Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menghadapi Stereotip Bahasa Indonesia yang Merendahkan Peran Perempuan: Langkah Strategis Menuju Kesetaraan Gender

3 April 2024   19:32 Diperbarui: 3 April 2024   19:37 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering penilaian yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok tertentu tidak sesuai dengan fakta, tetapi karena prasangka pribadi, disebut stereotip. Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat, watak, dan perilaku sebuah golongan atau kelompok hanya berdasarkan prasangka yang tidak benar (KBBI, 2008). Dalam buku Psikologi Pendidikan, Santrock (2010) menyatakan, banyak stereotip bersifat umum dan ambigu, misalnya kategori maskulin dan feminim. Memberi cap stereotip pada invidu dapat menimbulkan konsekuensi tersendiri, yaitu mengabaikan status sosial mereka. Stereotip mencakup kategori gender, etnis, atau kategori lainnya, yang semuanya merujuk pada citra masing-masing.

Stereotip gender adalah kategori yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang perilaku yang tepat untuk laki-laki dan perempuan. Dalam penggunaan bahasa, stereotip gender terjadi karena faktor-faktor yang melibatkan aspek sosial, budaya, dan psikologis.

Secara sosiolinguistik, stereotip gender dalam bahasa cenderung mengabaikan atau merendahkan status dan peran perempuan. Artikel ini berupaya membahas akar masalah stereotip gender dalam penggunaan bahasa Indonesia, dan strategi yang efektif dalam mengatasi atau mengubah pola-pola bahasa yang merendahkan peran perempuan.    

Penyebab Stereotip Gender dalam Penggunaan Bahasa

Sebagaimana dikemukakan, bahwa stereotip dalam penggunaan bahasa bisa disebabkan oleh faktor-faktor, seperti aspek sosial, budaya, dan psikologis. Berikut, beberapa masalah yang dapat menyebabkan stereotip gender dalam penggunaan bahasa.

Pertama, budaya patriarki yang masih dominan dalam banyak masyarakat cenderung menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih kuat dan dihormati. Perempuan sering dilihat sebagai inferior atau memiliki peran yang terbatas. Hal ini tercermin dalam bahasa dengan menggunakan kata-kata atau frasa yang secara tidak langsung memihak atau merendahkan perempuan. Deborah Tannes (1990) dalam bukunya You Just Don't Understand mengungkapkan, "Budaya adu argumen adalah budaya kritik dan oposisi, yang cenderung melemahkan kontribusi perempuan, hubungan laki-laki, dan kemungkinan untuk saling memahami."

Kedua, tradisi dan norma sosial yang telah tertanam dalam masyarakat dapat memengaruhi penggunaan bahasa dan menciptakan stereotip gender. Misalnya, norma-norma yang mengaitkan perempuan dengan peran domestik dan laki-laki dengan peran publik. Penelope Eckert (2008) dalam penelitiannya tentang Variation and The Indexical Field menyoroti bagaimana gender menjadi satu aspek penting dalam memahami variasi bahasa dan identitas sosial.

Ketiga, struktur kekuasaan dalam masyarakat, yang sering didominasi oleh laki-laki, dapat memengaruhi penggunaan bahasa untuk mempertahankan hierarki gender. Bahasa sering digunakan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan dan membenarkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.

Keempat, stereotip gender yang telah tertanam dalam budaya populer dan media massa juga dapat memengaruhi penggunaan bahasa. Citra stereotip perempuan dan laki-laki yang diperkuat melalui media sering tercermin dalam bahasa sehari-hari, menciptakan ekspektasi dan persepsi yang terbatas terhadap kedua jenis kelamin.

Kelima, penggunaan bahasa dapat dipengaruhi oleh kebiasaan yang sudah mapan dan konteks sosial tertentu. Misalnya, dalam lingkungan yang didominasi oleh pandangan patriarki, penggunaan kata-kata atau frasa yang mencerminkan stereotip gender lebih mungkin terjadi. Cameron Deborah (1998) dalam karyanya Gender and Language Ideologies membahas bagaimana bahasa tidak hanya mencerminkan perbedaan gender, tetapi juga membentuk dan memperkuat hierarki gender dalam masyarakat.

Stereotip Gender dalam Bahasa Indonesia

Stereotip gender dalam masyarakat Indonesia sering tercermin melalui bahasa, yang dapat merendahkan atau mengabaikan posisi sosial seorang perempuan. Beberapa contoh stereotip gender yang ditemukan dalam bahasa Indonesia, antara lain penggunaan kata ganti maskulin universal, stereotip gender dalam pekerjaan, penilaian berdasarkan penampilan fisik, dan stereotip peran gender.

Penggunaan Kata Ganti Maskulin Universal

Dalam bahasa Indonesia, terdapat kecenderungan untuk menggunakan kata ganti maskulin. Misalnya penggunaan "dia" atau "mereka" secara tidak langsung

mengasumsikan bahwa laki-laki adalah representasi standar dari manusia, sedangkan perempuan dianggap sebagai pengecualian. Penggunaan "dia" dalam kalimat "Dia datang ke pertemuan" secara tidak langsung menganggap bahwa orang yang dimaksud adalah laki-laki, padahal bisa juga perempuan. Hal ini menciptakan kesan bahwa keberadaan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang perlu diidentifikasi secara eksplisit, sementara laki-laki dianggap sebagai norma.

Contoh lain, penggunaan "mereka" dalam kalimat "Mereka adalah dokter-dokter yang sangat berbakat" diasumsikan bahwa dokter-dokter itu adalah laki-laki, karena tidak ada penjelasan tambahan mengenai jenis kelamin mereka. Jadi, dokter perempuan dianggap kurang terlihat.

Stereotip Gender dalam Pekerjaan

Penggunaan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang mencerminkan stereotip gender dalam pekerjaan sering terjadi karena budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat. Budaya ini cenderung memosisikan laki-laki dan perempuan dalam peran-peran yang dianggap sesuai dengan stereotip gender tradisional. Hal ini tercermin dalam bahasa sehari-hari, yang kata-katanya sering mengandung unsur maskulinitas dan secara implisit mengasumsikan bahwa pekerjaan atau peran tertentu lebih cocok dilakukan oleh laki-laki daripada perempuan. Penggunaan kata-kata "tukang", "pengemudi", "montir", atau "pengacara" secara implisit mengasumsikan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut lebih cocok dilakukan oleh laki-laki. Hal ini dapat merendahkan atau mengabaikan kontribusi, kompetensi, dan kemampuan perempuan dalam bidang-bidang itu.

Penilaian Berdasarkan Penampilan Fisik

Penggunaan kata-kata dalam bahasa Indonesia untuk menilai seseorang berdasarkan penampilan fisiknya, mencerminkan stereotip gender dan dapat merendahkan atau membatasi individu, terutama perempuan. Budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat seringkali memandang perempuan dari sudut pandang yang memprioritaskan penampilan fisik mereka daripada prestasi atau kualifikasi lainnya. Hal ini tercermin dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Penggunaan kata-kata, seperti "cantik", "menarik", "rupawan", atau "berwajah bersih" merujuk pada perempuan. Hal ini dapat menyebabkan mereka dipandang hanya dari sisi penampilan fisiknya, bukan dari kemampuan, prestasi, atau kualifikasi mereka. Mengevaluasi perempuan hanya berdasarkan penampilan fisik mereka dapat mengabaikan prestasi atau kualifikasi mereka dalam hal-hal lain. Selain itu, penggunaan kata-kata seperti itu dapat memperkuat pandangan yang sempit tentang nilai dan identitas perempuan, serta menciptakan tekanan dan ekspektasi yang tidak realistis terhadap penampilan fisik mereka.

Stereotip Peran Gender

Penggunaan kata-kata dalam bahasa Indonesia juga mencerminkan stereotip gender. Perempuan sering diasumsikan memiliki peran domestik dan merawat, sedangkan laki-laki dianggal lebih cocok untuk peran yang berkaitan dengan kekuasaan atau otoritas. Misalnya, ungkapan seperti "Pekerjaan rumah adalah tanggung jawab perempuan" menempatkan perempuan dalam peran domestik tanpa mempertimbangkan kemampuan atau minat individual mereka. Demikian pula, ungkapan "Pekerjaan seperti tukang bangunan adalah pekerjaan laki-laki" atau "Seorang ibu harus mengutamkan peran sebagai ibu" mencerminkan stereotip peran gender. Penggunaan bahasa seperti ini dapat memengaruhi persepsi dan perilaku individu, serta memperkuat ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Hal ini dapat membatasi pilihan karier perempuan dan memperkuat hierarki gender dalam dunia kerja. Selain itu, pandangan ini menciptakan ekspektasi yang mengikat bagi perempuan untuk mengorbankan aspirasi atau karier pribadi mereka demi peran ibu yang dianggap lebih penting.

Langkah Strategis Menuju Kesetaraan Gender

Untuk mengatasi stereotip gender dalam penggunaan kata-kata bahasa Indonesia yang cenderung merendahkan derajat dan peran perempuan, diperlukan upaya yang bersifat inklusif, edukatif, dan progresif.

Pertama, meningkatkan kesadaran akan stereotip gender dalam bahasa dan dampaknya terhadap masyarakat. Pendidikan mengenai kesetaraan gender dan pentingnya bahasa yang inklusif dapat diperkenalkan di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.

Kedua, mengadakan kampanye publik dan kegiatan sosialisasi yang mempromosikan kesadaran akan bahasa seksis dan cara menghindari penggunaannya. Hal ini bisa dilakukan melalui media sosial, seminar, lokakarya, dan acara komunitas lainnya.

Ketiga, menggalakkan penggunaan bahasa yang lebih inklusif dan netral dari aspek gender. Misalnya, menghindari penggunaan kata ganti maskulin universal seperti "dia" atau "mereka" tanpa menentukan jenis kelamin, atau menggunakan bentuk kata-kata yang netral.

Keempat, mengganti kata-kata atau frasa seksis dengan alternatif yang lebih netral dan inklusif. Hal ini dapat melibatkan revisi teks-teks resmi, kampanye penyadaran, serta pembinaan terhadap penggunaan bahasa yang lebih sensitif terhadap gender.

Kelima, memberdayakan perempuan untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam merancang dan memengaruhi penggunaan bahasa dalam masyarakat. Dan melibatkan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan bahasa dan pengembangan sumber daya bahasa yang lebih inklusif.

Keenam, mendorong institusi dan organisasi untuk mengadopsi kebijakan dan panduan resmi yang mendukung penggunaan bahasa yang inklusif dari aspek gender. Hal ini, termasuk peninjauan kembali panduan penerbitan, pedoman perekrutan, dan kebijakan komunikasi internal dan eksternal.

Ketujuh, melibatkan para pakar bahasa, sosiolinguistik, dan feminisme dalam upaya untuk mengatasi stereotip gender dalam bahasa. Kolaborasi ini dapat menghasilkan pemahaman yang lebih dalam dan solusi yang lebih efektif dalam merancang strategi penggunaan bahasa yang lebih inklusif.

Melalui langkah-langkah di atas, diharapkan dapat tercipta perubahan yang signifikan dalam penggunaan bahasa yang lebih sensitif terhadap gender. Kecuali itu, upaya-upaya tersebut mendorong tercapainya kesetaraan gender yang lebih besar dalam masyarakat. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun