Kedua, potensi isolasi sosial dan kesepian. Meskipun teknologi komunikasi memungkinkan kita untuk terhubung dengan orang lain secara virtual, hubungan yang dibangun melalui monitor tidak selalu mampu menggantikan kehadiran fisik dan interaksi tatap muka. Menurut Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015), isolasi sosial dan kesepian telah menjadi masalah yang semakin mendalam dalam masyarakat modern, sebagian besar disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan dari teknologi yang memisahkan kita dari pengalaman langsung.
Ketiga, kehilangan kedalaman dan kualitas relasi. Interaksi melalui monitor cenderung menjadi lebih dangkal dan kurang bermakna dibandingkan dengan pertemuan tatap muka. Menurut Turkle (2011) dalam Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other, ketika kita terlalu bergantung pada teknologi untuk berkomunikasi, kita mungkin kehilangan kedalaman hubungan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi sesungguhnya.
Strategi Menyeimbangkan Teknologi dan Interaksi Sesungguhnya
Pertama, membatasi waktu penggunaan teknologi komunikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan waktu khusus untuk menggunakan gadget atau aplikasi, serta menghindari penggunaan yang berlebihan di luar jam tersebut. Newport (2019) dalam Digital Minimalism, menekankan pentingnya mengontrol konsumsi teknologi dengan cara yang lebih sadar.
Kedua, memprioritaskan pertemuan tatap muka, terutama untuk hal-hal yang membutuhkan kedalaman hubungan dan pemahaman yang lebih baik. Paus Fransiskus (2015) mengingatkan kita untuk membangun hubungan yang bersifat pribadi dan mendalam dengan orang lain, yang membutuhkan kehadiran fisik dan interaksi langsung. Beliau (2024) juga mengingatkan bahwa 'kita semua dipanggil untuk tumbuh bersama, dalam kemanusiaan dan sebagai manusia.'
Ketiga, menggunakan teknologi komunikasi sebagai pelengkap, bukan pengganti dalam interaksi sesungguhnya. Hal ini berarti menyadari batasan teknologi dalam menyampaikan kedalaman emosi dan interaksi yang nyata, serta tidak mengabaikan nilai pentingnya pertemuan tatap muka. Menurut Turkle (2017), teknologi seharusnya tidak menggantikan keintiman sejati, yang hanya dapat dicapai melalui interaksi langsung.
Ketiga, menanamkan kesadaran akan pentingnya interaksi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan melalui edukasi, pengajaran, dan praktik kesadaran diri yang mengakui nilai interaksi sesungguhnya. Menurut Dalai Lama (2016) dalam The Book of Joy: Lasting Happiness in a Changing World, hubungan manusia yang paling penting adalah yang bersifat pribadi, yang memerlukan waktu dan perhatian yang nyata.
Peran Berbagai Pihak
Pertama, menerapkan disiplin diri dalam penggunaan teknologi. Hal ini meliputi kesadaran akan batas waktu yang dihabiskan untuk aktivitas digital, serta kemampuan mengatur prioritas antara interaksi melalui monitor dan interaksi langsung. Menurut Newport (2019), menerapkan disiplin diri dalam penggunaan teknologi adalah kunci untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan online dan offline.
Kedua, keluarga dan komunitas memainkan peran penting dalam mempromosikan interaksi langsung. Melalui acara keluarga, pertemuan komunitas, atau kegiatan sosial lainnya, seseorang terdorong untuk bertemu secara langsung dan berinteraksi satu sama lain. Paus Fransiskus (2015) menyerukan untuk membangun komunitas yang berbasis pertemuan langsung, yang memperkaya pengalaman sehari-hari.
Ketiga, institusi pendidikan memiliki peran penting dalam mengajarkan keterampilan komunikasi interpersonal kepada generasi muda. Hal ini termasuk mengembangkan kemampuan berbicara di depan umum, mendengarkan dengan empati, dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif dalam situasi tatap muka. Hal ini ditekankan Tannen (2001) dalam You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation agar siswa memahami kepentingan dan nilai interaksi langsung dalam berkomunikasi.