Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Menapak Jejak di Kimaam, Episode 37-38

27 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 27 Oktober 2024   06:33 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Josefa duduk sendirian di teras rumah kayu mereka di Kampung Tabonji, senja mulai meredup di ufuk barat. Angin lembut dari pantai membawa kelembutan seiring dengan suara gemerisik daun-daun kelapa di sekitar mereka. Di tangannya, Josefa memegang sepucuk surat penerimaan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang baru saja dia terima. Hatinya berdebar-debar campur aduk antara gembira dan cemas akan masa depan yang menantinya.

Saat itu, ibunya, Mama Maria, keluar dari rumah dan melihat putrinya yang sedang merenung. "Josefa, ada apa? Kenapa kamu tampak begitu serius?" tanyanya dengan lembut.

Josefa tersenyum tipis sambil menyerahkan surat penerimaan itu kepada ibunya. "Ini, Mama. Aku diterima di IPB."

Mama Maria membuka surat itu dan membaca dengan seksama. "Ini kabar baik, Josefa! Tapi kenapa kamu kelihatan cemas?"

"Ini memang kabar baik, Ma," jawab Josefa. "Tapi aku juga merasa berat harus meninggalkan kampung ini. Aku takut mengecewakan Mama dan Papa."

Mama Maria duduk di sebelah Josefa dan merangkulnya. "Josefa, Mama dan Papa selalu mendukung apa yang terbaik untukmu. Kalau ini impianmu, kami akan selalu ada di belakangmu."

Sejak kecil, Josefa selalu merasa terhubung dengan tanah dan alam di Pulau Kimaam. Dia tumbuh di tengah tradisi Marind Anim yang kaya akan pengetahuan lokal tentang pertanian dan kehidupan bermasyarakat. Namun, melalui Pesta Adat Dambu dan keajaiban tanaman Dambu yang tumbuh subur, Josefa merasa ada lebih banyak hal yang harus dipelajari. Dia ingin memahami bagaimana teknik-tradisional masyarakatnya mampu menghasilkan hasil pertanian yang menagumkan tanpa bergantung pada teknologi modern.

"Ma, waktu Pesta Adat Dambu, aku selalu terpesona dengan tanaman Dambu itu. Bagaimana mungkin mereka bisa tumbuh begitu subur tanpa teknologi modern?" tanya Josefa sambil mengingat masa kecilnya.

Mama Maria tersenyum, mengingat masa itu juga. "Itulah kearifan lokal kita, Nak. Nenek moyang kita punya pengetahuan yang mendalam tentang alam ini."

Keingintahuannya semakin terpicu ketika Josefa bersekolah di Merauke dan bertemu dengan Didimus, teman sekelas yang peduli dengan lingkungan. Diskusi mereka tentang pentingnya melestarikan alam dan keanekaragaman hayati semakin menguatkan tekad Josefa untuk mendalami ilmu pertanian, khususnya yang berkaitan dengan tanaman Dambu.

"Didimus selalu bilang bahwa kita harus menjaga keanekaragaman hayati kita," kata Josefa. "Itu juga yang membuatku semakin ingin belajar lebih banyak lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun