Mohon tunggu...
Agustinus Hary
Agustinus Hary Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bernyanyi dan mendengarkan musik Jogging Menikmati hidup dengan senyuman Hidup merdeka

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filsafat (Versus/dan) Agama: Usaha Pencarian Kebenaran

10 November 2022   19:54 Diperbarui: 10 November 2022   20:09 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Manusia haus akan kebenaran. Ketidaktahuan yang manusia rasakan membuat dirinya perlu menemukan jawaban yang cukup masuk akal untuk ia terima. Ketika ia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui sesuatu, maka manusia akan mencari jawaban dengan berbagai cara. 

Sejenak ia akan duduk termenung dengan tatapan kosong, membiarkan dirinya berlari dalam laju pemikiran, mencari berbagai alasan dan jawaban atas pertanyaan apa dan mengapa. 

Ketika ia memulai dengan sebuah pertanyaan kecil mengenai hidupnya, maka pertanyaan itu akan menuntunnya pada pertanyaan berikutnya. Satu pertanyaan yang berhasil ia jawab, akan menghadirkan berbagai kemungkinan lain yang memberi celah pertanyaan baru, dan berlanjut terus-menerus. Gerak tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan mendasar manusia adalah mengetahui segala sesuatu, meluaskan daerah 'ketidaktahuan' dengan segala pengetahuan dari realitas yang ia jumpai.

Ada sebuah anggapan yang menyatakan bahwa ketidaktahuan adalah kebijaksanaan tertinggi dan jalan menuju kebijaksanaan. Ketidaktahuan membuat kita ingin mencari tahu, menemukan jawaban dengan menguliti setiap permasalahan hingga menggali makna terdalam untuk sampai pada akar utamanya. 

Hidup dalam keabstrakkan membuat segalanya tidak pasti sebab semua terlihat samar. Walaupun demikian, tidak berarti dengan menemukan jawaban segalanya menjadi jelas. Bahkan dalam kepastian sekalipun terdapat ketidakpastian. 

Spekulasi dan kemungkinan baru akan suatu hal sangat mungkin terjadi. Kita dituntut berani memilih dan mengambil keputusan, baik dalam menilai dan bersikap. Hal tersebut yang diasah dalam dunia filsafat. Kita dilatih dan dibiasakan berpikir tidak hanya dua kali, namun berkali-kali. Kita tidak berhenti pada pertanyaan ilmiah, namun bergerak menuju ranah filosofis; menggali esensi dari setiap hal.

Apakah filsafat membantu kita menemukan jawaban? Tidak selalu. Bisa jadi jawaban yang kita dapat adalah sebuah pemahaman utopis; pernyataan yang dapat dipertanyakan lagi. Namun itu membantu kita untuk semakin dekat pada hakikat yang hendak kita gali. 

Filsafat tidak secara langsung membantu menemukan penyelesaian atas masalah, melainkan membantu menjernihkan sumber masalah agar dapat diselesaikan secara tepat. Filsafat menuntun kita dengan pertanyaan-pertanyaan radikal yang spekulatif melalui aktivitas akal atau rasio. 

Bahkan filsafat dapat membuat kita menjumpai realitas yang lebih luas dan besar daripada realitas yang hanya kita lihat dari lubang kunci. Dengan berpikir kritis dan abstrak, filsafat dapat membuka pemahaman baru akan realitas, memperbesar worldview serta merefleksikan secara filosofis segala sesuatu. 

Pada intinya, filsafat menuntun kita pada kesadaran yang terdalam (deep consciousness). Berawal dari 'aku tahu' bergerak oleh kesadaran bahwa 'aku tidak tahu' untuk mencari tahu dan terus mencari tahu.

Tujuan utama filsafat ialah meraih kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dimaksud bukanlah pengetahuan yang lengkap akan sebuah hal berdasarkan point of view pribadi. Realitas tidak mutlak tunggal. Melihat segalanya berdasarkan berbagai kacamata membantu kita membangun konsep tentang semesta; keragaman realitas. 

Dengan perluasan itu juga, secara tidak langsung manusia dibawa pada transformasi diri. Hal itu tidak hanya berhenti di ranah pikiran dan berpikir rasional. Keseimbangan antara pengetahuan dan tindakan, praksis dan epistemis merupakan bentuk riil dari transformasi tersebut.

Bagaimana bila filsafat disandingkan dengan agama? Agama tidak hanya berkaitan dengan iman yang bersifat personal dan subjektif, melainkan juga sebagai sebuah sistem kepercayaan dan kelembagaan yang terstruktur sedemikian rupa dengan berbagai doktrin dan praktik ritual sebagai artikulasi sistematik yang tetap. 

Sistem tersebut mengakar pada nilai dan keyakinan teologis bahwa Tuhan merupakan Yang Adikodrati, Yang Mahakuasa, Sang Pencipta; yang bersifat transendental serta metafisik. Keyakinan itu diungkapkan melalui praktik ritual keagamaan sebagai ekspresi dari iman. Agama dipenuhi dengan berbagai doktrin dan konsep ketuhanan sebagai kebenaran yang mutlak sehingga pengetahuan akan kebenaran tertuju hanya pada Tuhan semata.

Ironisnya, kebanyakan praktik atau ekspresi iman setiap orang memiliki tendensi ke arah ketaatan buta dan penerimaan ajaran begitu saja. Menjadi kontradiktif manakala rasionalitas tidak dilibatkan dalam pengejawantahan artikulasi sistematik itu. Salah satu contoh ialah jihad. Jihad merupakan bentuk perjuangan membela agama dari kaum kafir dengan pengorbanan jiwa dan raga untuk mencapai kebaikan. 

Namun, mindset yang seringkali keliru ialah usaha yang bersifat anarkis dan destruktif. Filsafat, dengan rasionalitasnya, dapat menggugat konsep dan praktik tersebut sebab bertolak belakang dengan pemahaman dan penalaran akal budi.

Selain itu, banyak juga praktik keagamaan yang dapat ditentang melalui filsafat akibat penolakan pada Yang Transendental, menganggap agama sebagai kultus berhala kepada yang tidak nampak. Lantas, apakah dengan berfilsafat, agama akan dijauhkan dan dijatuhkan? Atau justru sebaliknya, agama semakin diperkuat melalui filsafat? Bagaimana hasrat mencari kebenaran bila dibenturkan dengan kepercayaan?

Filsafat dapat menjadi otokritik bagi agama, dengan mempertanyakan dan mempertentangkan berbagai bentuk dogmatisme buta serta berbagai doktrin. Filsafat dapat meruntuhkan berbagai nilai dan sistem yang dimiliki oleh agama sehingga segala bentuk keyakinan personal menjadi goyah. 

Dengan filsafat, orang mulai mempertanyakan kembali berbagai doktrin yang ia yakini benar dan ia lakukan begitu saja. Hasil akhir yang mungkin terjadi ialah agama ditinggalkan karena irasional; bertolak belakang dan tidak menjelaskan secara komprehensif mengenai realitas kosmos secara rasional.

Di satu sisi, filsafat juga menjadi pendamping bagi agama dalam hal penguatan makna nilai dan penjernihan permasalahan antara praksis dan epistemis. Filsafat, dalam usaha pencarian kebenaran, memasukkan unsur transendental, meta-ilmiah; yang ilahi ke dalam pemahaman dan penalaran manusia. 

Thales, seorang filsuf pra-Socrates, menyebut kekuatan ilahi berlalu melalui dasar yang lembab dengan menggerakkannya. Ini menunjukkan bahwa dalam pencarian yang hakiki, konsep ilahi diperlukan agar menjadi lebih rasional. Dengan demikian, muncul sebuah pemahaman bahwa rasionalitas mengikutsertakan keyakinan dan/atau kepercayaan di dalamnya agar semakin rasional dan dapat diterima.

Filsafat membantu agama dalam meneguhkan iman setiap orang. Kedua hal itu melibatkan satu hal yang sama, yakni keyakinan. Filsafat menyakinkan kita melalui rasionalitas, sementara iman meyakinkan kita pada Tuhan, yang transenden melalui kepercayaan itu sendiri. 

Dengan kata lain, keduanya saling berhubungan dan saling membangun. Iman merupakan ungkapan keyakinan, sehingga membutuhkan nalar untuk mengungkapkannya dalam tindakan. 

Ungkapan keyakinan itu dinyatakan dengan keseluruhan diri, senada dengan pernyataan St. Agustinus, "Credo ut intelligam", yang artinya aku percaya agar aku dapat memahami. Artinya, iman menuntut keseluruhan diri, yang juga mencakup pikiran dan nalar. Tidak mungkin iman diwujudnyatakan tanpa pikiran dan nalar.

 Melalui filsafat, manusia dapat memahami Tuhan yang tidak terbatas dengan keterbatasannya. Artinya, manusia yang terbatas memahami Tuhan yang tidak terbatas melalui rasionya, yang merupakan kesatuan terbatas dari yang tidak terbatas, untuk diimani. 

Dalam hal ini, filsafat dan nalar berusaha memahami Tuhan yang tidak terbatas dengan keterbatasannya, dan iman menerima ketidakterbatasan itu sebagai sesuatu yang di luar kapasitas nalar manusia. Melalui keseimbangan tersebut, iman menjadi hal yang masuk akal dan dapat dipahami dan diterima. 

Dengan menyertakan filsafat dalam agama, segala praktik religius yang bersifat repetitif dapat dipahami dengan nalar sebagai bentuk pencegahan dari penyembahan berhala dan ritual yang formalitas tanpa makna serta fanatisme yang membabi buta. 

 Menilik dari dua sisi tersebut, baik filsafat dan agama, keduanya sama-sama mencari kebenaran utama. Kebenaran melalui rasionalitas dan kebenaran berdasarkan doktrin dan konsep teologis. Keduanya dapat bersitegang oleh karena pandangan yang saling bertolak belakang, namun juga dapat saling berkolaborasi untuk menemukan kebenaran yang rasional. Membuka cakerawala akan pengetahuan kosmos membantu iman untuk memahami Tuhan yang Transenden. 

Begitu juga sebaliknya, pengetahuan akan Tuhan menjadi semakin masuk akal manakala rasionalitas diikutsertakan. Dengan demikian, akar kepercayaan yang ditanamkan oleh agama akan dapat dipahami berkat rasionalitas sehingga manusia dapat memahami dan menemukan makna sesungguhnya yang hendak dicapai. Hal itu juga akan menghindarkan kita dari sikap fanatisme yang justru membuat agama menjadi runtuh.

Disadur dari beberapa sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun