Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Labeling, Salah Satu Bentuk Solidaritas dan Keakraban

11 Mei 2024   08:12 Diperbarui: 11 Mei 2024   08:13 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena labeling merujuk pada proses ketika individu atau kelompok diberi label, julukan, atau penanda tertentu oleh masyarakat, baik secara positif maupun negatif. Labeling dapat memengaruhi cara individu atau kelompok tersebut dipandang dan berinteraksi dalam masyarakat.

Dalam konteks sosial, pelabelan itu bisa bersifat positif, bergantung pada situasi masyarakatnya. Hal ini dapat menciptakan solidaritas dan keakraban. Solidaritas merujuk pada ikatan atau hubungan yang kuat antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Mereka saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Keakraban mengacu pada tingkat kedekatan atau hubungan yang erat antara individu atau kelompok, sering dibangun melalui interaksi sosial yang berulang dan pengalaman bersama.

Solidaritas dan keakraban memainkan peran penting dalam memelihara hubungan yang harmonis dan memperkuat komunitas. Artikel ini berusaha mendeskripsikan konsep labeling, dampak positif dan negatif, solidaritas dan keakraban yang tercipta melalui proses labeling positif.

Konsep Labeling

Telah dikemukakan bahwa labeling adalah proses seorang individu atau kelompok diberi label, penanda, atau julukan tertentu oleh masyarakat, baik secara positif maupun negatif. Labeling memengaruhi persepsi dan interaksi individu atau kelompok tersebut dalam konteks sosial.

Labeling positif, misalnya, ketika seseorang dianggap sebagai 'pemimpin alami' dalam kelompoknya karena kemampuannya menginspirasi dan memimpin. Dalam Outsider: Studies in the Sociology of Deviance, Becker (1963) menyatakan bahwa orang-orang yang mendapat label yang sama cenderung berinteraksi satu sama lain dan membentuk identitas sosial bersama berdasarkan label tersebut.

Menurut Goffman (1963) dalam Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity, penggunaan julukan antar-individu dalam komunitas tertentu bisa bersifat santai dan kekerabatan, tanpa tendensi negatif seperti pada labeling ranah publik.

Ranjabar (2015) dalam Sosiologi Pembangunan mengatakan, di beberapa komunitas, pemberian julukan dengan bumbu humor bisa menjadi bentuk solidaritas dan keakraban tersendiri bagi anggota-anggotanya.

Menurut Spradley (1979) dalam The Ethnographic Interview, julukan di lingkungan terdekat bisa bersifat cair dan jenaka, sebagai salah satu cara beradaptasi dalam pergaulan akrab sebuah komunitas.

Berdasarkan pengertian di atas, dalam konteks guyonan atau basi-basi internal komunitas yang sudah saling mengenal dengan baik, penggunaan julukan negatif dianggap lebih santai dan tidak bermaksud menghakimi. Yang penting disadari bahwa hal itu hanyalah guyonan, bukan pelabelan serius. Namun, harus tetap berhati-hati agar pelabalen itu tidak dianggap menyinggung atau merendahkan martabat orang lain.

Labeling negatif, misalnya stigmatisasi terhadap individu yang dikategorikan sebagai 'penjahat' atau 'pengangguran kronis'. Hal ini dapat memicu pembentukan stereotip dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok tersebut dalam masyarakat.

Menurut Becker (1963), pemberian cap atau label negatif semestinya dihindari, sebab tidak hanya menyakiti yang bersangkutan, tetapi juga mematikan potensi-potensi baik yang mungkin masih ada pada diri seseorang. Sementara,  Goffman (1963) menyatakan, labeling cenderung memermanenkan dan melegitimasi status 'sampah masyarakat' bagi sekelompok orang, tanpa memberi mereka kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik.

Dampak Positif dan Negatif 

Labeling dapat memberikan pengakuan identitas bagi individu atau kelompok dalam masyarakat. Ketika seseorang atau kelompok diberi label yang positif, seperti 'pemimpin alami' atau 'aktivis sosial', hal ini dapat meningkatkan kepercayaan diri dan memperkuat identitas sosial.

Selain itu, proses labeling juga dapat memicu pembentukan solidaritas di antara individu atau kelompok yang memiliki label yang sama. Becker (1963) menyatakan bahwa individu yang diberi label yang sama cenderung saling berinteraksi dan membentuk identitas sosial bersama berdasarkan label tersebut.

Dampak negatif labeling yaitu menimbulkan stigmatisasi dan stereotip. Ketika individu atau kelompok diberi label yang negatif, seperti 'penjahat' atau 'pengangguran kronis', hal ini dapat menyebabkan mereka diperlakukan secara tidak adil dalam masyarakat dan mengalami diskriminasi. Goffman (1963) menjelaskan bahwa stigmatisasi dapat memengaruhi cara individu melihat diri mereka sendiri dan berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat

Selain itu, proses labeling juga dapat memicu pembentukan stereotip. Hal ini dapat individu atau kelompok dianggap memiliki karakteristik yang sama berdasarkan label yang diberikan kepada mereka.

Solidaritas dan Keakraban

Solidaritas merujuk pada ikatan atau hubungan yang kuat antara individu atau kelompok dalam masyarakat, sehingga mereka saling mendukung dan bekerja sama untuk tujuan bersama. Menurut Durkheim (1893), solidaritas dibedakan atas dua jenis, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik membuat individu terikat oleh kesamaan nilai dan norma dalam masyarakat tradisional. Solidaritas organik membuat individu terikat oleh saling ketergantungan ekonomi dan spesialisasi dalam masyarakat modern.

Keakraban mengacu pada tingkat kedekatan atau hubungan yang erat antara individu atau kelompok. Hal ini dibangun melalui interaksi sosial yang berulang dan pengalaman bersama. Keakraban melibatkan rasa saling percaya, pengertian, dan dukungan antara individu atau kelompok. Menurut Simmel (1908) dalam artikel The Web of Group-Affiliations, keakraban sering muncul melalui pertukaran emosi dan pengalaman yang intim antara individu.

Proses labeling dapat menciptakan solidaritas di antara individu atau kelompok yang memiliki label yang sama. Misalnya, dalam gerakan hak-hak sipil, individu yang diberi label sebagai 'minoritas' atau 'pemberontak' sering merasa saling terhubung dan membentuk solidaritas untuk melawan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Becker (1963) menjelaskan bahwa individu yang diberi label yang sama cenderung saling berinteraksi dan membentuk identitas sosial bersama berdasarkan label tersebut.

Keakraban sering terbentuk melalui pengalaman bersama dan saling memahami antara individu atau kelompok. Ketika individu atau kelompok merasakan pengalaman yang sama, dalam bentuk kesulitan, perjuangan, atau keberhasilan, hal ini dapat memperkuat ikatan emosional dan keakraban antara mereka. Simmel (1908) menyatakan bahwa keakraban sering muncul melalui pertukaran emosi dan pengalaman yang intim antara individu.

Labeling, baik positif maupun negatif, dapat memicu reaksi sosial yang kompleks. Labeling positif dapat menguatkan identitas sosial dan memperkuat solidaritas di antara individu atau kelompok yang memiliki label yang sama. Sementara labeling negatif menyebabkan stigmatisasi dan memengaruhi interaksi sosial secara negatif. Namun, solidaritas dan keakraban juga dapat terbentuk melalui pengalaman bersama dan saling memahami, sehingga individu atau kelompok saling mendukung dan membangun hubungan yang erat.

Penting bagi siapa saja untuk memahami peran labeling dalam memengaruhi interaksi sosial dan memelihara hubungan yang lebih sehat dalam masyarakat. Dengan menyadari dampak label yang diberikan kepada individu atau kelompok, seseorang dapat lebih berhati-hati dalam memperlakukan orang lain, dan menghindari stereotip yang tidak adil. Selain itu, perlu dipromosikan inklusivitas dan empati dalam interaksi sosial untuk memperkuat solidaritas dan keakraban dalam masyarakat. Dengan demikian, terciptalah lingkungan yang lebih ramah dan mendukung bagi semua individu, tanpa memandang label yang mereka miliki. Solidaritas dan keakraban dapat membangun masyarakat yang lebih toleran, inklusif, dan harmonis bagi semua individu. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun