Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mencermati Jejak Spiritual dan Sosial di Balik Penantian Ikrar Suci

6 Mei 2024   05:04 Diperbarui: 6 Mei 2024   07:27 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang ibu bercerita tentang kehidupan keluarganya yang selama ini tidak bahagia. Sudah 18 tahun mereka hidup serumah, mempunyai empat orang anak, namun belum mengurus perkawinan secara Katolik. Alasannya, belum menyelesaikan adat istiadat yang menjadi tuntutan keluarga, dan tidak punya biaya cukup untuk pesta pernikahan.

Cerita di atas merupakan salah satu fenomena yang tidak asing di kalangan masyarakat kita. Tentu, masih ada banyak peristiwa lain yang senada. Banyak pasangan "terpaksa" menunda upacara pernikahan, terutama karena tuntutan adat istiadat dan biaya pesta pernikahan. Salah satu pihak belum memenuhi pembayaran mahar atau belis. Selain itu, pasangan tidak mampu menyelenggarakan pesta pernikahan yang layak.

Di satu pihak, dua alasan yang menyebabkan penundaan upacara pernikahan dapat dipahami. Tetapi di lain pihak, penundaan itu membawa konsekuensi bagi pasangan sendiri serta anak-(anak) mereka, khususnya dampak dalam konteks keagamaan dan sosial. Artikel ini berusaha mendeskripsikan tuntutan adat istiadat, konsekuensi atau dampak penundaan upacara pernikahan, dan solusinya bagi pasangan yang akan mengurus perkawinannya.

Tuntutan Adat Istiadat 

Pada dasarnya adat istiadat perkawinan itu baik. Permasalahannya terletak pada pelaksanaannya. Misalnya, pembayaran belis sering menjadi halangan bagi pasangan yang hendak menikah secara agama. Praktik pembayaran belis sebagai persyaratan untuk pernikahan adalah bagian dari tradisi dan budaya di berbagai masyarakat. Bagi masyarakat patrilineal, belis merupakan suatu bentuk pembayaran atau kompensasi yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai bagian dari proses perkawinan.

 Praktik dan waktu pembayaran belis dapat bervariasi secara signifikan antara budaya dan komunitas. Dalam beberapa masyarakat, pembayaran belis dilakukan sebelum atau selama upacara pernikahan. Tetapi, pada masyarakat lain, terutama di beberapa bagian Asia dan Afrika, pembayaran belis dapat ditunda setelah upacara pernikahan atau bahkan bertahun-tahun sesudahnya.

Ada beberapa alasan mengapa pembayaran belis bisa ditunda, bahkan setelah upacara pernikahan.

Pertama, ada keluarga yang tidak mampu membayar belis secara langsung sebelum upacara pernikahan karena keterbatasan finansial. Jadi, pembayaran belis dapat ditunda sampai kemampuan finansial keluarga memungkinkan.

Kedua, dalam beberapa kasus, pembayaran belis menjadi bagian dari perjanjian antara keluarga calon pengantin. Tetapi, pembayarannya dapat ditunda setelah upacara pernikahan.

Ketiga, menunda pembayaran belis setelah upacara pernikahan dapat membantu memelihara stabilitas pernikahan. Pasangan lebih fokus membangun rumah tangga dan menyesuaikan diri dengan peran baru mereka sebelum menangani aspek keuangan. Selain itu, penundaan tersebut mempermudah administrasi dan logistik upacara pernikahan, terutama jika ada persyaratan hukum atau prosedur khusus yang harus diikuti.

Dampak Keagamaan dan Sosial

Menunda upacara pernikahan sebagai prasyarat untuk memasuki kehidupan rumah tangga memiliki beberapa konsekuensi, terutama dalam konteks keagamaan dan sosial. Berikut, beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi.

Pertama, dalam beberapa agama, pernikahan merupakan institusi suci. Menunda pernikahan atau hidup bersama tanpa ikatan resmi bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini dapat memengaruhi hubungan pasangan dengan komunitas agamanya serta partisipasi mereka dalam ritual keagamaan tertentu. Dalam ajaran Katolik misalnya, pasangan yang belum diresmikan tidak diperkenankan menerima Sakramen Tobat maupun Ekaristi.

Kedua, menunda pernikahan atau hidup bersama tanpa ikatan resmi dapat berimplikasi hukum, terutama hak dan kewajiban pasangan terhadap satu sama lain. Di Indonesia (Kantor Dukcapil Kemendagri), anak yang dilahirkan di luar nikah dapat dicatat akta kelahirannya, tetapi hanya dicantumkan nama ibunya; dan dalam Kartu Keluarga nama ayahnya dicatat sebagai famili lain. Di beberapa yurisdiksi, pasangan yang belum menikah tidak memiliki hak yang sama seperti pasangan yang sah, misalnya hak waris, hak perumahan, atau hak asuransi.

Ketiga, pada masyarakat tertentu, pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan nikah mungkin menghadapi stigma sosial atau diskriminasi. Hal ini dapat memengaruhi bagaimana mereka diperlakukan oleh keluarga, teman, atau masyarakat secara umum.

Keempat, jika pasangan memiliki anak-(anak) sebelum menikah, penundaan pernikahan dapat memengaruhi status hukum dan sosial anak-(anak). Mereka yang lahir dari orang tua yang tidak menikah mungkin menghadapi kompleksitas memperoleh hak-hak dan tunjangan tertentu, serta mengalami stigmatisasi sosial.

Kelima, menunda pernikahan atau hidup bersama tanpa ikatan nikah akan memengaruhi stabilitas, keamanan, dan keharmonisan lingkungan keluarga. Hal ini merupakan faktor penting yang dapat pula memengaruhi perkembangan dan kesejahteraan anak-(anak).

Faktor Biaya Pernikahan dan Solusinya

Penundaan upacara pernikahan karena kurangnya dana adalah situasi yang umum terjadi di banyak masyarakat. Tidak adanya dana yang memadai untuk pesta pernikahan, menjadi beban yang berat bagi pasangan yang hendak menikah. Berikut, beberapa solusi yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini.

Pertama, mengurangi skala pesta pernikahan. Pasangan dapat mempertimbangkan untuk pesta yang lebih sederhana dan terjangkau, dengan mengurangi jumlah tamu, memilih lokasi yang lebih sederhana, atau mengurangi biaya dekorasi dan hiburan.

Kedua, pasangan berusaha mencari sumber dana tambahan untuk biaya pernikahan, melalui tabungan pribadi, pinjaman dari keluarga atau teman.

Ketiga, pasangan dapat mempertimbangkan alternatif yang lebih murah, seperti pernikahan sederhana di kantor catatan sipil, resepsi yang lebih kecil di rumah, atau memilih untuk tidak mengadakan pesta, dan hanya mengadakan upacara pernikahan secara meriah dari segi keagamaan.

Keempat, pasangan dapat mempertimbangkan menyewa atau meminjam barang-barang yang diperlukan untuk pesta pernikahan, seperti gaun pengantin, dekorasi, atau peralatan audio-visual.

Kelima, menyusun anggaran yang jelas dan realistis untuk biaya pernikahan, serta membuat prioritas pengeluaran. Dengan demikian, pasangan memastikan bahwa mereka dapat mengadakan upacara pernikahan yang berkesan tanpa harus terlilit utang.

Penutup

Praktik dan waktu pembayaran mahar atau belis dapat bervariasi secara signifikan antara budaya dan masyarakat yang bersangkutan. Tidak ada aturan baku untuk semua situasi. Keputusan terkait dengan belis dan pernikahan harus berdasarkan kesepakatan dan pemahaman yang jelas antara kedua belah pihak, dan memperhatikan kebutuhan dan keinginan pasangan yang menikah. Pesta pernikahan yang mahal bukanlah syarat mutlak bagi perkawinan yang bermakna dan bahagia. Pernikahan itu mencerminkan kepribadian, nilai-nilai, dan visi pasangan yang hendak menikah. Mereka dapat merayakan cinta dan komitmen satu sama lain dengan cara yang sesuai dengan kondisi keuangan mereka.

Meskipun terdapat alasan yang menyebabkan pasangan menunda upacara pernikahan, namun perlu dipertimbangkan konsekuensi potensial dari keputusan tersebut, terutama dalam hal agama, status hukum, dan kesejahteraan anak-(anak). Pemahaman yang mendalam tentang implikasi dari setiap keputusan adalah kunci untuk mengelola situasi ini dengan bijaksana.

Tidak ada solusi permanen dalam menangani masalah penundaan upacara pernikahan. Melalui komunikasi yang terbuka, kerja sama keluarga, dan kesediaan untuk mencari solusi bersama, pasangan dapat menemukan solusi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, pemerintah maupun institusi keagamaan tetap memainkan peran strategis dalam rangka mengatasi persoalan penundaan upacara pernikahan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun