Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Suka membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Bukan Arena Gengsi: Membangun Pendidikan yang Memanusiakan

20 Juni 2024   06:13 Diperbarui: 20 Juni 2024   09:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Fenomena orang tua yang merasa gengsi dengan prestasi akademik anak sering kita temui. Banyak orang tua yang bangga jika anak mereka meraih peringkat pertama di kelas atau memenangkan berbagai lomba akademik. Prestasi tersebut dianggap sebagai ukuran keberhasilan pendidikan anak. Namun, tekanan untuk selalu menjadi yang terbaik sering memberikan beban psikologis yang berat pada anak, yang dapat memicu stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa kualitas pendidikan tidak hanya diukur dari nilai dan ranking. Pendidikan yang baik harus mampu mengembangkan seluruh potensi anak, segi akademik maupun non-akademik, yang meliputi pengembangan karakter, kreativitas, kemampuan sosial, emosional, dan spiritual. Artikel ini bertujuan meluruskan anggapan yang keliru bahwa prestasi akademik adalah satu-satunya ukuran kualitas pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang memanusiakan dapat mendukung perkembangan holistik anak dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan bermakna.

Dampak Negatif Gengsi Orang Tua

Tekanan berlebihan pada anak. Gengsi menyebabkan orang tua memberikan tekanan besar pada anak untuk meraih prestasi akademik tertinggi. Anak yang selalu berada di peringkat teratas merasa tertekan ketika nilainya menurun. Orang tua menekankan pentingnya nilai sempurna dan prestasi lebih tinggi, menyebabkan anak mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi ringan. Tuntutan ini mengganggu kenyamanan psikologis dan minat belajar anak, serta memicu masalah kesehatan mental.

Membatasi potensi anak. Fokus orang tua pada prestasi akademik membatasi potensi anak di bidang lain seperti seni, musik, atau olahraga. Anak berbakat dalam bermain gitar, misalnya, mungkin tidak mendapat dukungan karena orang tua lebih memprioritaskan nilai akademik. Pembatasan ini berdampak jangka panjang, menyebabkan anak merasa tidak puas dan tertekan memenuhi harapan orang tua, yang akhirnya memengaruhi kesejahteraan psikologis dan emosionalnya.

Menciptakan kompetisi yang tidak sehat. Gengsi orang tua menciptakan kompetisi tidak sehat antar-anak. Anak diajarkan bersaing demi peringkat tertinggi, bukan untuk belajar dan berkembang secara integratif. Anak yang selalu dibandingkan dengan teman-temannya bisa merasa iri, dendam, dan permusuhan. Efek negatif ini merusak hubungan sosial, membuat anak sulit membangun hubungan yang sehat dan mengurangi kepercayaan diri, karena merasa nilainya hanya diukur dari prestasi akademik.

Memahami Kualitas Pendidikan yang Sebenarnya


Lebih dari sekadar nilai. Kualitas pendidikan tidak hanya diukur dari hasil akademik. Menurut Ki Hadjar Dewantara (1922), pendidikan yang baik adalah yang memerdekakan manusia, mengembangkan seluruh potensi individu, dan membentuk manusia utuh: intelektual, emosional, dan spiritual. Thomas Lickona (1991) dalam Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, juga menekankan pentingnya pembentukan karakter seperti kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, dan empati, yang membantu anak menghadapi tantangan dan menjadi individu bertanggung jawab dan bermoral.

Proses belajar yang bermakna. Pembelajaran harus melibatkan pemahaman konsep dan aplikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari. John Dewey (1916), dalam Democracy and Education, menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi proses interaktif, sehingga siswa terlibat aktif dalam kegiatan yang relevan dengan kehidupannya. Metode pembelajaran aktif, kreatif, dan kritis sangat penting, termasuk pembelajaran berbasis proyek dan diskusi kelas yang mendorong pemikiran kritis. Menurut Howard Gardner (2006) dalam Multiple Intelligences: New Horizons, metode pembelajaran yang beragam dan berpusat pada siswa membantu mengakomodasi berbagai gaya belajar dan kecerdasan.

Pengembangan yang holistik. Pengembangan holistik mencakup fisik, sosial, emosional, dan spiritual. Menurut UNESCO (1996), pendidikan holistik berfokus pada empat pilar: (i) belajar untuk mengetahui, (ii) belajar untuk melakukan, (iii) belajar untuk hidup bersama, dan (iv) belajar untuk menjadi. Pilar ini menekankan keseimbangan antara pengetahuan akademik dan pengembangan keterampilan hidup serta karakter. Sekolah dan lingkungan harus menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif dan mendukung, bekerja sama dengan keluarga dan komunitas untuk mendukung pengembangan holistik siswa.

Peran Orang Tua Mendukung Pendidikan Anak

Mendukung minat dan bakat anak. Pengembangan potensi anak penting melalui pengenalan dan dukungan terhadap minat dan bakat mereka. Menurut Howard Gardner (1983), dalam Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, setiap anak memiliki kecerdasan dan bakat berbeda. Orang tua dapat menjadi fasilitator dan motivator dengan mengamati dan mendukung aktivitas yang menarik minat anak, menyediakan sumber daya, dan memberikan dorongan positif atas usaha dan kemajuan mereka. Anak yang berminat dalam seni dapat disediakan alat-alat menggambar dan melibatkannya dalam kelas seni. Orang tua perlu memberikan dorongan positif dan pujian atas usaha dan kemajuan anak, bukan hanya hasil akhirnya.

Menghargai usaha dan proses. Menghargai usaha lebih dari hasil akhir penting untuk membangun motivasi dan ketekunan anak. Carol Dweck (2006) dalam Mindset: The New Psychology of Success menyatakan bahwa pujian atas usaha, bukan hanya hasil, mendorong pola pikir tumbuh (growth mindset). Ini membantu anak melihat tantangan sebagai peluang untuk belajar dan bertumbuh, agar anak memahami bahwa usaha dan ketekunannya dihargai.

Menjalin komunikasi yang terbuka. Komunikasi efektif melibatkan mendengarkan penuh perhatian dan memberikan tanggapan yang mendukung. Adele Faber dan Elaine Mazlish (1980), dalam How to Talk So Kids Will Listen & Listen So Kids Will Talk, menekankan pentingnya mendengarkan aktif dan responsif untuk membantu anak merasa dihargai dan dimengerti. Orang tua harus menunjukkan empati dan memberikan nasihat yang konstruktif untuk membangun hubungan yang kuat dan mendukung, termasuk saat anak tidak berhasil atau menghadapi tantangan.

Bekerja sama dengan sekolah. Kerja sama antara orang tua dan sekolah penting untuk mendukung kesuksesan akademik dan sosial anak. Joyce Epstein (2019) dalam School, Family, and Community Partnerships menekankan pentingnya kolaborasi ini untuk menciptakan lingkungan belajar yang kohesif dan konsisten. Bentuk keterlibatan orang tua meliputi menghadiri pertemuan orang tua-guru, berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, menjadi sukarelawan, dan terlibat dalam komite sekolah.

Gengsi orang tua berdampak negatif, baik segi psikologis maupun perkembangan holistik anak. Hal ini dapat memicu stres, kecemasan, depresi; termasuk membatasi potensi anak di bidang lain, menciptakan kompetisi yang tidak sehat. Perlu disadari bahwa kualitas pendidikan, sejatinya tidak diukur dari nilai akademik semata, tetapi juga bagaimana pendidikan tersebut mampu mengembangkan potensi siswa secara holistik. Pengembangan karakter dan kepribadian, proses belajar yang bermakna, serta pengembangan fisik, sosial, emosional, dan spiritual adalah aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam pendidikan. Peran orang tua adalah mendukung pendidikan anak dengan mengenali dan memperhatikan minat atau bakatnya, menghargai usaha dan proses belajar, menjalin komunikasi terbuka, dan bekerja sama dengan sekolah. Dengan demikian, pendidikan yang memanusiakan mencerminkan seluruh aspek perkembangan anak: segi akademik, karakter, dan emosional. Hal ini membantu anak bertumbuh menjadi individu yang seimbang, bahagia, dan mampu menghadapi tantangan. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun