Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Kampung Kamur

10 Juli 2024   16:25 Diperbarui: 11 Juli 2024   01:36 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di Kampung Kamur, di tengah belantara Pantai Kasuari, Papua, hidup seorang anak lelaki bernama Ferdinandus. Sejak tahun 1995, Ferdinandus yang periang dan murah senyum harus menanggung beban kesepian setelah kedua orang tuanya meninggal dunia di saat mencari sagu di hutan. Namun, keberuntungannya bertemu dengan seorang guru asal Flores, bernama Policarpus, memberi harapan baru. Dengan mata bulat bercahaya dan wajah cerah yang selalu tersenyum, Ferdinandus berusaha menjadi bagian dari keluarga baru ini.

Pak Policarpus dan istrinya, Maria, mengasuh Ferdinandus dengan penuh kasih sayang. Mereka melatihnya berbagai keterampilan rumah tangga yang sederhana, seperti mencuci piring, memasak, dan menyalakan kompor. Setiap hari, Ferdinandus belajar dengan tekun dan menunjukkan kemauan keras untuk membantu.

Pada suatu malam, ketika api unggun menyala di halaman rumah mereka, Ferdinandus duduk bersama Pak Policarpus di atas tikar anyaman pandan. "Ferdinandus," kata Pak Policarpus sambil menatap api yang berkerlap-kerlip, "Kau tahu, di dunia ini, penting sekali untuk memiliki semangat belajar. Kau adalah anak yang rajin, dan itu membuat kami sangat bangga."

Ferdinandus menatap Pak Policarpus dengan mata berbinar. "Terima kasih, Pak Guru. Saya ingin terus belajar agar bisa membantu keluarga ini dan Kampung Kamur."

"Semangat itu akan membawamu jauh, Nak. Jangan pernah menyerah," jawab Pak Policarpus sambil mengusap kepala Ferdinandus dengan penuh kasih sayang.

Suatu sore yang hangat, Ibu Maria memberi tugas pada Ferdinandus. "Ferdinandus, setelah makan, tolong isi air ke dalam drum di dapur," katanya dengan lembut, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Ferdinandus yang bersemangat mengangguk patuh. Namun, ketika malam tiba dan Ferdinandus tak kunjung pulang, kecemasan mulai menyelimuti keluarga Pak Policarpus. Mereka mencari-cari, memanggil namanya di bawah langit Pantai Kasuari yang semakin gelap.

"Ferdinandus! Ferdinandus!" teriak Ibu Maria dengan nada cemas, suaranya menggema di antara pepohonan, menggetarkan daun-daun dan mengusik keheningan senja. Matahari mulai tenggelam, menyisakan semburat jingga di ufuk Barat, sementara angin malam mulai berhembus lembut, membawa kekhawatiran yang semakin membesar di hati mereka.

"Ke mana anak itu?" gumam Pak Policarpus sambil menyeka keringat di dahinya, pandangannya menyapu sekitar rumah dengan cemas. Suasana sekitar mulai diliputi kegelapan, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang malu-malu muncul di balik awan.

Di sudut halaman, tiga anak mereka, Rikardus, Frengky, dan Andreas, ikut merasakan kecemasan orang tua mereka. Rikardus, anak tertua, dengan rambut ikal yang selalu berantakan, berusaha menenangkan kedua adiknya. "Jangan khawatir, kita pasti akan menemukan Ferdinandus," ujarnya dengan suara tenang, meskipun dalam hatinya, kegelisahan ikut bergejolak.

Frengky, dengan mata bulat yang selalu penuh rasa ingin tahu, mendekati Pak Policarpus. "Pak, mungkin dia pergi ke sungai lagi. Dia suka bermain di sana saat sore hari," katanya dengan suara lirih, mencoba memberikan petunjuk.

Pak Policarpus mengangguk, mengerti. "Baiklah, kita akan mencarinya di sungai," katanya dengan suara tegas, mencoba menenangkan hatinya sendiri. "Rikardus, bawa senter dan temani adik-adikmu. Kita harus menemukan Ferdinandus sebelum malam semakin larut."

Mereka pun bergegas, menelusuri jalan setapak yang menuju ke sungai. Langkah-langkah mereka tergesa namun penuh harap. Cahaya senter yang dibawa Rikardus menari-nari di antara pepohonan, memantulkan bayangan-bayangan aneh yang membuat jantung mereka berdebar lebih kencang.

"Ferdinandus! Ferdinandus!" panggil Andreas dengan suara lantang, berharap mendengar jawaban dari adik angkatnya yang selalu ceria. Namun, hanya suara gemericik air sungai dan desiran angin yang menjawab.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara yang dinanti-nanti. "Di sini! Aku di sini!" Suara Ferdinandus yang lirih namun jelas terdengar, membuat hati mereka lega. Mereka berlari menuju sumber suara, dan di tepi sungai, di bawah cahaya rembulan yang lembut, mereka menemukan Ferdinandus sedang duduk dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya berlumuran keringat, namun senyumnya tetap terpancar.

"Air sudah terisi di drum, Bu," katanya sambil tersenyum lebar, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Tapi terlalu berat untuk dibawa pulang."

Ibu Maria menahan tawa haru sambil merangkul Ferdinandus erat. "Oh, Ferdinandus, aku lupa menjelaskan bahwa seharusnya kamu mengambil air dari sungai menggunakan ember, lalu menuangkannya ke dalam drum," katanya dengan lembut, mengusap rambut Ferdinandus yang basah oleh keringat.

Rikardus, Frengky, dan Andreas bergabung, tertawa bersama di bawah sinar bulan yang semakin terang. Malam itu, di tengah keheningan hutan Pantai Kasuari, keluarga Policarpus belajar bahwa cinta dan pengertian harus selalu disertai dengan penjelasan yang jelas. Ferdinandus, dengan hati polosnya, telah mengajarkan mereka tentang pentingnya komunikasi dan kesabaran. Mereka tertawa bersama, merayakan kebingungan kecil yang kini menjadi kenangan manis di Kampung Kamur.

Mereka berjalan pulang bersama, diiringi cahaya bintang yang berkelip di langit malam, membawa kenangan manis yang akan selalu mereka ingat. Di bawah naungan kasih sayang keluarga Policarpus, Ferdinandus tumbuh menjadi cahaya yang menyinari Kampung Kamur. Bersama dengan Rikardus, Frengky, dan Andreas, mereka menjadi harapan baru bagi kampung yang tercinta.

Hari-hari berikutnya, Ferdinandus semakin akrab dengan keluarga Policarpus. Setiap pagi, mereka akan berkumpul di sekitar meja kayu besar untuk sarapan bersama. Suatu pagi, saat matahari baru saja muncul, Ferdinandus mengutarakan keinginannya kepada Pak Policarpus.

"Pak Guru, apakah saya bisa belajar lebih banyak tentang dunia luar? Saya ingin tahu lebih banyak tentang hal-hal yang tidak ada di sini, di Kampung Kamur," tanya Ferdinandus dengan mata berbinar penuh harap.

Pak Policarpus tersenyum bangga. "Tentu saja, Ferdinandus. Belajar tidak hanya dari buku, tetapi juga dari pengalaman. Suatu hari nanti, kita akan pergi ke kota untuk melihat dunia yang lebih luas."

"Terima kasih, Pak Guru. Saya ingin menjadi seseorang yang bisa membawa perubahan untuk kampung kita," jawab Ferdinandus penuh semangat.

Pak Policarpus mengangguk. "Kau akan menjadi seseorang yang hebat, Ferdinandus. Ingat, selalu ada pelajaran di balik setiap pengalaman. Seperti kejadian drum kemarin, itu mengajarkan kita pentingnya komunikasi yang jelas."

Beberapa bulan kemudian, saat bunga-bunga anggrek hutan mulai bermekaran, Ferdinandus mendapatkan kesempatan yang ditunggu-tunggunya. Pak Policarpus mengajaknya ke kota Merauke, untuk melihat dunia luar. Perjalanan itu penuh dengan keajaiban bagi Ferdinandus. Ia melihat bangunan tinggi, jalanan yang ramai, dan berbagai jenis kendaraan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.

"Ini luar biasa, Pak Guru! Dunia ini begitu luas dan penuh warna-warni," seru Ferdinandus dengan mata berbinar.

"Benar, Ferdinandus. Dan semua ini bisa kamu pelajari dan bawa kembali ke Kampung Kamur, untuk membuat kampung kita menjadi lebih baik," jawab Pak Policarpus dengan senyum bangga.

"Kamu akan sekolah di SMK Santo Antonius. Ini akan menjadi bekal bagi kamu untuk membangun Kampung Kamur suatu saat nanti." Pak Guru Policarpus menitip Ferdinandus di sekolah teknik ini.

Selama tiga tahun, Ferdinandus belajar dan menemukan apa yang menjadi impiannya. Ia menyelesaikan studinya dengan hasil yang gemilang pada jurusan kelistrikan. Tentu hal ini menjadi kebanggaan keluarga Pak Policarpus dan seisi kampung. 

Kembali ke Kampung Kamur, Ferdinandus merasa lebih bersemangat untuk belajar bekerja keras. Ia menyadari bahwa dunia ini penuh dengan kemungkinan, dan dengan semangat serta dedikasi, ia bisa mencapai impian-impian besarnya.

Suatu pagi yang cerah, saat matahari mulai merangkak naik di cakrawala, Ferdinandus berdiri di depan sekelompok anak-anak di Kampung Kamur. Mereka berkumpul di bawah naungan pohon besar, mendengarkan dengan penuh perhatian saat Ferdinandus berbagi cerita tentang pengalamannya di kota.

"Anak-anak, dunia ini begitu luas dan penuh dengan hal-hal yang bisa kita pelajari," kata Ferdinandus dengan suara penuh antusias. "Jangan pernah takut untuk bermimpi besar dan mengejar apa yang kalian inginkan. Dengan usaha dan semangat, kita bisa membawa perubahan positif untuk kampung kita."

Anak-anak itu mendengarkan dengan mata berbinar, terinspirasi oleh kata-kata Ferdinandus. Ia telah menjadi cahaya bagi mereka, seorang pemuda yang menunjukkan bahwa dengan ketekunan dan semangat, segala sesuatu adalah mungkin.

"Cahaya Kampung Kamur" menjadi julukan bagi Ferdinandus. Ia adalah inspirasi bagi banyak anak di kampungnya, menunjukkan bahwa dengan semangat, ketekunan, dan keinginan untuk belajar, seseorang bisa meraih apa pun yang diinginkannya. Ferdinandus tumbuh menjadi seorang pemuda yang membawa harapan dan perubahan positif bagi Kampung Kamur, di bawah naungan kasih sayang keluarga Policarpus. (*)

Merauke, 10 Juli 2024

Agustinus Gereda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun