Pagi ini mata saya terbuka dan mendapati bermacam efek domino dari pandemi Covid-19. Kejadiannya tak jauh dari tempat saya tinggal. Ratusan pekerja--tetap maupun honorer, yang masih muda maupun yang sudah senior tengah berurai air mata setelah mendapat kabar bahwa mereka serempak dirumahkan. Setelah sebelumnya perhatian saya hanya tertuju pada driver ojol yang sering kongko di depan tempat tinggal saya, main game sembari berbagi cerita bahwa hari ini orederan sedang sepi. Khayal saya tak beranjak dari berpuluh orang merana lain di luar sana yang juga terimbas langsung bukan hanya dari segi kesehatan, tetapi juga dari segi finansial.
Hashtag DirumahAja, bak satu cahaya dalam ruang remang. Tentu bagi beberapa orang, mereka menemukan kenikmatan baru berkumpul bersama keluarga. Kisah kocak soal meeting dengan kemeja rapih namun bercelana pendek dan belum mandi, atau tiba-tiba emak teriak dari dapur meminta kita mengangkut jemuran gerara hujan padahal kita sedang presentasi, menjadi bumbu lucu yang membuat kegiatan di rumah kita menjadi lebih terang dan berwarna.Â
Hashtag DirumahAja, juga menjadi elegi bagi beberapa orang yang tak tahu harus melakukan apa agar perut tak lagi keroncongan. Kisah Driver Taksi Bluebird yang sempat viral lantaran diketahui ia bergegas pulang untuk memberikan uang hasil orderan pertamanya agar anak dan istrinya bisa segera makan, tentu bukan sekedar postingan demi mendapatkan like belaka.
Kondisi itu tentu tak bisa hanya dilihat sebagai kondisi bahagia dan sedih semata, ada gradasi di antara keduanya. Mungkin saat ini ada yang masih nyaman menikmati waktu-waktu di rumah aja, apa-apa dibeli demi membuat badan nyaman berdiam diri, tetapi seberapa lama kenyamanan itu akan terus berlangsung?Â
Bulan pertama, semua kebutuhan pokok masih terpenuhi dan cicilan rumah serta kendaraan masih terbayar lancer, bahkan menambahkan berlangganan aplikasi ini dan itu supaya bisa betah di rumah. Bulan selanjutnya, kebutuhan pokok mulai dikurangi demi cicilan dan langganan. Bulan selanjutnya langganan ditiadakan, tak apa menonton film lama. Bulan selanjutnya?
Prediksi masa pandemi dari pemerintah akan berhenti di bulan Juli. Tetapi, jika semua orang abaikan aturan: tetap mudik ke kampung halaman dan menambah intensitas bertemu dengan banyak orang yang malah memperlancar persebaran virus, apakah masih yakin pandemi akan berhenti hanya dalam tiga bulan dari sekarang?
Saat-saat seperti ini, bagi penganut sistem pemisahan rekening aktif dan pasif, tentu sedang bernafas lega, seraya berterima kasih pada diri sendiri karena selalu menyisakan pendapatan untuk dana cadangan di luar dana yang digunakan sebagai biaya operasional pemenuhan kebutuhan sehari-hari.Â
Tetapi, seberapa lama dana cadangan itu akan terkuras? Apakah kemudian akan terisi lagi oleh gaji? Apakah masih mendapatkan gaji yang utuh? Dipotong separo? Atau bahkan tidak bagaimana yang tidak ada pendapatan sama sekali? Tidak ada pendapatan yang bagaimana, apakah hanya sementara selama pandemi saja, atau jika membaca kondisi perusahaan, lama-lama jadi harap-harap cemas, jangan-jangan perusahaan tak kuat berdiri di tengah-tengah masa terjangan pandemi.
Mari kita renungkan sejenak. Nasi sudah menjadi bubur, tinggal bagaimana bubur itu kita gunakan supaya tetap enak dimakan. Apakah diracik menjadi Bubur Ayam, atau sekedar ditambah gula jawa menjadi Bubur Gula Jawa. Maksudnya, akses kita terhadap dana cadangan telah menjadi buah dari habbit pengelolaan keuangan yang telah kita lakukan minimal tiga bulan sebelum keadaan ini terjadi.Â
Bukan hanya kita yang terdampak, tapi semua orang, bukan hanya di Jakarta, bukan hanya di Indonesia, bahkan seluruh dunia. Krisis keuangan global, rupiah yang terus melemah, IHSG yang terjun curam, bisnis yang melesu, THR yang terancam tak cair, dan berbagai dampak yang dirasakan tak hanya organ perusahaan dengan berbagai skala, melainkan hingga satuan individu.
Kini, sebulan sudah kita tempuh belajar dan bekerja dari rumah. Meeting dari rumah, belanja dari rumah, makan di rumah, dan berkarya di rumah. Ya, Rumah. Tempat yang selama ini bagi saya yang hanyalah karyawan biasa, merupakan sekedar tempat merebahkan badan di malam hari dan bersiap ke kantor keesokan harinya.Â
Kini, segala-gala harus saya kerjakan di sini. Saya sadari begitu banyak hal yang belum saya perhitungkan dalam pengaturan kehidupan saya, yah yang ternyata berdampak pada efektivitas dan efisiensi baik pola pengaturan keuangan maupun pola hidup pada umumnya.Â
Saya baru mengerti pentingnya dapur yang mengepul, mengingat hampir tidak pernah saya meracik makanan saya sendiri, semua saya beli jadi, baju kotorpun tinggal dibawa ke laundry dan voilla akan bersih keesokan harinya.Â
Sekarang, saya jadi mengerti manajemen menyimpan bahan makanan, serta mengatur waktu urusan domestik dan kantor yang dulu tak pernah saya lakukan. Tanpa sadar, saya memiliki kebiasaan-kebiasaan baru, yang saya rasa banyak orangpun mengalaminya. Kebiasaan yang membuat hidup kita terasa lebih efisien.
Mari palingkan sejenak pandangan kita dari bisnis dan berbagai usaha yang terpaksa istirahat sementara atau bahkan gulung tikar gerara pandemi ini. Dan sempatkan melihat bisnis-bisnis yang bukannya istirahat justru jadi lebih sibuk, menggeliat naik, dan berkembang, atau juga bisnis-bisnis baru yang sebelumnya tak ada, menjelma menjadi kebutuhan tak terelakkan karena status PSBB sudah resmi dicanangkan.
Sebut saja pekerjaan-pekerjaan di bidang IT, yang kian hari harus rela lembur karena kebutuhan akan akses internet meningkat tajam, sehubungan dengan segala sesuatu yang dilakukan secara daring. Programer dan pengembang sibuk berinovasi menyediakan jasa yang memungkinkan orang mengadakan meeting dan presentasi secara daring di rumah masing-masing.Â
Bimbingan belajar tak mau kalah, lihat aplikasi ruang guru, yang semula hanya tren di kalangan anak SMA, kini menjadi pertimbangan orang tua. Toko-toko ritel yang tutup gerai, beralih ke media online, sehingga ibu-ibu kini tinggal swipe-swipe Hp untuk belanja beras, minyak dan gula. Ramainya belanja online, memaksa jasa pengiriman barang JNE, JNT, Tiki, Sicepat dan jasa pengiriman merk lain membuka kantor cabangnya lebih lama dari hari biasa.Â
Bagaimana dengan sayur mayur? Pasar online yang sejak lama sudah ada, mulai dilirik dan kian laris manis, sebut saja sayur box dan happy fresh. Atau jika tak ingin menunggu terlalu lama, individu-individu yang jeli melihat peluang yang ada membuat bisnis jastip ke pasar, tak perlu membangun website, cukup bermodal Grup Whatsapp --malamnya dipesan, besok subuh dibelikan, maksimal jam tujuh sudah tiba di rumah dan langsung dapat diolah sebagai sarapan.
Sebagaimana saya, yang kini sudah terbiasa bangun subuh agar di jam tujuh sudah kenyang makan sarapan, serta mencuci baju saya sendiri tiga hari sekali, pola berbisnis kita juga sangat bisa berubah. Suatu sistem berbisnis yang semula dimaksudkan adhoc karena keadaan kahar, akan dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi.Â
Bayangkan, kita beralih pada segala sesuatu yang berbau 4.0 (baca: Four Point Ow), baik dibidang edukasi, industri, bahkan sistem pemerintahan, hanya dalam waktu tiga bulan. Habbit yang tak lazim dalam keadaan normal, menjadi lazim saat krisis, dan menjadi mainstream setelah krisis selesai.
Bayangkan jika selama waktu tersebut, banyak orang mulai beralih pada dunia digital dan melanjutkan karier bekerja dari rumah tau-tau kaya, sedangkan anda masih saja rebahan dan menetap sebagai konsumen drakor atau netfliks semata, apakah pada saat WFH dicabut anda masih memiliki kemampuan kerja yang sama dengan sebelum WFH diterapkan?
Saya harus menyampaikan bahwa ujian terbesar manusia bukanlah keterbatasan melainkan keleluasaan. Terbatas dalam ruang gerak dan mungkin keuangan yang juga ikut terdampak, memaksa kita berpikir kreatif agar dapur tetap mengepul, dan investasi tetap terkumpul hehe.Â
Di waktu yang sama, kini kita sedang memiliki akses terhadap keleluasaan waktu, tinggal dimanfaatkan hanya untuk rebahan, atau kegiatan lain yang membuatmu siap menghadapi hari pasca dicabutnya WFH.
Akhir kata, sebagaimana spasi pada sebuah kalimat, maka rehat dapat memberikan jeda bagi kita untuk bisa memahami kehidupan dengan lebih utuh, laksana membaca kalimat yang telah padu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H