Teknologi komunikasi yang terwujud melalui tiga monitor utama (televisi, komputer, dan smartphone) telah membawa dampak dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Melalui televisi, individu dapat mengakses berita internasional, acara, dan film dari seluruh dunia. Komputer dan smartphone memungkinkan individu terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia melalui media sosial, email, dan aplikasi pesan instan.
Akan tetapi, timbul kekhawatiran bahwa kehadirannya dapat mengaburkan, bahkan menggantikan interaksi manusia secara langsung. Kekhawatiran itu menunjukkan bahwa teknologi dapat merusak kualitas hubungan personal, termasuk kehilangan kedalaman dan keintiman berkomunikasi. Apalagi pengembangan kecerdasan artifisial (AI), tidak hanya menjadi peluang, tetapi juga dapat menimbulkan bahaya, sebagaimana dikemukakan Paus Fransiskus (2024) dalam pesannya "Kecerdasan Artifisial dan Kebijaksanaan Hati: Menuju Komunikasi yang Sungguh Manusiawi" pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-58.
Artikel ini mencoba mengupas upaya mengintegrasikan teknologi komunikasi secara bijak dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita dapat memanfaatkannya tanpa mengorbankan interaksi manusiawi sesungguhnya.
Pentingnya Interaksi Sesungguhnya
Tak dapat disangkal bahwa teknologi komunikasi (televisi, komputer, dan smartphone) memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Misalnya, memfasilitasi komunikasi jarak jauh; berbagi informasi secara cepat dan efisien; kemudahan dalam berkoordinasi dan berkolaborasi.
Namun, persoalannya, bahwa dalam komunikasi teknologi sering diabaikan interaksi sesungguhnya. Mengapa interaksi manusia sesungguhnya tetap penting dan harus dipertahankan?
Pertama, mengembangkan keterampilan sosial dan empati. Melalui pertemuan tatap muka, individu dapat belajar membaca ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahasa tubuh, yang merupakan elemen penting dalam memahami perasaan dan niat orang lain. Turkle (2017) dalam Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age menjelaskan bahwa interaksi manusia secara langsung membantu mengasah keterampilan sosial dan empati, yang tidak sama dengan interaksi melalui monitor.
Kedua, membangun hubungan yang lebih erat dan bermakna. Dengan kontak mata, sentuhan, dan kehadiran fisik, orang dapat merasakan keintiman dan koneksi yang sulit dicapai melalui komunikasi digital. Menurut Brown (2015) dalam Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead, hubungan yang sejati terbentuk melalui pertemuan wajah ke wajah, sehingga merasakan kehadiran dan kedalaman emosi satu sama lain.
Ketiga, menangkap isyarat non-verbal dan memperkaya komunikasi. Ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan kontak mata dapat memberikan informasi tambahan yang penting dalam memahami pesan yang disampaikan. Menurut Mehrabian (1971) dalam Silent Messages: Implicit Communication of Emotions and Attitudes, lebih dari 90% komunikasi manusia adalah non-verbal, dan hanya dapat ditangkap sepenuhnya melalui interaksi langsung.
Dampak Mengorbankan Interaksi Sesungguhnya
Pertama, keterampilan komunikasi interpersonal yang terdegradasi. Ketika individu lebih sering bergantung pada teknologi komunikasi, ia mungkin kehilangan kemampuan membaca isyarat non-verbal, mengatur nada suara, dan menanggapi dengan cepat dalam situasi sosial. Holt-Lunstad (2020) dalam The Power of Human Connection, menjelaskan, ketergantungan pada teknologi komunikasi dapat mengurangi kemampuan berkomunikasi secara efektif dalam situasi tatap muka, yang merupakan keterampilan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, potensi isolasi sosial dan kesepian. Meskipun teknologi komunikasi memungkinkan kita untuk terhubung dengan orang lain secara virtual, hubungan yang dibangun melalui monitor tidak selalu mampu menggantikan kehadiran fisik dan interaksi tatap muka. Menurut Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015), isolasi sosial dan kesepian telah menjadi masalah yang semakin mendalam dalam masyarakat modern, sebagian besar disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan dari teknologi yang memisahkan kita dari pengalaman langsung.
Ketiga, kehilangan kedalaman dan kualitas relasi. Interaksi melalui monitor cenderung menjadi lebih dangkal dan kurang bermakna dibandingkan dengan pertemuan tatap muka. Menurut Turkle (2011) dalam Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other, ketika kita terlalu bergantung pada teknologi untuk berkomunikasi, kita mungkin kehilangan kedalaman hubungan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi sesungguhnya.
Strategi Menyeimbangkan Teknologi dan Interaksi Sesungguhnya
Pertama, membatasi waktu penggunaan teknologi komunikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan waktu khusus untuk menggunakan gadget atau aplikasi, serta menghindari penggunaan yang berlebihan di luar jam tersebut. Newport (2019) dalam Digital Minimalism, menekankan pentingnya mengontrol konsumsi teknologi dengan cara yang lebih sadar.
Kedua, memprioritaskan pertemuan tatap muka, terutama untuk hal-hal yang membutuhkan kedalaman hubungan dan pemahaman yang lebih baik. Paus Fransiskus (2015) mengingatkan kita untuk membangun hubungan yang bersifat pribadi dan mendalam dengan orang lain, yang membutuhkan kehadiran fisik dan interaksi langsung. Beliau (2024) juga mengingatkan bahwa 'kita semua dipanggil untuk tumbuh bersama, dalam kemanusiaan dan sebagai manusia.'
Ketiga, menggunakan teknologi komunikasi sebagai pelengkap, bukan pengganti dalam interaksi sesungguhnya. Hal ini berarti menyadari batasan teknologi dalam menyampaikan kedalaman emosi dan interaksi yang nyata, serta tidak mengabaikan nilai pentingnya pertemuan tatap muka. Menurut Turkle (2017), teknologi seharusnya tidak menggantikan keintiman sejati, yang hanya dapat dicapai melalui interaksi langsung.
Ketiga, menanamkan kesadaran akan pentingnya interaksi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan melalui edukasi, pengajaran, dan praktik kesadaran diri yang mengakui nilai interaksi sesungguhnya. Menurut Dalai Lama (2016) dalam The Book of Joy: Lasting Happiness in a Changing World, hubungan manusia yang paling penting adalah yang bersifat pribadi, yang memerlukan waktu dan perhatian yang nyata.
Peran Berbagai Pihak
Pertama, menerapkan disiplin diri dalam penggunaan teknologi. Hal ini meliputi kesadaran akan batas waktu yang dihabiskan untuk aktivitas digital, serta kemampuan mengatur prioritas antara interaksi melalui monitor dan interaksi langsung. Menurut Newport (2019), menerapkan disiplin diri dalam penggunaan teknologi adalah kunci untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan online dan offline.
Kedua, keluarga dan komunitas memainkan peran penting dalam mempromosikan interaksi langsung. Melalui acara keluarga, pertemuan komunitas, atau kegiatan sosial lainnya, seseorang terdorong untuk bertemu secara langsung dan berinteraksi satu sama lain. Paus Fransiskus (2015) menyerukan untuk membangun komunitas yang berbasis pertemuan langsung, yang memperkaya pengalaman sehari-hari.
Ketiga, institusi pendidikan memiliki peran penting dalam mengajarkan keterampilan komunikasi interpersonal kepada generasi muda. Hal ini termasuk mengembangkan kemampuan berbicara di depan umum, mendengarkan dengan empati, dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif dalam situasi tatap muka. Hal ini ditekankan Tannen (2001) dalam You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation agar siswa memahami kepentingan dan nilai interaksi langsung dalam berkomunikasi.
Keempat, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang seimbang antara komunikasi virtual dan tatap muka. Ada waktu untuk pertemuan langsung, kolaborasi langsung, dan pengembangan hubungan interpersonal di samping komunikasi digital. Dalam Remote: Office Not Required, Fried & Hansson (2013) menekankan pentingnya menemukan keseimbangan yang tepat antara kerja jarak jauh dan kerja di kantor untuk memastikan kualitas komunikasi yang optimal.
Meskipun teknologi memberikan kemudahan dalam berkomunikasi, kita tidak boleh mengabaikan nilai penting dari pertemuan tatap muka dan hubungan yang nyata. Di sini diperlukan keseimbangan antara kemudahan teknologi dan kehangatan interaksi manusiawi sesungguhnya. Setiap orang perlu memanfaatkan teknologi secara bijak, dengan membatasi penggunaan dan memprioritaskan interaksi langsung. Dengan mempertahankan kesadaran akan pentingnya interaksi manusiawi, kita dapat memastikan bahwa teknologi komunikasi tidak menggantikan, tetapi mendukung keintiman dan hubungan yang bermakna. Selain itu, perlu menghargai kehangatan interaksi manusia dalam dunia yang semakin terhubung secara digital. Dengan demikian, kita dapat menjaga kualitas hubungan interpersonal dan kehidupan sosial yang memuaskan, sambil tetap memanfaatkan kemajuan teknologi untuk kebaikan bersama. Hal ini sejalan dengan pesan Paus Fransiskus (2024) untuk 'mencari kebijaksanaan yang ada sebelum segala sesuatu, yang akan membantu kita dalam penggunaan sistem-sistem kecerdasan artifisial demi terwujudnya komunikasi yang sungguh manusiawi.' (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H