Ibunya mengangguk setuju, matanya menatap Josefa dengan campuran kekhawatiran dan harapan. "Kamu harus mempertimbangkan semua aspeknya, Nak. IPB jauh dari sini, biaya hidup tinggi, kamu akan sendirian di sana."
Josefa menjelaskan lagi alasan-alasannya dengan penuh keyakinan. Dia bercerita tentang impian dan tujuannya untuk mempelajari pertanian secara mendalam di IPB, tempat yang menurutnya memiliki sumber daya dan pengalaman yang tidak dapat dia temukan di Musamus. Dia berbicara tentang keinginannya untuk membawa kembali pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh untuk memajukan pertanian di kampung halamannya.
Ayahnya mengangguk mengerti, namun dia masih merasa cemas akan keputusan yang diambil Josefa. "Kamu tahu, Nak, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami khawatir kamu tidak akan kuat di sana."
Josefa mendengarkan dengan hati-hati, menghargai kekhawatiran orang tuanya meskipun dia tetap pada pendiriannya. Diskusi berlanjut panjang, masing-masing pihak saling menyampaikan pikiran dan perasaannya dengan jujur.
Pada akhirnya, Ibunya menepuk lembut tangan Josefa dengan senyum yang penuh harapan. "Josefa, kamu selalu menjadi anak yang gigih dan berani. Kami akan mendukungmu."
Ayahnya mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Josefa dengan erat. "Kami bangga padamu, Nak. Ini adalah pilihanmu, dan kami akan mendukungmu sepenuhnya."
Josefa merasa lega dan bersyukur. Meskipun perdebatan kali ini tidak mudah, dia merasa didukung oleh cinta dan dukungan keluarganya. Malam itu, ketika Josefa menutup mata di tempat tidurnya, dia merasa yakin bahwa keputusannya untuk kuliah di IPB adalah langkah yang tepat dan dia siap menghadapi semua tantangan yang ada di depannya dengan semangat yang tidak pernah padam.
(Bersambung)
Merauke, 30 Oktober 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H