Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema Seorang Pengkhianat

18 Agustus 2024   06:10 Diperbarui: 18 Agustus 2024   06:13 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Apa kau ragu, Aleksius?" tanya Kapten Markus, suaranya dingin dan penuh kecurigaan.

Aleksius menggeleng, namun hatinya berteriak. Ia berpikir tentang Mama Maria, tentang Yosephine, tentang semua kenangan masa kecilnya yang masih terbungkus rapi di kampung itu. Kampung yang pernah menjadi tempat paling aman dan penuh cinta kini akan menjadi medan perang.

Malam itu, di tenda markas mereka yang dingin, Aleksius tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan desa yang terbakar, bayangan tubuh-tubuh yang terkapar tanpa nyawa. Dalam benaknya, ia melihat Mama Maria berlari, mencari perlindungan di antara reruntuhan rumah mereka, memanggil nama Aleksius dengan tangisan yang hancur. Ia melihat Yosephine, bersembunyi di balik dinding kayu yang mulai roboh, dengan mata penuh air mata yang mengalir tanpa henti.

Aleksius menutup matanya dengan keras, mencoba mengusir semua pikiran itu, tapi sia-sia. Ia tahu, keesokan harinya ia harus membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Saat fajar mulai menyapa, dengan sinarnya yang lembut menyinari tanah Papua, Aleksius berdiri di atas tebing yang menghadap ke kampung halamannya. Dari kejauhan, ia melihat asap tipis yang mengepul dari dapur rumah-rumah, tanda kehidupan yang masih berdenyut di sana. Aleksius mengepalkan tangannya, merasakan dingin baja yang menempel di telapak tangannya.

"Ini rumahku," bisiknya, seakan kata-kata itu bisa menguatkan hatinya. "Ini rakyatku."

Dengan napas yang berat, Aleksius memutuskan. Ia tidak akan menyerang desa itu. Ia tidak akan lagi menjadi alat penjajah yang menghancurkan tanah airnya sendiri. Ia akan melawan, bahkan jika itu berarti ia harus mengkhianati orang-orang yang pernah ia anggap sebagai keluarganya.

Aleksius kembali ke markas dengan langkah mantap. Hatinya yang dulu dipenuhi keraguan kini telah berubah menjadi api yang membara. Ia menemui beberapa pemuda desa yang bekerja di bawah perintahnya. Mereka adalah anak-anak yang tumbuh besar bersamanya, yang mengenal setiap sudut desa mereka.

"Kita akan melawan," katanya tegas. "Kita akan melindungi desa kita, bahkan jika itu berarti kita harus melawan Kapten Markus dan seluruh kelompok bersenjata ini."

Mata-mata pemuda itu menyala dengan semangat yang sama. Mereka tahu risiko yang mereka hadapi, tapi mereka juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan rumah mereka. Mereka menyusun rencana, sebuah rencana yang penuh dengan bahaya, tapi juga dengan harapan.

Hari itu, langit Papua seolah menunggu, menahan napas sebelum badai. Kapten Markus, tidak menyadari rencana yang disusun oleh Aleksius, memberi perintah untuk menyerang desa Wamena. Aleksius, dengan hati yang berat namun penuh keberanian, memimpin kelompoknya menuju desa itu. Tapi kali ini, mereka tidak datang sebagai penjajah, melainkan sebagai pelindung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun