Perpindahan kepemilikan tanah menyebabkan masyarakat adat kehilangan sumber penghidupan utama mereka. Tanah yang dulunya digunakan untuk bertani, berburu, dan kegiatan ekonomi tradisional lainnya kini tidak lagi dapat diakses. Kehilangan tanah ini memaksa masyarakat adat untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan atau mencari pekerjaan lain yang sering tidak sejalan dengan keterampilan dan pengetahuan tradisional mereka, sehingga menurunkan kualitas hidup mereka.
Secara sosial, perpindahan kepemilikan tanah menimbulkan disintegrasi komunitas adat. Menurut McKenna (2015), dalam Losing Ground: Indigenous Rights and Mining in Papua, proses transmigrasi dan pengambilalihan tanah oleh perusahaan menyebabkan pemisahan keluarga dan komunitas adat. Hal ini menimbulkan konflik sosial, yang disebabkan oleh perbedaan budaya, adat, dan kepentingan ekonomi.
Dari segi budaya, kehilangan tanah berarti kehilangan identitas dan warisan budaya. Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya sumber ekonomi tetapi juga pusat kehidupan spiritual dan sosial. Dalam Culture and Conservation in Papua (2012), disebutkan bahwa upacara adat, mitos, dan cerita rakyat yang berkaitan dengan tanah menjadi terancam punah ketika masyarakat adat kehilangan akses ke tanah leluhur mereka.
Perjuangan Masyarakat Adat
Perjuangan masyarakat adat Merauke untuk mempertahankan tanah leluhur mereka tampaknya masih terbatas pada segelintir orang-orang yang berpikiran progresif dan ingin mempertahankan tanah leluhurnya demi masa depan anak cucu mereka. Meskipun demikian, riak-riak kecil perjuangan tersebut tidak boleh diremehkan. Hal ini dapat dilihat melalui diskusi LSM dan LMA di Tanah Marind-Anim.
Masyarakat adat di Merauke menggunakan berbagai metode dan strategi dalam perjuangan mereka. Salah satu cara utama adalah melalui jalur hukum. Meskipun proses hukum ini sering panjang dan berliku, beberapa kasus berhasil dimenangkan dan tanah leluhur dapat dikembalikan.
Aksi protes dan demonstrasi juga sering digunakan sebagai metode untuk menarik perhatian publik dan menekan pihak berwenang. Dalam banyak kasus, masyarakat adat menggelar protes damai (dengan memasang umbul-umbul dari pucuk kelapa) di lokasi-lokasi yang menjadi sengketa tanah, atau di kantor-kantor pemerintah setempat. Protes-protes ini sering mendapat perhatian media dan menimbulkan tekanan politik yang dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa.
Salah satu kasus penting yang mencerminkan perjuangan masyarakat adat Merauke adalah perjuangan melawan pengambilalihan tanah oleh perusahaan kelapa sawit. Dalam laporan Colchester (2011): Land Grabs, Biofuel, and Oil Palm Expansion in Indonesia: The State of Play, disebutkan bahwa melalui upaya hukum dan advokasi, orang-orang Marind berhasil mendapatkan sebagian tanah mereka kembali setelah perusahaan yang terlibat terbukti melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.
Kasus lainnya adalah perjuangan masyarakat adat di kampung Zanegi, yang tanahnya diambil alih untuk proyek perkebunan tebu. Menurut laporan Tebay (2009), Human Rights and Indigenous Peoples in Papua, masyarakat Zanegi melakukan aksi protes dan menggugat pemerintah serta perusahaan yang terlibat. Meskipun prosesnya panjang, mereka berhasil mendapatkan perhatian nasional dan internasional yang akhirnya memaksa pemerintah untuk melakukan mediasi dan sebagian tanah mereka dikembalikan.
Tantangan yang Dihadapi