Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dua Sisi Kehidupan: Menguak Hukum Polaritas sebagai Keseimbangan Alam Semesta

26 September 2024   06:05 Diperbarui: 26 September 2024   06:09 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan adalah perjalanan yang penuh dengan kutub berlawanan---terang dan gelap, suka dan duka, kesuksesan dan kegagalan. Hukum Polaritas mengajarkan bahwa kutub ini tidak hanya bertentangan, tetapi juga saling melengkapi, menciptakan keseimbangan penting bagi harmoni batin dan spiritual.

Prinsip utama Hukum Polaritas adalah dua kutub yang tampak berlawanan sebenarnya saling melengkapi. Terang memberi makna pada gelap, dan sebaliknya. Friedrich Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra (1883), menegaskan bahwa "kekacauan di dalam diri" adalah elemen yang diperlukan untuk menciptakan keindahan.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa penderitaan dan kebahagiaan adalah bagian integral dari hidup manusia. Dalam homili Paskah 2019 Paus Fransiskus menyatakan bahwa kebangkitan Kristus tidak dapat dipisahkan dari salib-Nya, menegaskan pentingnya penderitaan dalam memberi makna pada kebahagiaan.

Kontras antara hal-hal negatif dan positif memperkaya pengalaman hidup manusia. Carl Jung, seorang psikolog terkenal, dalam Psychological Types (1921),   menyatakan bahwa kita tidak dapat memahami terang tanpa terlebih dahulu mengenal kegelapan. Kesulitan membantu kita lebih menghargai kemudahan dan momen-momen kebahagiaan.

Dalam ajaran Katolik, penderitaan dianggap sebagai jalan menuju kesucian. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Salvifici Doloris (1984), menekankan bahwa penderitaan manusia, jika dipersatukan dengan penderitaan Kristus, memiliki kekuatan untuk menebus, memberikan makna pada sukacita setelahnya.

Kutub berlawanan memainkan peran penting dalam menciptakan keseimbangan hidup. Lao Tzu, filsuf Tiongkok kuno, dalam Tao Te Ching (c. 4th Century BCE),  menegaskan bahwa Yin dan Yang saling melengkapi dan menciptakan keseimbangan yang mendukung eksistensi alam semesta, menunjukkan bahwa tidak ada kutub yang lebih penting dari yang lain.

Gereja Katolik juga mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan spiritual. Santo Thomas Aquinas, dalam Summa Theologica (1947) menekankan bahwa kebajikan terletak di antara dua ekstrem, menyoroti pentingnya keseimbangan dalam emosi, tindakan, dan keputusan untuk mencapai kebahagiaan serta kedamaian batin.

Contoh Hukum Polaritas di Alam dan Manusia

Hukum Polaritas adalah prinsip universal yang menjaga keseimbangan di alam dan kehidupan manusia. Kutub-kutub yang berlawanan, seperti siang dan malam atau cinta dan benci, saling melengkapi dan memberikan makna pada eksistensi kita.

Di alam, prinsip ini tampak dalam siklus musim dan pergantian siang serta malam. Musim panas diimbangi musim dingin, sementara siang memberi cahaya untuk bekerja dan malam menyediakan waktu untuk istirahat.

Dalam kehidupan manusia, Hukum Polaritas terlihat dalam emosi seperti cinta dan benci, yang sering saling berhubungan. Cinta yang dikhianati dapat beralih menjadi kebencian, menunjukkan keterkaitan antara perasaan yang tampak bertolak belakang. Sigmund Freud, dalam Beyond the Pleasure Principle (1920), menyatakan bahwa cinta dan benci adalah dua dorongan dasar manusia yang saling memengaruhi. Pergulatan antara keduanya memberi makna pada hubungan dan kehidupan emosional kita. Kebahagiaan dan penderitaan juga merupakan bentuk polaritas emosional. Menurut Carl Jung, dalam Modern Man in Search of a Soul (1933),  penderitaan memberi konteks yang memperkaya pemahaman kita tentang kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun