Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Bangkit dari Keterpurukan

1 September 2024   06:10 Diperbarui: 8 September 2024   10:12 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah kota kecil di Papua, yang tersembunyi di balik lekukan-lekukan bukit hijau yang permai, Robertus memandang langit yang senja, berwarna merah lembayung seperti luka yang belum sembuh. Matahari tenggelam perlahan, meninggalkan jejak-jejak keemasan di langit yang semakin gelap, seolah-olah menggambarkan kehidupan Robertus yang kian meredup. Di usia 27 tahun, dia telah merasakan pahitnya kehilangan pekerjaan, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi padanya.

Kota kecil ini, yang dahulu penuh dengan harapan dan keceriaan, kini sepi dan murung. Krisis ekonomi telah menghantam dengan kekuatan yang tak terduga, memaksa banyak perusahaan tutup, dan meninggalkan ratusan orang, termasuk Robertus, tanpa pekerjaan. Di tengah kesunyian sore itu, Robertus berdiri di depan rumah kayunya yang sederhana, meresapi kesunyian yang terasa lebih dalam dari biasanya.

Rumahnya, yang dikelilingi oleh pepohonan rindang dan tanaman bunga liar yang bermekaran, seolah-olah menjadi satu-satunya tempat ia bisa menemukan ketenangan. Namun, hari itu, ketenangan pun terasa tak cukup untuk meredakan kegundahannya. Dengan langkah berat, ia memasuki rumah, meninggalkan senja di luar, namun membawa kesuraman itu ke dalam hatinya.

Ibu Robertus, seorang wanita yang bijak dengan rambut yang telah memutih oleh waktu, menatap anaknya dengan tatapan yang sarat dengan kasih sayang dan keprihatinan. Ia tahu betul bahwa hati Robertus sedang dilanda badai. Namun, ia percaya bahwa badai ini akan berlalu, seperti halnya badai-badai sebelumnya yang pernah menghantam kehidupan mereka.

"Robertus, ingatlah nasihat Ibu," kata sang ibu dengan lembut, suaranya bagai alunan lagu yang menenangkan jiwa. "Jangan pernah menyerah. Optimisme adalah kunci untuk keluar dari kegelapan."

Robertus hanya mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. Kata-kata ibunya selalu menjadi cahaya dalam gelap, tetapi kali ini, kegelapan terasa terlalu pekat untuk diterangi. Dengan penuh kekhawatiran, ia menghabiskan malam itu dalam diam, merenungkan masa depan yang tampak suram.

Hari-hari berlalu, namun kesulitan yang Robertus hadapi semakin membesar, seperti ombak yang terus menghantam karang tanpa henti. Tabungannya yang sedikit demi sedikit habis membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan. Setiap kali ia mencoba mencari pekerjaan baru, pintu-pintu tertutup di hadapannya, meninggalkan jejak kehampaan di hatinya.

Namun, di tengah kegelapan itu, ada satu cahaya kecil yang terus menyala, meski redup---Mardini, sahabat karib Robertus. Mardini adalah seorang wanita yang penuh semangat dan ceria, selalu mampu melihat sisi terang dari setiap masalah. Meski ia juga mengalami kesulitan akibat krisis, semangatnya tetap berkobar, dan ia tidak pernah membiarkan Robertus terbenam dalam keputusasaan.

"Robertus, kau punya bakat," kata Mardini suatu sore ketika mereka duduk di tepi sungai yang mengalir tenang di pinggir kota. "Kau punya kemampuan menulis yang hebat. Mengapa tidak mencoba menulis untuk media? Siapa tahu, ini bisa menjadi jalan keluarmu dari kesulitan ini."

Robertus menatap sahabatnya dengan ragu. Menulis? Ia memang selalu menikmati menulis, tetapi ia tidak pernah membayangkan bisa mencari nafkah dari itu. Namun, melihat semangat di mata Mardini, ia merasa ada secercah harapan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.

"Bagaimana jika aku gagal?" tanya Robertus, suaranya nyaris tenggelam dalam suara gemericik air sungai.

"Kegagalan itu biasa, Robertus. Yang penting adalah kau tidak berhenti mencoba. Setiap kali jatuh, bangkit lagi. Kau tak pernah tahu, mungkin ini adalah panggilan hidupmu," jawab Mardini dengan senyum yang menghangatkan hati.

Malam itu, Robertus duduk di depan meja kayu tuanya, dengan lampu minyak yang menerangi selembar kertas kosong di depannya. Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis, menuangkan perasaannya, pengalamannya, dan harapannya ke dalam kata-kata. Menulis menjadi pelarian dari realitas yang menyakitkan, dan semakin ia menulis, semakin ia merasa bahwa beban di pundaknya mulai berkurang.

Namun, jalan ini tidaklah mudah. Robertus mengirimkan tulisannya ke berbagai media, namun semuanya ditolak. Setiap kali menerima surat penolakan, ia merasa dunianya runtuh sedikit demi sedikit. Rasa putus asa kembali menyelimutinya, dan ia hampir memutuskan untuk menyerah.

Pada saat terburuknya, ketika Robertus merasa seluruh dunia telah meninggalkannya, Mardini datang dengan kabar baik yang tak terduga. "Robertus, aku punya kenalan di sebuah media kecil di kota. Mereka sedang mencari penulis lepas. Cobalah kirimkan tulisanmu ke sana. Ini mungkin kesempatanmu."

Meski hatinya masih dipenuhi keraguan, Robertus mencoba lagi. Kali ini, ia menulis dengan seluruh hati dan jiwanya, seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya. Tulisan itu bukan hanya tentang krisis yang melanda kota kecil mereka, tetapi juga tentang harapan, tentang keyakinan bahwa meskipun dunia tampak gelap, selalu ada cahaya di ujung terowongan.

Beberapa minggu kemudian, ketika Robertus hampir melupakan tulisan itu, sebuah surat tiba di rumahnya. Dengan jantung berdebar, ia membuka amplop itu dan membaca isinya. Tulisan itu diterima. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Robertus merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa, seolah-olah beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang.

"Saya sangat terkesan dengan tulisan Anda," tulis editor media itu dalam suratnya. "Ada kejujuran dan kedalaman dalam kata-kata Anda yang jarang saya temukan. Kami ingin Anda menulis lebih banyak untuk kami."

Air mata mengalir di pipi Robertus saat ia membaca surat itu. Bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan dan kelegaan. Usaha dan kesabarannya akhirnya membuahkan hasil, dan ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru dalam hidupnya.

Dengan semangat yang baru, Robertus mulai menulis lebih banyak. Ia tidak hanya menulis untuk media tersebut, tetapi juga mulai mengeksplorasi ide-ide lain, menulis tentang kehidupan di Papua, tentang keindahan alam, dan tentang perjuangan orang-orang di sekitarnya. Setiap tulisan yang ia hasilkan menjadi lebih baik dari sebelumnya, dan semakin banyak media yang tertarik dengan karyanya.

Robertus merasa hidupnya mulai berubah. Meskipun tidak kaya raya, ia mampu menghidupi dirinya dan ibunya dengan pendapatan dari menulis. Ia belajar dari setiap kegagalan yang pernah ia alami, dan menggunakan pengalaman itu untuk tumbuh dan berkembang. Dukungan dari Mardini dan ingatan akan nasihat ibunya terus menjadi pilar yang menopang semangatnya.

Suatu hari, ia menerima undangan untuk berbicara di sebuah seminar kepenulisan di kota besar. Ini adalah pencapaian yang luar biasa bagi seorang pemuda dari kota kecil yang pernah terpuruk. Di sana, di hadapan puluhan orang yang menantikan kata-katanya, Robertus berbicara tentang perjalanannya, tentang bagaimana ia bangkit dari keterpurukan, dan bagaimana optimisme telah menyelamatkan hidupnya.

"Optimisme bukan berarti kita mengabaikan kesulitan," katanya. "Tetapi optimisme adalah keyakinan bahwa di tengah kesulitan, selalu ada jalan keluar. Kadang jalan itu tersembunyi, tetapi jika kita terus mencari, kita akan menemukannya."

Sekembalinya dari seminar, Robertus duduk di meja kayu tuanya, ketika semuanya bermula. Di atas kertas putih yang bersih, ia menulis satu kata dengan huruf besar: "SYUKUR". Kata itu mewakili semua yang ia rasakan---syukur atas perjalanan yang penuh liku, atas kegagalan yang mengajarkannya arti ketangguhan, dan atas setiap momen kebahagiaan yang ia peroleh setelah bangkit dari keterpurukan.

Malam itu, Robertus kembali memandang langit senja dari jendela rumahnya. Warna merah lembayung masih menghiasi cakrawala, tetapi kali ini, ia melihat keindahan dalam warna itu---keindahan yang ia sadari hanya bisa dilihat oleh mereka yang telah melalui kegelapan.

Robertus tahu bahwa perjalanan hidupnya belum berakhir, dan masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, ia juga tahu bahwa selama ia memiliki optimisme dan keyakinan dalam hatinya, ia akan selalu menemukan cara untuk bangkit, tidak peduli seberapa dalam keterpurukannya. Dengan senyum tipis di bibirnya, ia menutup jendela dan kembali ke meja kerjanya, siap untuk menulis babak baru dalam hidupnya.

Merauke, 1 September 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun