Pikiran bawah sadar adalah fondasi yang membentuk hidup kita; ia bekerja seperti akar yang tak terlihat namun menentukan bagaimana pohon kehidupan kita tumbuh. Apa yang kita tanamkan dalam pikiran bawah sadar, terutama melalui kata-kata dan keyakinan, akan memengaruhi setiap aspek kehidupan---baik keberhasilan dalam karier, pendidikan, maupun hubungan pribadi dan rohani. Itulah mengapa penting untuk menyadari bahwa kekuatan pikiran bawah sadar memiliki kemampuan luar biasa untuk mendorong atau menghambat potensi kita. Kata-kata yang kita ucapkan, baik secara sadar maupun tidak, memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan pribadi. Ucapan kita tidak hanya mengungkapkan pola pikir kita, tetapi juga menjadi perintah yang ditanamkan ke dalam pikiran bawah sadar. Ketika kita mengatakan sesuatu dengan keyakinan, pikiran bawah sadar mematuhi dan menciptakan kenyataan yang sesuai. Karena itu, mengelola kata-kata kita adalah kunci untuk membentuk pola pikir yang memberdayakan, yang akan membuka jalan menuju kesuksesan. Ada tiga ucapan yang sering menjadi penghalang utama dalam mencapai kesuksesan: "Tidak bisa," "Tidak mungkin," dan "Saya sudah tahu." Ketiganya dapat menghambat kita untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Artikel ini berusaha membahas bagaimana kata-kata tersebut menghalangi kemajuan kita, dan bagaimana kita dapat mengubah pola pikir negatif ini menjadi pola pikir positif yang lebih konstruktif, sehingga membuka jalan bagi pertumbuhan dan keberhasilan dalam segala aspek kehidupan.
Mengapa Kata Ini Menghambat
Ucapan "tidak bisa" membatasi diri dan menghentikan seseorang dari mencoba atau mencari solusi. Menurut Carol S. Dweck dalam Mindset: The New Psychology of Success (2006), orang dengan fixed mindset percaya bahwa kemampuan tidak dapat dikembangkan, sehingga ucapan "tidak bisa" menjadi alasan untuk berhenti. Sebaliknya, orang dengan growth mindset yakin kemampuan dapat tumbuh melalui usaha dan pembelajaran.
Ajaran Gereja Katolik mendorong umat untuk mengembangkan talenta yang diberikan Tuhan (Mat 25:14-30). Ketika mengatakan "tidak bisa," seseorang menolak peluang untuk bertumbuh dan mempersembahkan kembali talenta yang telah diberikan.
Ucapan "tidak bisa" yang sering diulang dapat melemahkan kepercayaan diri, menyebabkan orang berhenti mencoba, baik di sekolah maupun di dunia kerja, dan merusak peluang belajar atau karier. Untuk mengatasi hal ini, ucapan "tidak bisa" dapat diganti dengan pertanyaan "bagaimana saya bisa?" yang membuka jalan bagi solusi. Napoleon Hill dalam Think and Grow Rich (1937) mengatakan, "Apa pun yang dapat dipahami dan diyakini oleh pikiran manusia, dapat dicapai." Gereja juga mengajarkan keyakinan kuat dalam menghadapi tantangan (Flp 4:13), dengan menyadari bahwa tidak ada yang mustahil bersama Tuhan. Memilih untuk mencari cara daripada menyerah adalah wujud kepercayaan dan tanggung jawab terhadap talenta yang telah diberikan.
Menutup Peluang Sebelum Mencoba
Pernyataan "tidak mungkin" berdampak besar pada cara seseorang melihat situasi dan peluang, mengunci potensi yang masih bisa dijelajahi. Henry Ford berkata, "Apakah Anda berpikir Anda bisa, atau tidak bisa---Anda benar." Pikiran negatif seperti ini cenderung menjadi ramalan yang terpenuhi sendiri, sehingga orang tidak berusaha mengubah keadaan.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa dengan iman, tantangan bisa diatasi, karena "bagi Allah tidak ada yang mustahil" (Luk 1:37). Mengatakan "tidak mungkin" membatasi diri sekaligus mengabaikan kekuatan Allah.
Kepercayaan pada kemungkinan membuka jalan bagi solusi kreatif. Menurut Martin Seligman dalam Learned Optimism (1990), pola pikir optimis membantu seseorang lebih tahan banting dan kreatif dalam menghadapi masalah. Gereja juga mengajarkan untuk hidup dalam pengharapan dan terbuka pada rencana Tuhan (Rom 12:12).
Mengganti "tidak mungkin" dengan "saya akan mencari cara" adalah langkah penting dalam berpikir positif. Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People (1989) menyatakan bahwa bersikap proaktif membuat seseorang memegang kendali dan bertanggung jawab mencari solusi.
Menghentikan Proses Belajar
Pernyataan "saya sudah tahu" dapat menjadi penghambat besar dalam belajar dan perkembangan diri. Ketika seseorang merasa sudah mengetahui segalanya, ia menutup diri dari pengetahuan baru, menyebabkan stagnasi. Dalam The Art of Learning (2007), Joshua Waitzkin menekankan pentingnya memiliki "pikiran pemula"---sikap terbuka untuk terus belajar.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa manusia tidak akan pernah mencapai pengetahuan penuh. Santo Thomas Aquinas mengatakan, "Semakin banyak kita tahu, semakin kita menyadari betapa sedikit yang kita ketahui," yang menunjukkan pentingnya kerendahan hati dalam belajar.
Dale Carnegie dalam How to Win Friends and Influence People (1936) juga menyatakan bahwa kesuksesan berasal dari kerendahan hati dan kemauan belajar dari siapa saja dan dari pengalaman. Ajaran Gereja Katolik mendorong sikap rendah hati seperti anak kecil (Mat 18:4) agar kita terus tumbuh dalam kebijaksanaan dan spiritualitas.
Mengubah "saya sudah tahu" menjadi "apa lagi yang bisa saya pelajari?" membuka peluang untuk berkembang. Carol S. Dweck (2006) menyebut ini sebagai bagian dari growth mindset. Gereja Katolik juga mengajarkan pentingnya terus belajar untuk mengembangkan talenta (Ams 1:5) dan memperbaiki diri dalam iman dan pengetahuan.
Mengubah Pola Pikir Negatif Menjadi Positif
Pikiran negatif dapat sangat memengaruhi emosi, perilaku, dan hasil seseorang. Menurut psikolog Martin Seligman (1990), pola pikir negatif meningkatkan risiko depresi, sedangkan afirmasi positif dapat meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan. Mengganti pikiran negatif dengan afirmasi positif membantu mengubah persepsi dan lebih proaktif menghadapi tantangan.
Langkah pertama dalam mengubah pola pikir negatif adalah mengenali pikiran tersebut. David D. Burns dalam Feeling Good (1980) menyarankan mencatat pikiran negatif dan menggantinya dengan afirmasi yang lebih positif, seperti mengganti "Saya tidak mampu" menjadi "Saya bisa belajar." Langkah berikutnya adalah berlatih menggunakan kata-kata positif setiap hari dan menciptakan lingkungan yang mendukung.
Pola pikir positif berdampak signifikan pada studi, karier, dan hidup rohani. Carol S. Dweck (2006) menyatakan bahwa growth mindset membuat siswa lebih percaya diri dan terbuka terhadap tantangan. Dalam karier, pola pikir positif membantu melihat hambatan sebagai peluang, sementara dalam hidup rohani, pola pikir positif membawa seseorang lebih dekat dengan Tuhan, menjalani hidup dengan pengharapan, dan mencari kehendak-Nya (Yer 29:11).
Berdasarkan pembahasan di atas, menghindari tiga ucapan---"tidak bisa," "tidak mungkin," dan "saya sudah tahu"---adalah langkah penting untuk membuka peluang kesuksesan dalam setiap aspek kehidupan. Ucapan "tidak bisa" membatasi potensi diri kita, "tidak mungkin" menutup peluang bahkan sebelum kita mencobanya, dan "saya sudah tahu" menghentikan proses belajar yang diperlukan untuk berkembang. Mengubah ketiga ucapan tersebut dengan afirmasi positif seperti "bagaimana saya bisa?" atau "apa lagi yang bisa saya pelajari?" mendorong kita membuka diri terhadap kemungkinan, solusi kreatif, dan kesempatan untuk terus tumbuh. Mari kita mulai berfokus pada kata-kata yang memotivasi dan mendorong pertumbuhan. Setiap kali menghadapi tantangan atau ketidakpastian, pilihlah kata-kata yang memberikan keberanian dan harapan. Dengan mengganti pola pikir negatif menjadi positif, kita tidak hanya mengubah pandangan kita tentang diri sendiri, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih cerah dan penuh keberhasilan dalam studi, karier, dan hidup rohani. (*)
Merauke, 19 Oktober 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H