Partisipasi umat Katolik dalam kegiatan keagamaan cenderung menurun akhir-akhir ini, termasuk dalam konteks keluarga. Orang tua yang sebelumnya menjadi contoh dalam praktik keagamaan, kini semakin jarang terlihat aktif dalam kegiatan Gereja. Hal ini menciptakan kesenjangan dalam penerusan nilai-nilai keagamaan kepada anak-anak.
Kurangnya partisipasi orang tua Katolik dalam kegiatan Gereja berdampak signifikan terhadap pasangan baru menikah, yang seharusnya mendapatkan contoh dan bimbingan dari orang tua, sering merasa kurang siap dalam menjalani kehidupan berumah tangga yang berlandaskan ajaran Katolik.
Artikel ini akan menjawab beberapa pertanyaan penting: Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi orang tua Katolik dalam kegiatan keagamaan? Bagaimana hal ini memengaruhi kesiapan pasangan baru menikah dalam membangun keluarga Katolik?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, diharapkan dapat ditemukan solusi yang efektif untuk meningkatkan partisipasi orang tua dalam kegiatan Gereja dan memberikan dukungan yang lebih baik bagi pasangan baru menikah untuk menjalani kehidupan keluarga sesuai dengan ajaran Katolik.
Pentingnya Peran Orang Tua dalam Pendidikan Iman
Transmisi iman. Hal ini merupakan salah satu tanggung jawab utama keluarga Katolik. Ajaran Gereja menekankan bahwa keluarga adalah 'Gereja domestik' tempat anak-anak pertama kali belajar tentang iman dan kasih Kristus.
Menurut Paus Yohanes Paulus II, dalam Familiaris Consortio (1981), "Keluarga adalah tempat pertama di mana iman kepada Kristus yang bangkit harus diajarkan dan dipraktikkan." Iman yang diajarkan dalam keluarga ini kemudian diperkuat melalui sakramen dan partisipasi aktif dalam kehidupan Gereja.
Keluarga memainkan peran penting dalam mentransmisikan nilai-nilai agama melalui doa bersama, bacaan Kitab Suci, dan praktik-praktik keagamaan lainnya. Dengan demikian, anak-anak tidak hanya menerima pengetahuan tentang iman, tetapi juga melihat bagaimana iman tersebut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Peran model. Anak-anak belajar banyak dari mengamati dan meniru perilaku orang tua mereka. Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia (2016) menekankan bahwa orang tua adalah saksi pertama dan utama iman bagi anak-anak mereka.
Melalui tindakan sehari-hari seperti berdoa, menghadiri misa, dan melakukan karya amal, orang tua memberikan contoh konkret bagaimana hidup sebagai orang Kristen. Kehidupan iman orang tua yang autentik dan penuh kasih memberikan dasar yang kuat bagi anak-anak untuk mengembangkan iman mereka sendiri.
Pentingnya komunitas. Meskipun keluarga adalah tempat pertama dan utama untuk pendidikan iman, peran komunitas Gereja tidak boleh diabaikan. Gereja sebagai komunitas iman mendukung keluarga dengan menyediakan lingkungan di mana iman dapat tumbuh dan berkembang.
Katekismus Gereja Katolik (1992) menyatakan, "Komunitas gerejawi adalah tempat di mana anak-anak dapat menemukan dukungan dan bimbingan dalam hidup beriman." Partisipasi aktif dalam komunitas Gereja membantu memperkuat iman keluarga.
Paus Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est (2005) menyoroti pentingnya komunitas dalam kehidupan iman. Iman yang hidup harus diwujudkan dalam cinta kepada sesama, dan ini paling baik dicapai dalam konteks komunitas.
Faktor Penyebab Rendahnya Partisipasi Orang Tua
Berikut, beberapa faktor internal yang menyebabkan rendahnya partisipasi orang tua Katolik dalam kegiatan gereja.
Kesibukan modern: pekerjaan, keluarga, dan tuntutan hidup lainnya. Kehidupan yang penuh dengan tuntutan pekerjaan, tanggung jawab keluarga, dan kegiatan sosial sering membuat orang tua merasa sulit untuk meluangkan waktu bagi kegiatan keagamaan.
Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) menyatakan, "Kesibukan dan tuntutan kehidupan modern sering menjauhkan kita dari hal-hal yang benar-benar penting, termasuk kehidupan rohani kita." Ketika orang tua terjebak dalam rutinitas yang padat, waktu untuk berdoa bersama, menghadiri misa, atau mengikuti kegiatan gereja menjadi terbatas.
Kurangnya pemahaman tentang pentingnya iman. Banyak orang tua mungkin merasa bahwa pendidikan agama bukanlah prioritas utama, atau anak-anak mereka dapat belajar tentang iman di sekolah atau tempat lain.
Paus Benediktus XVI (2005) menekankan bahwa pendidikan iman harus menjadi prioritas utama dalam keluarga, karena di sinilah dasar-dasar moral dan spiritual anak-anak dibangun. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang pentingnya iman, partisipasi dalam kegiatan gereja sering diabaikan.
Pengalaman negatif dengan Gereja. Insiden seperti ketidaksetujuan dengan ajaran Gereja, konflik dengan pemimpin Gereja, atau skandal yang melibatkan Gereja dapat membuat orang tua merasa kecewa dan menjauh dari komunitas Gereja.
Robert Wuthnow (2007), dalam After the Baby Boomers, mencatat bahwa banyak orang dewasa muda yang pernah mengalami kekecewaan dengan institusi keagamaan merasa sulit untuk kembali berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan setelah mereka berkeluarga.
Perubahan dalam praktik keagamaan keluarga. Banyak keluarga modern mungkin tidak lagi mempraktikkan tradisi keagamaan yang kuat seperti generasi sebelumnya. Perubahan dalam gaya hidup dan nilai-nilai budaya juga memainkan peran penting.
Charles Taylor (2007), dalam A Secular Age, mengamati bahwa perubahan dalam nilai-nilai budaya dan masyarakat yang semakin sekuler telah memengaruhi cara keluarga memandang dan menjalankan agama mereka.
Selain itu, faktor-faktor eksternal yang menyebabkan rendahnya partisipasi orang tua terhadap kegiatan Gereja.
Perubahan sosial dan budaya: sekularisme dan individualisme. Hal ini memiliki dampak signifikan terhadap partisipasi orang tua Katolik dalam kegiatan Gereja. Sekularisme, yang menekankan pemisahan antara kehidupan beragama dan kehidupan publik, telah membuat banyak orang merasa bahwa iman dan praktik keagamaan adalah urusan pribadi yang tidak relevan dalam konteks sosial yang lebih luas.
Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) menyatakan, "Salah satu tantangan terbesar bagi iman kita di zaman modern ini adalah sekularisme yang berusaha menghilangkan dimensi religius dari kehidupan publik."
Selain itu, individualisme mendorong pandangan bahwa kebahagiaan dan keberhasilan pribadi lebih penting daripada komitmen terhadap komunitas atau lembaga keagamaan.
Kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar. Ketika komunitas sekitar tidak aktif dalam kehidupan Gereja atau tidak memberikan dorongan kepada anggotanya untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan, orang tua dapat merasa terisolasi dan kurang termotivasi untuk berpartisipasi.
Paus Yohanes Paulus II dalam Christifideles Laici (1988) menekankan bahwa Gereja membutuhkan komunitas yang hidup dan dinamis yang dapat mendukung anggotanya dalam perjalanan iman mereka.
Perubahan dalam struktur dan program Gereja. Gereja yang tidak lagi menawarkan program yang relevan atau menarik bagi keluarga muda mungkin melihat penurunan partisipasi. Hal ini termasuk kurangnya program untuk anak-anak, remaja, atau keluarga, serta kurangnya fleksibilitas dalam jadwal misa dan kegiatan Gereja lainnya.
Paus Fransiskus (2016) menekankan pentingnya adaptasi program Gereja untuk memenuhi kebutuhan keluarga modern. Gereja harus terus-menerus memperbarui dan menyesuaikan program-programnya agar dapat menjawab kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh keluarga-keluarga saat ini.
Dampaknya terhadap Pasangan yang Baru Menikah
Kurangnya dasar iman yang kuat. Pasangan baru menikah yang tidak memiliki dasar iman yang kuat sering menghadapi kesulitan dalam menghadapi tantangan pernikahan. Iman yang kuat memberikan landasan moral dan spiritual yang kokoh, yang membantu pasangan mengatasi konflik dan rintangan dalam kehidupan pernikahan.
Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio (1981) menekankan pentingnya iman dalam kehidupan keluarga. Tanpa iman yang kuat, pasangan mungkin akan kesulitan menemukan makna dan tujuan yang lebih dalam kehidupan pernikahan mereka. Ketika orang tua tidak aktif dalam kehidupan Gereja, pasangan baru menikah mungkin tidak memiliki model yang baik untuk diikuti. Ini dapat menyebabkan kurangnya keyakinan dan keteguhan dalam iman.
Sulit membangun keluarga Katolik. Rendahnya partisipasi orang tua dalam kegiatan Gereja dapat menyulitkan pasangan baru menikah dalam menanamkan nilai-nilai Katolik pada anak-anak mereka. Pendidikan iman yang konsisten dan kuat di rumah sangat penting untuk membentuk karakter dan moral anak-anak.
Paus Fransiskus (2016) menyatakan, "Orang tua adalah guru pertama dan paling penting dalam iman bagi anak-anak mereka." Ketika pasangan baru tidak memiliki contoh yang baik dari orang tua, mereka mungkin merasa kurang siap untuk mengajarkan iman kepada anak-anak. Hal ini dapat mengakibatkan generasi berikutnya tumbuh tanpa pemahaman yang mendalam tentang ajaran Katolik dan nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan mereka.
Kurangnya dukungan komunitas. Kurangnya partisipasi orang tua dalam Gereja dapat membuat pasangan baru merasa kesepian dan tidak memiliki dukungan dari komunitas.
Paus Benediktus XVI (2005) menekankan pentingnya komunitas dalam kehidupan beriman. Komunitas adalah tempat iman diwujudkan dalam kasih dan dukungan satu sama lain. Ketika pasangan baru tidak memiliki akses ke dukungan komunitas, mereka mungkin merasa terisolasi dan kesulitan menemukan bantuan ketika menghadapi tantangan dalam pernikahan.
Tantangan dalam mengambil keputusan moral. Rendahnya partisipasi orang tua dalam kegiatan Gereja dapat menyebabkan pasangan baru menikah kesulitan mengambil keputusan moral sesuai dengan ajaran Gereja. Tanpa bimbingan dan pemahaman yang jelas tentang ajaran Katolik, pasangan mungkin merasa bingung atau tidak yakin tentang apa yang benar dan salah dalam berbagai situasi.
Katekismus Gereja Katolik (1992) menyatakan bahwa formasi hati nurani yang baik adalah tugas seumur hidup, dan itu membutuhkan ajaran Gereja serta bimbingan spiritual.
Paus Fransiskus (2013) juga menekankan pentingnya pendidikan moral. Dalam dunia yang semakin kompleks, pasangan baru membutuhkan bimbingan yang jelas dan kuat dari ajaran Gereja untuk membuat keputusan yang benar dalam kehidupan mereka. Tanpa dasar iman yang kuat dan dukungan komunitas, pasangan mungkin menghadapi kesulitan dalam menjalani kehidupan yang setia pada ajaran Katolik.
Solusi dan Rekomendasi
Pendidikan orang tua. Gereja dapat mengadakan program-program yang mencakup seminar, lokakarya, dan kursus yang dirancang khusus untuk orang tua. Paus Fransiskus (2016) menekankan, "Gereja harus mendukung orang tua dalam tugas mereka sebagai pendidik pertama dan utama iman bagi anak-anak mereka."
Dengan menyediakan pendidikan yang komprehensif dan berkelanjutan bagi orang tua, gereja dapat membantu mereka menjadi teladan iman yang kuat bagi anak-anak mereka.
Kegiatan keluarga. Kegiatan seperti retret keluarga, perayaan liturgi khusus untuk keluarga, dan acara sosial dapat memperkuat ikatan keluarga dan memperdalam iman mereka bersama-sama.
Paus Yohanes Paulus II (19181) menyatakan, "Keluarga adalah Gereja domestik di mana kehidupan iman dijalani dan dibagikan secara bersama-sama." Dengan menciptakan program yang menarik dan relevan bagi keluarga, Gereja dapat memperkuat komitmen mereka terhadap kehidupan iman bersama.
Membangun komunitas yang inklusif. Gereja harus berusaha untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung, sehingga semua anggota merasa diterima dan dihargai.
Paus Fransiskus (2013) menekankan pentingnya inklusivitas dalam gereja. Gereja harus menjadi rumah bagi semua orang, tempat di mana kasih Tuhan dirasakan dan dibagikan tanpa batasan. Dengan membangun komunitas yang inklusif, gereja dapat menarik lebih banyak keluarga muda dan meningkatkan partisipasi mereka dalam kehidupan gereja.
Inovasi dalam program Gereja. Program-program yang relevan dengan kebutuhan keluarga modern dapat dikembangkan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan spesifik yang dihadapi oleh keluarga-keluarga masa kini.
Paus Fransiskus (2016) menyatakan, "Gereja harus terus-menerus memperbarui dan menyesuaikan program-programnya agar dapat menjawab kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh keluarga-keluarga saat ini."
Dengan berinovasi dan menyesuaikan program-program tersebut, Gereja dapat tetap relevan dan menarik bagi keluarga-keluarga modern, serta meningkatkan partisipasi mereka dalam kehidupan Gereja.
Uraian di atas menunjukkan, rendahnya partisipasi orang tua Katolik dalam kegiatan Gereja merupakan isu yang kompleks dan multifaset. Hal ini berdampak signifikan pada pasangan baru menikah dan keluarga secara keseluruhan.
Kurangnya dasar iman yang kuat, kesulitan dalam membangun keluarga Katolik, kurangnya dukungan komunitas, dan tantangan dalam mengambil keputusan moral adalah beberapa dampak yang dirasakan oleh pasangan baru menikah ketika orang tua mereka tidak aktif dalam kehidupan Gereja.
Namun, dengan pendekatan yang holistik dan terencana, Gereja dapat mengatasi tantangan ini melalui pendidikan orang tua, kegiatan keluarga, pembangunan komunitas yang inklusif, serta inovasi dalam program Gereja.
Hal ini perlu dikaji lebih jauh dalam jangka panjang untuk memahami bagaimana partisipasi orang tua dalam kegiatan Gereja dan dampaknya terhadap pasangan baru menikah.
Dengan melakukan kajian lebih jauh, Gereja dan komunitas akademik dapat bekerja sama untuk mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam meningkatkan partisipasi orang tua Katolik dalam kehidupan Gereja dan mendukung pasangan baru menikah untuk membangun keluarga yang kuat dalam iman. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H