Tahun 2024 menjadi babak penting bagi masyarakat di Papua Selatan, sebuah wilayah yang tengah menyongsong momentum bersejarah dalam perjalanan politiknya. Untuk pertama kalinya, Provinsi Papua Selatan akan memilih gubernur definitif, sebuah tonggak baru yang menandai kemandirian politik setelah pemekaran dari Papua induk.
Di tanggal 22-23 September 2024, perhatian tertuju pada pengundian nomor urut para calon bupati dan wakil bupati di beberapa kabupaten strategis, termasuk Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel. Pemilihan ini bukan sekadar seremonial, melainkan awal dari fase kampanye yang akan menentukan arah masa depan pemerintahan daerah.
Pemilihan kepala daerah bukan hanya soal perebutan kursi kepemimpinan, melainkan soal siapa yang mampu menegaskan komitmen mereka untuk memimpin dengan hati, bukan dengan ambisi semata.
Kabupaten-kabupaten di Papua Selatan seperti Merauke, yang dikenal sebagai lumbung pangan dan pusat kegiatan ekonomi; Mappi, dengan kekayaan sumber daya alamnya; Asmat, yang memiliki warisan budaya dan seni ukir berkelas dunia; serta Boven Digoel, dengan sejarah perlawanan terhadap penjajahan, memegang peran strategis dalam peta pembangunan Papua Selatan. Karena itu, Pilkada di wilayah-wilayah ini bukan hanya penting bagi masyarakat setempat, tetapi juga memiliki dampak bagi stabilitas dan kesejahteraan di seluruh provinsi.
Dengan berbagai tantangan yang ada, mulai dari ketimpangan pembangunan hingga janji-janji politik yang sering tak sejalan dengan realitas, masyarakat Papua Selatan dihadapkan pada pilihan yang krusial. Pemilihan ini adalah momen untuk menentukan, apakah pemimpin yang terpilih akan melayani kepentingan rakyat atau hanya mengutamakan kekuasaan pribadi.
Janji-janji Kampanye: Antara Harapan dan Realitas
Pemilu adalah momen penting dalam demokrasi di mana rakyat memilih pemimpin yang dianggap mampu mewujudkan kesejahteraan. Namun, sering masyarakat disuguhkan janji kampanye bombastis dari para calon. Di Pilkada Papua Selatan, janji-janji ini telah menjadi bagian dari dinamika politik, meski sering berujung kekecewaan karena tidak terealisasi.
Pasangan calon kerap mengumbar janji muluk selama kampanye untuk menarik simpati pemilih. Janji-janji ini, menurut Syamsuddin Haris, dalam Politik Uang dan Demokrasi di Indonesia (2014), sering hanyalah retorika tanpa perencanaan matang. Kondisi riil anggaran dan sumber daya daerah tidak dipertimbangkan, sehingga janji hanya menjadi alat untuk meraih dukungan.
Masalah utama janji kampanye yang tidak realistis adalah ketidaksesuaian dengan kapasitas anggaran daerah. Kabupaten seperti Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel menghadapi tantangan ekonomi besar. Gereja Katolik, dalam Pontifical Council for Justice and Peace (2004), menekankan bahwa pemimpin tidak boleh memberikan harapan palsu yang bertentangan dengan realitas sumber daya yang tersedia.
Contohnya, janji pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa mempertimbangkan kapasitas fiskal Papua Selatan yang baru berdiri sering tidak dapat direalisasikan. Ini memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan karena adanya kesenjangan antara janji dan kemampuan pemerintah daerah.
Janji kampanye yang tidak realistis dapat berdampak negatif, terutama dalam konteks ekonomi yang terbatas. Menurut Paul Collier, dalam The Political Economy of Development (2010), janji yang melampaui kapasitas fiskal daerah berisiko menimbulkan ketidakstabilan ekonomi, gagal memenuhi ekspektasi, dan memicu defisit anggaran.
Daerah yang masih berkembang, seperti Papua Selatan, sangat rentan terhadap janji yang tidak dapat diwujudkan. Pemborosan sumber daya, peningkatan hutang, dan mangkraknya projek penting bisa terjadi, sehingga penting bagi pemilih untuk lebih cerdas dan kritis terhadap janji-janji politik yang tidak realistis.
Politik Uang: Ancaman bagi Demokrasi
Politik uang merupakan fenomena yang sulit dihindari dalam pemilihan lokal seperti Pilkada. Namun, praktik ini merusak integritas proses pemilihan dan mengancam masa depan demokrasi dengan menciptakan ketergantungan tidak sehat antara pemilih dan kandidat. Alih-alih memilih pemimpin berdasarkan kompetensi, pemilihan menjadi transaksi finansial.
Politik uang terjadi ketika kandidat atau timnya menawarkan uang atau barang untuk memengaruhi pilihan pemilih, terutama di wilayah dengan kondisi ekonomi sulit seperti Papua Selatan. Vedi Hadiz, dalam Reorganising Power in Indonesia (2004), menyatakan bahwa "kemiskinan dan ketergantungan ekonomi menjadi pintu masuk politik uang," mencerminkan ketimpangan sosial yang dimanfaatkan untuk membeli suara.
Dampak politik uang sangat merugikan keadilan demokrasi. Praktik ini merusak prinsip kesetaraan suara, dan mengalihkan pemilu dari seleksi pemimpin berdasarkan visi dan kapabilitas. Daniel Ziblatt, dalam How Democracies Die (2018), menyebut bahwa politik uang "menggerogoti demokrasi dari dalam" dan mengubah pemilu menjadi kompetisi finansial, serta merusak legitimasi pemimpin terpilih.
Selain itu, politik uang mengikis kepercayaan pemilih terhadap sistem demokrasi. Pemilih yang dihargai dengan uang kehilangan keyakinan bahwa pemilu dapat membawa perubahan positif, sehingga partisipasi dalam pemilu menurun dan siklus ketidakpercayaan semakin menguat.
Politik uang juga menciptakan ketergantungan jangka panjang. Pemilih yang menerima uang cenderung merasa berutang budi, berharap imbalan terus-menerus. Gereja Katolik (2004) menegaskan bahwa pemimpin harus bekerja untuk kepentingan umum, bukan pribadi. Korupsi, termasuk politik uang, merusak kesejahteraan umum dan martabat manusia.
Di wilayah yang rentan seperti Papua Selatan, praktik ini merusak kepercayaan publik terhadap pemilu, menciptakan iklim politik korup. Pemimpin terpilih melalui transaksi finansial merasa tak perlu bertanggung jawab, karena dukungan diperoleh bukan dari kepercayaan rakyat, melainkan dari uang.
Kepemimpinan Melayani vs. Kepemimpinan Menguasai
Kepemimpinan memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Tipe kepemimpinan menentukan apakah seorang pemimpin akan membawa perubahan positif atau justru merusak sistem.
Terdapat perbedaan mendasar antara kepemimpinan yang melayani rakyat dan kepemimpinan yang berambisi menguasai. Pemimpin yang melayani berfokus pada kesejahteraan rakyat, sementara pemimpin yang menguasai hanya mengejar kekuasaan pribadi.
Pemimpin yang melayani melihat kepemimpinan sebagai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, bukan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan pribadi. Robert K. Greenleaf, dalam Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness (1977), menegaskan bahwa "pemimpin sejati adalah seseorang yang pertama-tama melayani, baru kemudian memimpin," dengan prioritas kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, pemimpin yang hanya ingin berkuasa sering mengorbankan rakyat demi kepentingan pribadi.
Gereja Katolik juga mengajarkan bahwa kekuasaan sejati adalah pelayanan. Paus Fransiskus, dalam ensiklik Evangelii Gaudium (2013), menekankan bahwa pemimpin harus menjadi "pelayan rakyat, bukan penguasa yang menjauh dari kebutuhan masyarakat." Hal ini menuntut kerendahan hati dan komitmen untuk mengutamakan kepentingan publik.
Kepemimpinan yang melayani merupakan dasar bagi masyarakat yang adil dan harmonis. Pemimpin yang melayani memprioritaskan kebutuhan rakyat dan merancang kebijakan yang inklusif. John C. Maxwell, dalam The 21 Irrefutable Laws of Leadership (1999) menyatakan "Pemimpin besar adalah mereka yang melayani, bukan sekadar mengejar status."
Gereja Katolik melalui Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2004) menegaskan bahwa pemimpin baik berkomitmen pada kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Dengan kepemimpinan yang melayani, masyarakat akan menjadi lebih adil dan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
Penutup
Pilkada 2024 di Papua Selatan bukan hanya sekadar kontestasi politik, melainkan momen penting dalam sejarah pembangunan daerah ini. Pemilihan pemimpin yang memiliki visi jelas, integritas, dan komitmen untuk melayani rakyat harus menjadi prioritas utama masyarakat.
Pemimpin yang sejati bukanlah yang hanya pandai berjanji atau menjanjikan hal-hal yang tidak realistis, melainkan mereka yang dengan tulus bekerja untuk kesejahteraan rakyat, mendengarkan kebutuhan masyarakat, dan membawa perubahan positif yang berkelanjutan.
Dalam menghadapi dinamika politik yang sering diwarnai oleh janji-janji kampanye dan praktik politik uang, masyarakat perlu semakin kritis dan cerdas untuk menentukan pilihan. Tidak terjebak dalam janji kosong dan godaan uang, tetapi dengan hati dan pikiran terbuka memilih pemimpin yang benar-benar mampu memajukan Papua Selatan.
Inilah saatnya masyarakat berdiri teguh pada nilai-nilai demokrasi yang sehat, memilih pemimpin yang melayani, bukan pemimpin yang hanya ingin menguasai. Masa depan Papua Selatan ada di tangan rakyat, dan keputusan yang tepat akan membawa kemajuan yang nyata bagi generasi yang akan datang. (*)
Merauke, 23 September 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H