Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Membaca dan menulis, kesukaanku. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Janji Gratis yang Berbayar: Mengkritisi Realitas di Balik Program Ekonomi Eksklusif

22 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 22 Oktober 2024   06:05 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program makan siang gratis untuk siswa sekolah dapat membantu mengatasi masalah gizi dan meningkatkan konsentrasi belajar, namun tantangan besar terletak pada distribusi yang merata di seluruh Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), bahwa ketidakmerataan akses dapat mengurangi efektivitas program, terutama bagi anak-anak di daerah terpencil. Infrastruktur logistik yang lemah juga menghambat distribusi yang adil, sehingga memperdalam ketimpangan sosial.

Dari Mana Dana Akan Datang?

Membiayai program "gratis" seperti kesehatan, pendidikan, dan subsidi energi membutuhkan komitmen anggaran yang besar dari negara. Dengan penerimaan negara yang terbatas, APBN Indonesia sudah menghadapi tantangan peningkatan belanja sosial. John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest, and Money (1963) mengingatkan bahwa peran pemerintah dalam pengeluaran ekonomi penting, tetapi defisit anggaran yang tinggi bisa membebani ekonomi dalam jangka panjang.

Defisit anggaran menjadi tantangan besar dalam kebijakan fiskal, terutama jika pengeluaran untuk program gratis melebihi penerimaan. Pada 2022, defisit APBN mencapai 2,84% dari PDB, menurut laporan Kementerian Keuangan. Jika program gratis dibiayai tanpa peningkatan signifikan dalam pendapatan negara, defisit bisa meningkat dan memengaruhi stabilitas ekonomi.

Paul Samuelson dalam Economis (1980), memperingatkan bahwa jika anggaran terlalu fokus pada subsidi dan layanan gratis, negara bisa mengorbankan investasi dalam infrastruktur, inovasi teknologi, dan pembangunan sumber daya manusia, yang memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Salah satu solusi untuk membiayai program gratis adalah peningkatan pajak, terutama pajak penghasilan atau konsumsi. Namun, Joseph Stiglitz (2012) menekankan bahwa pajak yang terlalu tinggi bisa mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi kelas menengah dan rendah, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan perpajakan harus hati-hati.

Selain pajak, utang luar negeri atau domestik sering digunakan untuk menutupi kekurangan anggaran. Namun, Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff, dalam This Time is Different: Eight Centuries of Financial Folly (2009), memperingatkan bahwa utang yang terlalu tinggi dapat menjerumuskan negara ke dalam krisis fiskal, sehingga Indonesia harus waspada dalam mengambil utang agar tidak membebani generasi mendatang.

Penjualan aset negara, seperti perusahaan milik negara atau tanah, juga dapat menjadi sumber pendanaan. Namun, Anthony Giddens dalam The Third Way (1998) menegaskan bahwa meski penjualan aset menghasilkan pendapatan jangka pendek, hal ini mengurangi kepemilikan negara atas sumber daya strategis yang penting bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Apakah Janji Ini Realistis atau Sekadar Retorika?

Merealisasikan janji pendidikan dan kesehatan gratis serta subsidi besar membutuhkan pemahaman mendalam tentang kapasitas ekonomi Indonesia. Menurut Laporan Bank Dunia 2023, ekonomi Indonesia berkembang pesat, dengan pertumbuhan PDB rata-rata 5% per tahun. Namun, tantangan seperti defisit anggaran, peningkatan utang, dan tekanan pada sektor infrastruktur dan kesehatan tetap menghambat kemampuan fiskal Indonesia.

Joseph Stiglitz (2012) menyatakan bahwa pengeluaran sosial yang tidak seimbang dengan pendapatan negara akan memperburuk kondisi fiskal. Janji-janji yang memerlukan anggaran besar bisa sulit direalisasikan tanpa membebani keuangan negara, terutama dalam konteks Indonesia yang saat ini menghadapi tekanan fiskal tinggi dari berbagai sektor, termasuk infrastruktur dan penanganan pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun