Seorang suami rela meninggalkan istri dan anaknya karena tekanan ekonomi. Ia merantau ke tanah orang demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Saatnya tiba, sang suami pun pulang ke kampung halamannya. Tetapi, ia sangat terkejut setelah mengetahui istrinya 'main serong' dengan lelaki lain, bahkan telah melahirkan seorang anak. Dalam kehancuran hatinya, ia bersih keras berpisah. Berbagai jalan telah diupayakan, termasuk berdiskusi dengan Pastor Paroki, namun hasilnya nihil. Suatu waktu Pastor mendapatkan ide dan berkata, "Apakah kamu bersih selama empat tahun di perantauan? Beruntung kamu laki-laki, sehingga apa yang mungkin kamu lakukan di sana tidak dapat dibuktikan." Setelah menangkap kata-kata itu, sang suami pun berbalik, memeluk istrinya, dan menerimanya kembali.
Kisah tersebut menunjukkan, praktik memaafkan atau mengampuni itu sulit. Ketidakmampuan memaafkan, yang disebabkan keegoisan masing-masing pihak, menyebabkan konflik berkepanjangan, yang berujung pada ketidakharmonisan, bahkan perpisahan. Kasus perpisahan (melalui pengadilan sipil) pasangan Katolik terjadi, karena ketidakmampuan memberikan dan menerima pengampunan.
Dalam konteks Katolik, fondasi yang kokoh untuk memperkuat ikatan perkawinan adalah pengampunan. Pengampunan bukan sekadar tindakan manusiawi memaafkan kesalahan orang lain, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengubah hati dan merestorasi hubungan dengan kasih, serta memperkokoh hubungan dengan Tuhan dan sesama.
Artikel ini berusaha menelusuri bagaimana pengampunan dapat menjadi fondasi kebahagiaan dalam perkawinan Katolik, mengapa hal itu penting untuk memperbaiki hubungan, dan bagaimana praktik pengampunan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
Pengertian Pengampunan dalam Agama Katolik
Pengampunan adalah suatu tindakan moral dan spiritual yang melibatkan pemberian maaf kepada orang lain. Dalam ajaran Katolik, pengampunan merupakan bagian integral kehidupan iman sebagai panggilan untuk meniru kasih dan pengampunan yang tak terbatas dari Tuhan. Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK 2843), "pengampunan adalah tindakan kemurahan hati dari pihak yang dirugikan yang mengampuni kesalahan, menyembuhkan luka-luka, dan menghapus permusuhan."
Dalam konteks Katolik, pengampunan berbeda dengan pembenaran. Pembenaran adalah proses ketika seseorang dinyatakan bebas dari dosa dan didekatkan dengan Tuhan melalui kasih karunia-Nya. Pengampunan adalah tindakan pemberian maaf yang diberikan oleh manusia kepada manusia lainnya. Menurut Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Dives in Misericordia (1980), "pengampunan adalah ungkapan kasih yang paling konkret, ketika orang memberikan dan menerima maaf, menyingkirkan permusuhan, dan memulihkan cinta."
Yesus Kristus sendiri mengajarkan pentingnya pengampunan. "Jikalau kamu mengampuni kesalahan orang lain, Bapamu yang di sorga juga akan mengampuni kamu. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Mat 6: 14-15).
Praktiknya, pengampunan dalam ajaran Katolik dimediasi melalui Sakramen Pengakuan atau Rekonsiliasi. Pasangan Katolik diundang untuk secara teratur mengaku dosa, meminta maaf, dan menerima pengampunan dari Tuhan melalui sakramen tersebut.
Pentingnya Pengampunan dalam Perkawinan Katolik
Pengampunan dilandasi ajaran Yesus yang menekankan pemberian maaf (bdk. Mat 6: 14-15). Hal yang senada diajarkan oleh Gereja (KGK 2843). Menurut Paus Fransiskus dalam ensiklik Misericordiae Vultus (2015), "kehidupan kita akan lebih harmonis dan damai jika kita mampu memaafkan dan menerima pengampunan."
Ketidakmampuan mengampuni berdampak merusak. Ketika pasangan tidak mau saling memaafkan kesalahan, bisa menimbulkan kebencian, dendam, dan ketegangan yang memicu konflik yang lebih besar.
Pengampunan memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan perkawinan. Ketika pasangan mampu memaafkan satu sama lain, mereka membangun hubungan yang lebih kuat, saling percaya, dan saling menghargai.
Pengampunan memungkinkan pasangan melewati konflik dengan kedewasaan dan kebijaksanaan, sehingga membuka jalan bagi rekonsiliasi dan pertumbuhan bersama. Menurut Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Familiaris Consortio (1981), "pengampunan adalah pilar utama dalam membangun dan memperkuat ikatan perkawinan." Kitab Suci mengajarkan, "...hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu" (Ef 4: 32).
Hambatan dalam Proses Pengampunan
Pertama, kesulitan menerima kesalahan dan memaafkan. Kesalahan yang dilakukan oleh pasangan terasa sangat menyakitkan atau menghina, sehingga sulit bagi seseorang untuk melupakannya.
Kedua, peran ego dalam proses pengampunan. Seseorang merasa bahwa memberikan maaf adalah tanda kelemahan atau kekalahan. Ia lebih memilih untuk mempertahankan sikapnya daripada memaafkan. Namun, dalam konteks perkawinan Katolik, Paus Fransiskus dalam ensiklik Amoris Laetitia (2016) mengajarkan bahwa pengampunan bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kekuatan yang besar.
Ketiga, ketidakmampuan mengampuni. Ketika pasangan tidak mau memaafkan satu sama lain, hubungan mereka menjadi tegang dan terancam. Hal ini menimbulkan rasa dendam, ketidakpercayaan, dan perasaan terisolasi, yang dapat merusak ikatan perkawinan. Menurut Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Familiaris Consortio (1981), "pengampunan adalah kunci untuk memperbaiki dan memperkuat ikatan perkawinan." Kitab Suci mengingatkan, "Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, ..." (Kol 3:13).
Langkah-langkah Praktis Memperoleh Pengampunan
Pertama, refleksi yang jujur dan siap mengubah diri. Dalam pengampunan dibutuhkan kesediaan untuk melihat situasi dari perspektif yang berbeda dan meresponsnya dengan belas kasihan. Hal ini berarti, mengakui dan memahami dampak kesalahan yang telah dilakukan, dan bersedia melakukan perubahan positif.
Kedua, berbicara terbuka dengan pasangan. Komunikasi terbuka dan jujur adalah kunci dalam proses pengampunan. Pasangan perlu berbagi perasaan, menyampaikan ketidaknyamanan atau sakit hati yang dirasakan, dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ketiga, mengusahakan bantuan pihak lain. Proses pengampunan memerlukan bantuan dari ahli perkawinan atau penasihat spiritual. Mereka dapat memberikan wawasan yang objektif dan bimbingan spiritual yang diperlukan agar pasangan dapat melewati konflik dan kesulitan mengampuni. Paus Fransiskus dalam ensiklik Amoris Laetitia (2016) menekankan pentingnya dukungan dan bimbingan dalam mengatasi masalah perkawinan. Kitab Suci mengajarkan, "Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh ... " (Yak 5:16).
Paparan di atas memperlihatkan, pengampunan bukan sekadar tindakan memberi maaf, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang melibatkan refleksi diri, komunikasi terbuka, dan kesediaan untuk berubah. Dalam konteks perkawinan Katolik, pengampunan menjadi kunci untuk membangun hubungan yang harmonis, penuh kasih, dan berkelanjutan. Perlu diingat bahwa tidak ada yang sempurna. Setiap hubungan memiliki tantangan dan konflik yang harus dihadapi. Pengampunan adalah kunci untuk melampaui konflik dan kesalahan, serta memperkuat ikatan suami dan istri. Di sini, diperlukan keberanian pasangan untuk menerapkan konsep pengampunan, terutama dalam konteks perkawinan Katolik, serta menerima Sakramen Tobat secara teratur. Dengan memberikan maaf dan menerima pengampunan, pasangan dapat membangun fondasi yang kokoh untuk kebahagiaan dan keberlangsungan perkawinan mereka. Melalui pengampunan, pasangan dapat merasakan kedamaian, keselarasan, dan cinta sejati yang berasal dari Tuhan sendiri. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H