Suasana diam, tenang pada pertemuan staff dan guru setelah diumumkan bahwa mulai tanggal 15 Maret 2020 seluruh lembaga pendidikan mulai dari PG hingga perguruan tinggi harus ditutup.Â
Seluruh stakeholder pendidikan mulai dari siswa, guru, dan orang tua siswa belum tahu persis apa yang mesti dilakukan sebab tidak ada persiapan sebelumnya.Â
Pembelajaran harus dilaksanakan dengan moda daring apapun keadaan sekolah dan guru pada waktu itu.Â
Saya masih ingat, ada kebingungan serta rasa tidak berdaya mengatasi keadaan tersebut sempat singgah dalam diri saya sebagai seorang guru dan pengelola sekolah, seraya berpikir apa yang harus dilakukan untuk tetap menjangkau anak-anak bangsa ini.Â
Inilah sedikit suasana yang tergambar dalam peristiwa penutupan sekolah akibat pandemi virus corona-19 di tahun 2020 yang lalu.
Bagaimana pendidik tetap eksis di saat sulit dan berjuang sekuat tenaga untuk tetap menari di tengah kesulitan, mencari bentuk-bentuk pendidikan yang menjangkau anak-anak yang tercerai-berai tinggal di keluarga masing-masing.Â
Bagaimana peranan seorang pendidik di era pandemi dan di era digital mengalami perubahan? Kualitas hidup seperti apa yang diperlukan agar seseorang mampu merespon situasi tak menentu dengan baik?Â
Tulisan ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali peristiwa yang telah terjadi dan memaknai situasi sulit selama pandemi covid-19 yang mendisrupsi hampir semua segi kehidupan, tak terkecuali pendidikan beserta kehidupan para gurunya.Â
Menolak menjadi "lumpuh" di era pandemi
Di awal tulisan ini telah digambarkan suasana staf dan guru menghadapi kenyataan bahwa tak lagi bisa melaksanakan pembelajaran tatap muka, yang sehari-hari menjadi panggung guru untuk menari dan menunjukkan eksistensi dirinya.Â
Tak lagi ada anak-anak yang menjadi alasan guru berada di dalam kelas. Keteguhan dan ketetapan hati seorang pendidik sedang diuji, untuk terus belajar menjadi pembelajar seumur hidup, menolak lumpuh dalam keterbatasan.
Beberapa hari pertama para guru mencoba berbagai macam cara agar bisa melaksanakan pembelajaran jarak jauh, mulai dari penggunaan WhatsApp, sistem mengambil tugas di sekolah, ada yang mencoba Google Classroom, ada yang mengirim pesan suara via WhatsApp dan sebagainya.Â
Para guru memaksa diri melakukan hal-hal yang baru yang sebelumnya tak pernah dilakukan. Â Inilah geliat para guru mempertahankan dan memelihara eksistensi dirinya sebagai pendidik yang harus terhubung dengan peserta didik.
Teknologi yang sebelumnya belum dimanfaatkan dalam pembelajaran kini harus menjadi kekuatan dalam menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran.Â
Para guru menolak punah di era pandemi, terus  menerus mencari cara agar masih dapat memberikan pengaruh kepada peserta didik.Â
Beberapa guru yang pada awalnya mengalami kehilangan makna dan kemampuan untuk menjalankan fungsinya sebagai guru, Â mereka mulai bangkit, memperlengkapi diri dengan ketrampilan praktis agar dapat mengajar secara online.
Suasana upgrading kemampuan  digital para guru (dokumen pribadi)
Berbagai aplikasi Learning Management System dipelajari dan digunakan sebagai platform pembelajaran online, mulai dari Moodle, Google Classroom, Schoology, Teams Microsoft 365 dan masih aplikasi lain yang bermanfaat.Â
Ketrampilan yang telah dibaharui dan dikembangkan membuat para pendidik berdaya dan bergairah kembali melakukan pembelajaran, menemukan cara baru mengajar dan mendidik karakter anak-anak. Kelas-kelas fisik beralih menjadi kelas-kelas maya. Perjumpaan pendidik dan peserta didik berubah menjadi dalam ruang-ruang maya.Â
Peran pendidik yang dibaharui
Pembelajaran yang terjadi di dalam kelas fisik yang berlangsung sampai sebelum pandemi, umumnya menempatkan guru sebagai sumber utama informasi.Â
Pembelajaran terpusat pada guru di depan kelas. Pandemi covid-19 telah menguatkan peran guru, selain menjadi sumber informasi juga menjadi fasilitator pembelajaran yang siap membimbing anak-anak menjelahi dunia informasi yang melimpah di Internet.Â
Peran yang "baru" ini memerlukan penguatan terus menerus bagi guru di era digital sekarang ini. Para pendidik perlu merelakan "kekuasaannya" di ambil alih oleh siswa agar mereka menjadi pembelajar seumur hidup.Â
Guru harus memberikan keleluasaan dan membantu siswa untuk mencari dan mengkonstruksi pengalaman belajarnya.Â
Guru menciptakan suasana belajar yang mendorong para siswa untuk mengeksplorasi tema, mendorong siswa untuk melakukan pemecahan masalah yang kreatif atas keadaan yang dialami dalam situasi nyata kehidupannya. Agar dapat melaksanakan peran baru ini pendidik perlu terus menerus membuka diri dan memiliki sikap mau belajar hal-hal baru.
Growth mindset sebagai kekuatanÂ
Ahli Piskologi Amerika, Carol Dweck, menemukan dalam salah satu penelitiannya bahwa seseorang memiliki dua macam mindset atau pola pikir yaitu pola pikir tetap dan pola pikir tumbuh.
Pola pikir tumbuh memungkinkan seseorang untuk terus berkembang, tetap maju meskipun menghadapi tantangan dalam pekerjaannya.Â
Pola pikir bertumbuh sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam menanggapi suatu situasi seperti situasi Covid-19 ini.Â
Orang dengan pola pikir bertumbuh selalu mencari potensi solusi tidak takut berbuat salah karena kesalahan adalah kesempatan untuk belajar.
Para pendidik di era digital dan khususnya di era pandemi covid-19 mesti mengembangkan pola pikir bertumbuh agar mampu menangani setiap tantangan dengan sikap positif. Selalu mencari cara-cara baru agar dapat melaksanakan tugas mendidik,meskipun tantangan besar menunggu di depan kita.Â
Pendidik menolak menjadi lumpuh dari semua tantangan yang dihadapi selama pandemi covid-19 dan terus menerus belajar hal-hal baru, menjadi pembelajar seumur hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H