Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bangkit dari Keterpurukan

1 September 2024   06:10 Diperbarui: 1 September 2024   06:19 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kegagalan itu biasa, Robertus. Yang penting adalah kau tidak berhenti mencoba. Setiap kali jatuh, bangkit lagi. Kau tak pernah tahu, mungkin ini adalah panggilan hidupmu," jawab Mardini dengan senyum yang menghangatkan hati.

Malam itu, Robertus duduk di depan meja kayu tuanya, dengan lampu minyak yang menerangi selembar kertas kosong di depannya. Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis, menuangkan perasaannya, pengalamannya, dan harapannya ke dalam kata-kata. Menulis menjadi pelarian dari realitas yang menyakitkan, dan semakin ia menulis, semakin ia merasa bahwa beban di pundaknya mulai berkurang.

Namun, jalan ini tidaklah mudah. Robertus mengirimkan tulisannya ke berbagai media, namun semuanya ditolak. Setiap kali menerima surat penolakan, ia merasa dunianya runtuh sedikit demi sedikit. Rasa putus asa kembali menyelimutinya, dan ia hampir memutuskan untuk menyerah.

Pada saat terburuknya, ketika Robertus merasa seluruh dunia telah meninggalkannya, Mardini datang dengan kabar baik yang tak terduga. "Robertus, aku punya kenalan di sebuah media kecil di kota. Mereka sedang mencari penulis lepas. Cobalah kirimkan tulisanmu ke sana. Ini mungkin kesempatanmu."

Meski hatinya masih dipenuhi keraguan, Robertus mencoba lagi. Kali ini, ia menulis dengan seluruh hati dan jiwanya, seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya. Tulisan itu bukan hanya tentang krisis yang melanda kota kecil mereka, tetapi juga tentang harapan, tentang keyakinan bahwa meskipun dunia tampak gelap, selalu ada cahaya di ujung terowongan.

Beberapa minggu kemudian, ketika Robertus hampir melupakan tulisan itu, sebuah surat tiba di rumahnya. Dengan jantung berdebar, ia membuka amplop itu dan membaca isinya. Tulisan itu diterima. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Robertus merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa, seolah-olah beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang.

"Saya sangat terkesan dengan tulisan Anda," tulis editor media itu dalam suratnya. "Ada kejujuran dan kedalaman dalam kata-kata Anda yang jarang saya temukan. Kami ingin Anda menulis lebih banyak untuk kami."

Air mata mengalir di pipi Robertus saat ia membaca surat itu. Bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan dan kelegaan. Usaha dan kesabarannya akhirnya membuahkan hasil, dan ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru dalam hidupnya.

Dengan semangat yang baru, Robertus mulai menulis lebih banyak. Ia tidak hanya menulis untuk media tersebut, tetapi juga mulai mengeksplorasi ide-ide lain, menulis tentang kehidupan di Papua, tentang keindahan alam, dan tentang perjuangan orang-orang di sekitarnya. Setiap tulisan yang ia hasilkan menjadi lebih baik dari sebelumnya, dan semakin banyak media yang tertarik dengan karyanya.

Robertus merasa hidupnya mulai berubah. Meskipun tidak kaya raya, ia mampu menghidupi dirinya dan ibunya dengan pendapatan dari menulis. Ia belajar dari setiap kegagalan yang pernah ia alami, dan menggunakan pengalaman itu untuk tumbuh dan berkembang. Dukungan dari Mardini dan ingatan akan nasihat ibunya terus menjadi pilar yang menopang semangatnya.

Suatu hari, ia menerima undangan untuk berbicara di sebuah seminar kepenulisan di kota besar. Ini adalah pencapaian yang luar biasa bagi seorang pemuda dari kota kecil yang pernah terpuruk. Di sana, di hadapan puluhan orang yang menantikan kata-katanya, Robertus berbicara tentang perjalanannya, tentang bagaimana ia bangkit dari keterpurukan, dan bagaimana optimisme telah menyelamatkan hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun