Mereka pun bergegas, menelusuri jalan setapak yang menuju ke sungai. Langkah-langkah mereka tergesa namun penuh harap. Cahaya senter yang dibawa Rikardus menari-nari di antara pepohonan, memantulkan bayangan-bayangan aneh yang membuat jantung mereka berdebar lebih kencang.
"Ferdinandus! Ferdinandus!" panggil Andreas dengan suara lantang, berharap mendengar jawaban dari adik angkatnya yang selalu ceria. Namun, hanya suara gemericik air sungai dan desiran angin yang menjawab.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara yang dinanti-nanti. "Di sini! Aku di sini!" Suara Ferdinandus yang lirih namun jelas terdengar, membuat hati mereka lega. Mereka berlari menuju sumber suara, dan di tepi sungai, di bawah cahaya rembulan yang lembut, mereka menemukan Ferdinandus sedang duduk dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya berlumuran keringat, namun senyumnya tetap terpancar.
"Air sudah terisi di drum, Bu," katanya sambil tersenyum lebar, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Tapi terlalu berat untuk dibawa pulang."
Ibu Maria menahan tawa haru sambil merangkul Ferdinandus erat. "Oh, Ferdinandus, aku lupa menjelaskan bahwa seharusnya kamu mengambil air dari sungai menggunakan ember, lalu menuangkannya ke dalam drum," katanya dengan lembut, mengusap rambut Ferdinandus yang basah oleh keringat.
Rikardus, Frengky, dan Andreas bergabung, tertawa bersama di bawah sinar bulan yang semakin terang. Malam itu, di tengah keheningan hutan Pantai Kasuari, keluarga Policarpus belajar bahwa cinta dan pengertian harus selalu disertai dengan penjelasan yang jelas. Ferdinandus, dengan hati polosnya, telah mengajarkan mereka tentang pentingnya komunikasi dan kesabaran. Mereka tertawa bersama, merayakan kebingungan kecil yang kini menjadi kenangan manis di Kampung Kamur.
Mereka berjalan pulang bersama, diiringi cahaya bintang yang berkelip di langit malam, membawa kenangan manis yang akan selalu mereka ingat. Di bawah naungan kasih sayang keluarga Policarpus, Ferdinandus tumbuh menjadi cahaya yang menyinari Kampung Kamur. Bersama dengan Rikardus, Frengky, dan Andreas, mereka menjadi harapan baru bagi kampung yang tercinta.
Hari-hari berikutnya, Ferdinandus semakin akrab dengan keluarga Policarpus. Setiap pagi, mereka akan berkumpul di sekitar meja kayu besar untuk sarapan bersama. Suatu pagi, saat matahari baru saja muncul, Ferdinandus mengutarakan keinginannya kepada Pak Policarpus.
"Pak Guru, apakah saya bisa belajar lebih banyak tentang dunia luar? Saya ingin tahu lebih banyak tentang hal-hal yang tidak ada di sini, di Kampung Kamur," tanya Ferdinandus dengan mata berbinar penuh harap.
Pak Policarpus tersenyum bangga. "Tentu saja, Ferdinandus. Belajar tidak hanya dari buku, tetapi juga dari pengalaman. Suatu hari nanti, kita akan pergi ke kota untuk melihat dunia yang lebih luas."
"Terima kasih, Pak Guru. Saya ingin menjadi seseorang yang bisa membawa perubahan untuk kampung kita," jawab Ferdinandus penuh semangat.