah di IPB," ucap Josefa dengan suara yang tegas.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam, mencoba mencerna keputusan putrinya. "Josefa, kamu tahu ini bukan keputusan yang mudah untuk kami terima. Musamus adalah pilihan yang lebih aman dan dekat dengan kami."
Ibunya mengangguk setuju, matanya menatap Josefa dengan campuran kekhawatiran dan harapan. "Kamu harus mempertimbangkan semua aspeknya, Nak. IPB jauh dari sini, biaya hidup tinggi, kamu akan sendirian di sana."
Josefa menjelaskan lagi alasan-alasannya dengan penuh keyakinan. Dia bercerita tentang impian dan tujuannya untuk mempelajari pertanian secara mendalam di IPB, tempat yang menurutnya memiliki sumber daya dan pengalaman yang tidak dapat dia temukan di Musamus. Dia berbicara tentang keinginannya untuk membawa kembali pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh untuk memajukan pertanian di kampung halamannya.
Ayahnya mengangguk mengerti, namun dia masih merasa cemas akan keputusan yang diambil Josefa. "Kamu tahu, Nak, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami khawatir kamu tidak akan kuat di sana."
Josefa mendengarkan dengan hati-hati, menghargai kekhawatiran orang tuanya meskipun dia tetap pada pendiriannya. Diskusi berlanjut panjang, masing-masing pihak saling menyampaikan pikiran dan perasaannya dengan jujur.
Pada akhirnya, Ibunya menepuk lembut tangan Josefa dengan senyum yang penuh harapan. "Josefa, kamu selalu menjadi anak yang gigih dan berani. Kami akan mendukungmu."
Ayahnya mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Josefa dengan erat. "Kami bangga padamu, Nak. Ini adalah pilihanmu, dan kami akan mendukungmu sepenuhnya."
Josefa merasa lega dan bersyukur. Meskipun perdebatan kali ini tidak mudah, dia merasa didukung oleh cinta dan dukungan keluarganya. Malam itu, ketika Josefa menutup mata di tempat tidurnya, dia merasa yakin bahwa keputusannya untuk kuliah di IPB adalah langkah yang tepat dan dia siap menghadapi semua tantangan yang ada di depannya dengan semangat yang tidak pernah padam.
(Bersambung)
Merauke, 30 Oktober 2024
Agustinus Gereda