Pengalaman saya begini. Dulu kalau hendak ke rumah adik yang berdomisili di Baki Sukoharjo, saya turun di Stasiun Purwosari Solo. Dari situ naik ojek ke rumah adik, yang arahnya balik ke barat. Jika hendak balik ke Yogyakarta, saya kembali naik ojek ke Stasiun Purwosari. Sementara sekarang saya bisa turun dan naik KRL dari Stasiun Gawok, yang notabene jaraknya lebih dekat dengan rumah adik. Tak perlu ikut KRL sampai ke timur.
Pengalaman paling baru terkait dengan stasiun kecil adalah ketika berkunjung ke Candi Sojiwan. Keinginan berkunjung ke candi tersebut terwujud sebab adanya Stasiun Brambanan. Dari situ kami tinggal berjalan kaki menuju Candi Sojiwan. Sebuah lokasi stasiun yang amat strategis bagi wisatawan pengguna transportasi umum.
Rupanya kisah saya bersama kereta api panjang juga. Mungkin sepanjang rangkaian gerbong menuju hatinya. Begitulah adanya. Sungguh tak terasa masa berjalan. P. T. KAI pun telah berproses sedemikian rupa untuk memenuhi kepuasan semua pelanggan.
Hasilnya? Terlepas dari beberapa kekurangan yang masih tersisa, konsumen (penumpang) telah banyak merasakan dampak baiknya. Digitalisasi membuat segalanya lebih praktis. Secara fisik stasiun-stasiun dan gerbong-gerbong kereta apinya saat ini bersih dan nyaman. Makin banyak pula jenis kereta api dan layanan yang ditawarkan kepada (calon) penumpang. Mulai dari yang luxury hingga yang ekonomis.
Para pegawai KAI juga ramah-ramah. Mereka sigap membantu penumpang dengan segala permasalahannya. Misalnya penumpang disabilitas dan penumpang gaptek yang kesulitan melakukan scan QR saat mau masuk/keluar stasiun.
Perkara yang berkaitan dengan digitalisasi serupa itu memang lumayan mencemaskan penumpang dari kalangan baby boomers dan generasi X. Untunglah petugas KAI-nya sekarang muda-muda. Berasal dari kalangan generasi milenial dan generasi Z yang akrab dengan internet. Jadinya klop untuk mengatasi kegaptekan penumpang dari era zadoel.
Petugas dalam perjalanan pun tak kalah sigap. Anda yang tergolong penumpang prioritas dijamin tak bakalan berdiri asalkan jumlah penumpang prioritasnya tidak membludak. Petugas senantiasa mengontrol situasi. Kalau KRL penuh dan ada penumpang prioritas yang berdiri, petugas tak segan meminta orang muda yang menduduki kursi prioritas untuk berdiri.
Perlu diketahui bahwa yang tergolong penumpang prioritas adalah kalangan lansia (usia 60 tahun ke atas), penyandang disabilitas, orang dewasa dengan anak, ibu hamil, anak-anak tanpa pendamping, dan penumpang yang sedang sakit.
Saya punya kisah menarik terkait kursi prioritas. Suatu ketika saya naik KRL dari sebuah stasiun kecil dan berdiri. Tak lama kemudian muncul petugas dari gerbong belakang. Dia tampak mengamati sekeliling dan ujungnya mengajak saya pindah ke gerbong belakang. Katanya, "Ada tempat duduk di gerbong belakang."
Saya pikir ada kursi kosong. Rupanya dia "mengusir" seorang cowok yang duduk di kursi prioritas. Walaupun sama-sama bukan penumpang prioritas, saya memang harus lebih diprioritaskan daripada cowok itu. Saya jelas-jelas perempuan dan lebih tua daripada dia.