Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengungkap Kegelisahan dan Refleksi Kritis terhadap Bahaya Kehausan Berkuasa

3 Juni 2024   06:58 Diperbarui: 3 Juni 2024   06:58 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada kabar bahwa individu yang baru saja menang dalam Pileg akan mencalonkan diri sebagai bupati dalam Pilkada. Ini mungkin terjadi karena berbagai alasan, namun secara etis, sikap ini mencerminkan kerakusan atau kehausan berkuasa. Orang tersebut tidak puas, tidak bersyukur atas apa yang sudah diraihnya, serta tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk melayani masyarakat.

Kehausan berkuasa sering merusak tatanan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Obsesi terhadap kekuasaan tidak hanya merugikan sistem politik, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial. Artikel ini berusaha mengungkap dampak negatif kehausan berkuasa, mendorong refleksi kritis, menumbuhkan kegelisahan positif, menawarkan tips bagi yang berambisi memegang kekuasaan. Kesadaran akan bahaya ini membantu mencegahnya dan membangun sistem politik yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan umum.

Dampak Negatif Kerakusan Berkuasa

Pemimpin yang haus kekuasaan sering mengabaikan prinsip dasar demokrasi seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Ia cenderung memperkuat kekuasaan pribadi, misalnya dengan memanipulasi pemilihan, mengurangi kebebasan pers, dan membatasi oposisi politik, yang merusak fondasi demokrasi yang sehat.

Pemimpin seperti ini sering menyalahgunakan otoritas, mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengubah konstitusi, memberangus oposisi, dan menggunakan aparat keamanan untuk menindas. Ini menciptakan lingkungan yang tidak demokratis, suara rakyat tidak berdaya secara signifikan terhadap kebijakan pemerintah.

Kepercayaan publik menurun ketika sistem politik hanya melayani elite yang berkuasa. Ini mengakibatkan apati politik dan menurunnya partisipasi dalam proses demokrasi. Korupsi juga meningkat ketika pemimpin menggelapkan dana publik untuk keuntungan pribadi, bukan pembangunan masyarakat.

Ketidakadilan sosial meningkat karena kebijakan diskriminatif yang memperkuat kekuasaan. Misalnya, rezim apartheid di Afrika Selatan mempertahankan dominasi minoritas kulit putih atas mayoritas kulit hitam. Kehausan berkuasa menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik, seperti peristiwa di Venezuela di bawah Hugo Chvez dan Nicols Maduro, yang menyebabkan krisis ekonomi dan migrasi massal.

Robert Mugabe memerintah Zimbabwe selama 37 tahun dengan tangan besi, menindas oposisi dan memanipulasi pemilu. Di Indonesia, Orde Baru di bawah Suharto memerintah selama 32 tahun dengan korupsi yang merajalela dan pembatasan kebebasan politik, menyebabkan krisis ekonomi dan politik. Ahli studi demokrasi Larry Diamond (2008), dalam The Spirit of Democracy, menekankan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi dapat merusak karakter pemimpin dan sistem politik.

Mendorong Refleksi Kritis

Kita perlu mempertanyakan motivasi individu yang memegang banyak jabatan politik. Apakah mereka ingin melayani masyarakat atau mencari keuntungan pribadi dan kekuasaan? Dalam demokrasi yang sehat, pemimpin harus memiliki panggilan untuk melayani, bukan sekadar ambisi pribadi.

Ambisi berlebihan sering terlihat dari tindakan yang tidak etis, seperti memperpanjang masa jabatan atau mengakumulasi kekuasaan. Kita harus kritis terhadap politisi yang memanipulasi proses demokrasi demi kepentingan pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun