Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan dalam Ikatan Suci: Memahami Perkawinan di Era Modern

27 Juni 2024   05:08 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:26 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesetaraan dalam perkawinan sering menjadi topik diskusi yang hangat, terutama di era modern yang penuh godaan serta permasalahan seperti perselingkuhan, perbedaan pendapat, dan ketidaksetaraan dalam hak dan tanggung jawab rumah tangga dapat mengancam kelangsungan perkawinan. Selain itu, era modern semakin menekankan hak-hak individu dan kesetaraan gender. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan kesetaraan suami istri dalam konteks perkawinan Katolik berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dalam martabat, tanggung jawab, hak, dan pengambilan keputusan.

Dasar Kesetaraan Suami Istri

Kesetaraan suami istri memiliki dasar yang kuat dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama  disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, baik laki-laki maupun perempuan (Kej 1:27-28). Keduanya diciptakan dengan martabat dan kehormatan yang sama di hadapan Tuhan (Kej 2:23-24). Ditegaskan bahwa keduanya memiliki nilai yang sama, yang menunjukkan kesatuan dan kesetaraan dalam perkawinan. Keduanya dipanggil untuk saling melengkapi dan membantu satu sama lain menuju kebahagiaan dan keselamatan.

Yesus menegaskan kesetaraan antara suami dan istri dalam perkawinan dengan merujuk pada Perjanjian Lama. Dalam Matius 19:4-6, ditegaskan bahwa suami dan istri adalah satu daging, dan bahwa perkawinan tidak boleh diceraikan. Hal ini menunjukkan bahwa suami dan istri adalah setara dan harus saling menghormati dalam ikatan perkawinan, dan tidak dapat dipisahkan.

Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Ef 5:21-33) memberikan pandangan mendalam tentang hubungan suami istri. Hubungan suami istri harus mencerminkan hubungan Kristus dengan Gereja. Ia juga menyerukan kasih tak terbatas dan pengorbanan dari suami kepada istri, sebagaimana Kristus mengasihi Gereja. Meskipun ada peran dan tanggung jawab yang berbeda, kasih dan penghargaan antara suami dan istri harus saling menyelaraskan.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa kesetaraan suami istri meliputi kesetaraan dalam martabat, tanggung jawab, hak, dan pengambilan keputusan. Dalam Familiaris Consortio (1981), Paus Yohanes Paulus II menekankan pentingnya peran keluarga dalam masyarakat dan Gereja, serta menyoroti nilai-nilai kesetaraan, kasih, dan tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Jadi, Gereja Katolik menekankan bahwa dalam perkawinan, kasih dan pengorbanan harus menjadi dasar dari setiap tindakan dan keputusan, dengan suami dan istri menghormati dan mengasihi satu sama lain.

Kesetaraan dalam Martabat

Suami dan istri memiliki martabat yang sama dan setara di hadapan Allah. Konsep kesetaraan ini bukan hanya merupakan dasar teologis, tetapi juga mengatur praktik dan sikap dalam kehidupan berkeluarga. Kesetaraan dalam martabat menuntut agar setiap pasangan dihormati, dihargai, dan diakui peran serta kontribusinya dalam keluarga.

Kitab Suci (Kej 1:27-28) mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Ini menunjukkan bahwa sejak awal penciptaan, laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan. Gambaran penciptaan Hawa dari rusuk Adam (Kej 2:23-24) menandakan kedekatan dan kesetaraan mereka.

Dalam Gaudium et Spes (1965) ditegaskan pentingnya kesetaraan antara suami dan istri (GS, 48). Gereja mengajarkan bahwa martabat ini berasal dari hakikat mereka sebagai anak-anak Allah, tanpa memandang jenis kelamin atau peran dalam keluarga. Dalam ensiklik Mulieris Dignitatem (1988), Paus Yohanes Paulus II menyebutkan martabat dan panggilan perempuan, yang juga mencakup kesetaraan dalam perkawinan.

Kesetaraan dalam martabat antara suami dan istri adalah prinsip fundamental yang harus dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip ini mengakui bahwa suami dan istri, meskipun memiliki peran yang berbeda, tetap memiliki martabat yang sama di hadapan Allah (Gal 3:28).

Kesetaraan dalam Tanggung Jawab

Prinsip kesetaraan dalam tanggung jawab menegaskan bahwa suami istri memiliki peran yang sama dalam membangun dan merawat hidup perkawinan berdasarkan kasih yang tulus dan pengorbanan. Kesetaraan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pengambilan keputusan hingga tanggung jawab sehari-hari dalam kehidupan keluarga (Bdk. Ef 5:21.25; 1Kor 7:3-4).

Gereja Katolik menegaskan bahwa dalam perkawinan, suami dan istri dipanggil untuk saling mengasihi dan bekerja sama (Gaudium et Spes, 1965). Gereja juga menekankan bahwa pria dan wanita dipanggil untuk saling membantu dan saling mengasihi dengan cara yang sama (KGK 1605). Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio (1981) menegaskan bahwa suami istri, sebagai mitra dalam persekutuan kehidupan dan kasih, memiliki tanggung jawab yang sama dan tugas yang sama dalam kehidupan keluarga. Mereka harus bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan keluarga dan mendidik anak-anak mereka dalam semangat Injil.

Suami dan istri harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan yang muncul dalam kehidupan perkawinan; dan mengambil keputusan bersama melalui komunikasi yang jujur dan terbuka. Keduanya juga bertanggung jawab atas keberhasilan maupun kegagalan dalam perkawinan. Hal ini mencerminkan janji perkawinan: "Saya mencintai engkau dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit." Tidak ada satu pihak yang lebih berhak atau lebih bertanggung jawab dalam membangun relasi yang sehat dan berkelanjutan.

Kesetaraan dalam Hak

Suami dan istri memiliki hak yang sama untuk dihormati, didengar, dan diperlakukan secara adil dalam kehidupan keluarga. Kesetaraan dalam hak ini mencakup hak untuk mengungkapkan pendapat, mengambil keputusan bersama, dan menerima kasih sayang serta perhatian yang setara. Prinsip ini menekankan pentingnya saling menghormati dan mengasihi dalam hubungan suami istri (Bdk. 1Kor 7:3-4; Kol 3:19-20).

Gereja Katolik menekankan keluarga sebagai komunitas cinta kasih dan solidaritas. Keduanya dipanggil untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan hak-hak setiap anggota keluarga diakui dan dihormati (KGK 2203). Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio (1981) menekankan kesetaraan dalam hak antara suami dan istri.

Suami dan istri berhak mengungkapkan pendapat mereka dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan. Keputusan tersebut harus dibuat bersama dengan cara yang adil dan saling menghargai. Hak-hak dan kebutuhan kedua belah pihak harus diakui, tanpa ada yang lebih berhak daripada yang lainnya. Keduanya juga berhak menerima kasih sayang, perhatian, dan penghargaan dari pasangannya. Ini mencakup tindakan-tindakan kecil sehari-hari yang menunjukkan rasa cinta dan perhatian, serta pengakuan akan pentingnya kehadiran dan kontribusi masing-masing dalam kehidupan keluarga.

Kesetaraan dalam Pengambilan Keputusan 

Pengambilan keputusan merupakan aspek yang krusial dan harus didasarkan pada kesetaraan antara suami dan istri. Keputusan besar yang memengaruhi kehidupan keluarga harus diputuskan bersama dengan mengutamakan konsultasi, kesepakatan, bahkan doa bersama. Prinsip ini memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil mencerminkan kasih dan tanggung jawab bersama (Bdk. Yak 1:5; Ef 5:21; Rom 12:16).

Gereja Katolik menyatakan bahwa perkawinan yang didasarkan pada kasih setia dan kesetaraan memerlukan partisipasi aktif dari suami dan istri dalam pengambilan keputusan (KGK 1648). Paus Yohanes Paulus II dalam Mulieris Dignitatem (1988) menekankan kesetaraan dalam pengambilan keputusan, yang mencerminkan martabat dan panggilan mereka sebagai mitra yang setara dalam kasih Kristus.

Suami dan istri harus terlibat aktif dalam setiap keputusan yang memengaruhi kehidupan keluarga mereka. Keputusan besar, seperti pindah rumah, pendidikan anak, atau masalah keuangan, harus diputuskan bersama dengan mengutamakan konsultasi, dialog, dan kesepakatan. Keduanya harus mendengarkan dan menghargai pendapat satu sama lain, serta mempertimbangkan perasaan dan kebutuhan pasangan. Dalam konteks perkawinan Katolik, doa bersama juga menjadi aspek penting dalam mencari bimbingan Tuhan untuk membuat keputusan yang bijak dan penuh kasih.

Kesetaraan dalam perkawinan Katolik tidak boleh diabaikan, terutama di era modern ini. Dengan memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip kesetaraan dalam martabat, tanggung jawab, hak, dan pengambilan keputusan, suami istri dapat membangun kehidupan perkawinan yang harmonis dan penuh kasih. Perkawinan yang didasarkan pada kesetaraan tidak hanya memenuhi ajaran Gereja, tetapi juga mencerminkan kasih Kristus dalam kehidupan sehari-hari. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun