Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Go Transit dan Stasiun Kecil yang Melipat Jarak

28 Oktober 2024   08:45 Diperbarui: 28 Oktober 2024   08:46 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Saya pertama kali naik kereta api setelah lulus kuliah. Tatkala itu tujuannya ke Jakarta untuk mengikuti seleksi menjadi ASN peneliti di Pusat Bahasa. Ada beberapa tahap seleksi dan kebetulan saya lolos terus hingga tahap terakhir. Alhasil, saya mesti bolak-balik naik kereta api rute Yogyakarta-Jakarta.

Karena selalu naik kelas bisnis dan ekonomi, kesan saya terhadap kereta api kurang menyenangkan. Penumpang berjubel-jubel, terlalu banyak pedagang berseliweran di dalam gerbong, dan kadangkala terasa agak kumuh. Mungkin akan berbeda kesan kalau tatkala itu saya selalu naik Taksaka.

Pada akhirnya kegiatan naik kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta berhenti seiring dengan kegagalan dalam seleksi tahap terakhir. Hal itu membuat saya fokus cari kerja di Yogyakarta. Apa hendak dikata? Takdir dari-Nya memang demikian. Saya mesti bekerja dan berkarya di kota yang konon kota pelajar ini. Hingga akhirnya saya ber-KTP Kota Yogyakarta. Yang lucunya, malah kemudian pindah kerja ke Solo.

Namun, bermula dari situlah saya dan kereta api berkawan dekat. Iya. Saya pada akhirnya menjadi penglajo Solo-Yogyakarta dengan kereta Prameks (Prambanan Ekspres). Tak tanggung-tanggung, saya bahkan akrab pula dengan HIK yang berlokasi tepat persis di depan pintu Stasiun Purwosari Solo.

Bagaimana tidak akrab kalau nyaris tiap sore nongkrong di HIK (angkringan gaya Solo) itu? Sekadar minum segelas susu jahe sembari menunggu jam keberangkatan Prameks ke Yogyakarta. Kadangkala sekalian makan nasi kucing juga. Pokoknya jangan sampai tidak punya tenaga cukup saat berebut masuk Prameks. Pun, saat berebut tempat duduk. Belum lagi kalau ternyata harus berdiri sampai Stasiun Yogyakarta.

Rutinitas tersebut berlangsung hingga saya keluar kerja. Mengapa keluar kerja? Apa gara-gara bosan naik Prameks? Tentu tidak. Saya keluar kerja sebab mau fokus mempersiapkan persalinan. Tatkala itu usia kehamilan saya hampir mencapai 7 bulan. Sudah merasa kerepotan menjadi penglajo Solo-Yogyakarta. Cemas juga kalau sewaktu-waktu mengalami kontraksi di perjalanan.

Itu terjadi tahun 2004. Yang ternyata hingga 12 tahun kemudian, saya baru kembali naik kereta api. Lama sekali 'kan? Lebih dari satu dekade. Percayalah. Perkara itung-itungan tahun tersebut valid sekali sebab momentumnya gampang diingat. Anak saya lahir tahun 2004 dan saat dia lulus SD, untuk pertama kalinya saya ajak ke Solo naik kereta api. Sebelumnya kalau ke Solo kami lebih memilih naik mobil travel.

Berdasarkan pengalaman satu dekade sebelumnya, saya pikir sungguh repot kalau mengajak anak kecil ber-Prameks ria. Terlebih kalau perginya cuma berdua dengan anak dan mesti berebutan tempat duduk dengan penumpang lain. Jadi ketika si bocah telah mandiri, barulah saya ajak naik kereta api.

Pertimbangannya, jikalau terpaksa berdiri selama satu jam dia bakalan kuat. Begitu juga andai kata kami duduk terpisah (tidak bersebelahan), dia sudah berani dan saya tak cemas. Oleh karena itu, saya sudah melakukan "briefing" kepada anak sebelum tiba di stasiun. Kalau dari jauh-jauh hari takutnya malah dia merasa ngeri duluan dan menolak naik kereta api.

Namun, sungguh kejutan bagi saya. Walaupun tatkala itu tiket Prameks masih dibeli secara on the spot dengan pembayaran tunai, kondisi kereta apinya sudah sangat bagus. Amat bertolak belakang dengan yang saya ceritakan kepada anak. Sampai-sampai dia bertanya, "Ini keretanya bagus 'kan? Kok tidak kayak cerita Bunda? Aku suka naik kereta api."

Saya ingat betul. Dalam perjalanan pertamanya dengan kereta api itu, anak saya antusias membaca nama-nama stasiun yang tertera di pintu gerbong. Jika sampai di sebuah stasiun, dia pun selalu celingukan mencari-cari papan nama stasiunnya.

Pintu yang informatif (Dokpri Agustina)
Pintu yang informatif (Dokpri Agustina)

Sudah pasti hal itu patut disyukuri. Kekhawatiran bahwa dia bakalan menolak kalau diajak ke Solo naik Prameks menguap begitu saja. Terbukti setelahnya kami beberapa kali ber-Prameks ria. Namun, lagi-lagi takdir berkata lain. Setelah menonton perayaan Imlek 2020 di Solo, sampai lama sekali saya tak pernah bepergian keluar kota. Apa penyebabnya? Pandemi Covid-19, dong.

Kurang lebih setahun setelah saya ber-Prameks ria dalam rangka Imlek 2020 tadi, Presiden Jokowi meresmikan pengoperasian Kereta Rel Listrik (KRL) Lintas Yogyakarta-Solo. Saat baca berita tentang peresmian tersebut saya bersyukur sekaligus kesal. Bersyukur sebab masih sempat mengenalkan Prameks kepada anak. Kesal sebab tidak tahu kalau si Prameks bakalan punah. Kalau tahu rencana itu 'kan saya bisa memotret dan memvideokannya sebanyak mungkin.

Tentu saja saya ingin segera mencoba naik KRL tersebut. Mulai cari-cari informasi bagaimana cara naiknya. Beli tiket dan protokol kesehatannya bagaimana? Maklumlah ya, ketika itu pandemi Covid-19 belum usai.

Setahun kemudian (2022) keinginan tersebut baru terlaksana. Berkat CLICKompasiana yang mengadakan acara CLICK Goes to Jogja dan bablas dolan ke Solo naik KRL. Namun, malam sebelum hari H saya sempat panik gara-gara teringat kalau tak punya KMT ataupun e-money.

Syukurlah ada kawan yang memberitahukan bahwa beli tiket KRL sudah bisa dengan GoPay, melalui Go Transit. Akan tetapi, saya kembali panik karena tidak menemukan Go Transit di aplikasi saya. Usut punya usut ketemulah penyebabnya. Ternyata aplikasinya belum saya up date.

Sudahlah. Pokoknya kalau solusinya GoPay, aman diri awak ini. Terusterang kerja sama KAI dengan GoPay inilah yang paling mengesankan bagi saya. Keren, keren. Amat memudahkan untuk orang-orang yang bergantung pada e-wallet GoPay. Hehe ...

Capture Go Transit (Dokpri Agustina)
Capture Go Transit (Dokpri Agustina)

Yes! Perjalanan dengan CLICKompasiana rupanya membuka era baru hubungan saya dengan KRL si pengganti Prameks. Setelah tahu cara beli tiketnya semudah itu, di kemudian hari saya rutin naik KRL.

Saya mencatat adanya hal lain yang mengesankan dari kehadiran KRL lintas Yogyakarta-Solo. Hal itu terkait dengan stasiun-stasiun kecil yang kini dipercantik dan difungsikan maksimal. Oh, itu sungguh melipat jarak.

Pengalaman saya begini. Dulu kalau hendak ke rumah adik yang berdomisili di Baki Sukoharjo, saya turun di Stasiun Purwosari Solo. Dari situ naik ojek ke rumah adik, yang arahnya balik ke barat. Jika hendak balik ke Yogyakarta, saya kembali naik ojek ke Stasiun Purwosari. Sementara sekarang saya bisa turun dan naik KRL dari Stasiun Gawok, yang notabene jaraknya lebih dekat dengan rumah adik. Tak perlu ikut KRL sampai ke timur.

Pengalaman paling baru terkait dengan stasiun kecil adalah ketika berkunjung ke Candi Sojiwan. Keinginan berkunjung ke candi tersebut terwujud sebab adanya Stasiun Brambanan. Dari situ kami tinggal berjalan kaki menuju Candi Sojiwan. Sebuah lokasi stasiun yang amat strategis bagi wisatawan pengguna transportasi umum.


Dokpri Agustina
Dokpri Agustina

Rupanya kisah saya bersama kereta api panjang juga. Mungkin sepanjang rangkaian gerbong menuju hatinya. Begitulah adanya. Sungguh tak terasa masa berjalan. P. T. KAI pun telah berproses sedemikian rupa untuk memenuhi kepuasan semua pelanggan.

Hasilnya? Terlepas dari beberapa kekurangan yang masih tersisa, konsumen (penumpang) telah banyak merasakan dampak baiknya. Digitalisasi membuat segalanya lebih praktis. Secara fisik stasiun-stasiun dan gerbong-gerbong kereta apinya saat ini bersih dan nyaman. Makin banyak pula jenis kereta api dan layanan yang ditawarkan kepada (calon) penumpang. Mulai dari yang luxury hingga yang ekonomis.

Para pegawai KAI juga ramah-ramah. Mereka sigap membantu penumpang dengan segala permasalahannya. Misalnya penumpang disabilitas dan penumpang gaptek yang kesulitan melakukan scan QR saat mau masuk/keluar stasiun.

Perkara yang berkaitan dengan digitalisasi serupa itu memang lumayan mencemaskan penumpang dari kalangan baby boomers dan generasi X. Untunglah petugas KAI-nya sekarang muda-muda. Berasal dari kalangan generasi milenial dan generasi Z yang akrab dengan internet. Jadinya klop untuk mengatasi kegaptekan penumpang dari era zadoel.

Petugas dalam perjalanan pun tak kalah sigap. Anda yang tergolong penumpang prioritas dijamin tak bakalan berdiri asalkan jumlah penumpang prioritasnya tidak membludak. Petugas senantiasa mengontrol situasi. Kalau KRL penuh dan ada penumpang prioritas yang berdiri, petugas tak segan meminta orang muda yang menduduki kursi prioritas untuk berdiri.

Perlu diketahui bahwa yang tergolong penumpang prioritas adalah kalangan lansia (usia 60 tahun ke atas), penyandang disabilitas, orang dewasa dengan anak, ibu hamil, anak-anak tanpa pendamping, dan penumpang yang sedang sakit.

Saya punya kisah menarik terkait kursi prioritas. Suatu ketika saya naik KRL dari sebuah stasiun kecil dan berdiri. Tak lama kemudian muncul petugas dari gerbong belakang. Dia tampak mengamati sekeliling dan ujungnya mengajak saya pindah ke gerbong belakang. Katanya, "Ada tempat duduk di gerbong belakang."

Saya pikir ada kursi kosong. Rupanya dia "mengusir" seorang cowok yang duduk di kursi prioritas. Walaupun sama-sama bukan penumpang prioritas, saya memang harus lebih diprioritaskan daripada cowok itu. Saya jelas-jelas perempuan dan lebih tua daripada dia.

Seketika saya tertawa-tawa dalam hati. Merasa menang sekaligus teringat nasib serupa di masa lalu. Saya juga pernah "diusir" dari kursi prioritas karena ada yang lebih berhak. Kiranya itulah definisi dari hidup terus berputar bagaikan roda. Kadangkala kita diusir, kadangkala juga mengusir.

Dua Pertanyaan

Ngomong-ngomong ada dua pertanyaan yang ingin saya sampaikan kepada Pak Didiek Hartantyo selaku Dirut P. T. KAI saat ini.

PERTAMA, apa jurus jitu yang dipergunakan untuk mengelola seluruh SDM yang tergabung dalam keluarga besar KAI? Sehingga masing-masing bisa bekerja dengan baik sesuai dengan jobdesk sekaligus mampu menjalin hubungan harmonis di antara mereka?

Sementara saat ini keluarga besar KAI terdiri atas generasi X, generasi milenial, dan generasi Z? Bahkan Pak Didiek sendiri termasuk ke dalam generasi perbatasan, yaitu akhir generasi baby boomers dan awal generasi X. Adakah trik tertentu untuk Mendidiek Jadi Lebih Baik yang menjadi andalan utama Pak Didiek?

KEDUA, wajah Pak Didiek mirip dengan salah satu calon wakil walikota Kota Yogyakarta. Itu sebuah kebetulan belaka ataukah faktanya, Pak Didiek memang bersaudara/berkerabat dengan calon wakil walikota tersebut?

Itulah dua pertanyaan saya untuk Pak Didiek Hartantyo. Semoga beliau berkenan menjawab.  

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun