Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kabar Buruk dari Sebuah Buku Terbitan Tahun 1980

28 September 2024   17:54 Diperbarui: 28 September 2024   19:44 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kiranya hal ini bisa disebut kabar buruk. Betapa tidak buruk? Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1980. Sementara penyusunannya pada tahun 1973. Berarti sudah puluhan tahun silam. Sudah setengah abad malahan. Jadi, mengapa problemanya tidak kunjung teratasi? Bukankah ini menunjukkan bahwa kita kurang serius dalam menuntaskan sebuah masalah super penting?

Andai kata sejak tahun 1980-an masalah kegemaran dan kemampuan membaca anak-anak SD kelas rendah mulai dibenahi (sebagai respons atas buku ini), tentu sekarang masyarakat Indonesia tidak minim literasi. Setidaknya tidak keterlaluan minimnya. Jadi, tidak bakalan mudah termakan hoaks. Tidak pula gampang nyolot hanya gara-gara membaca judul berita yang clickbait.

Pada buku cetakan ketiga ini terdapat stempel khusus di pojok kanan atas. Bertuliskan informasi bahwa buku yang bersangkutan milik Departemen P dan K. Tidak diperdagangkan. Dasar hukumnya juga dicantumkan, yaitu Inpres Nomor 4 Tahun 1982.

Apa artinya? Artinya, buku ini disebarluaskan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Yang berdasarkan isinya, saya yakini targetnya para guru. Terkhusus guru SD. Tujuannya mereka bisa terinspirasi sehingga mampu mempraktikkan isi buku ini dalam mengajar dan mendidik siswa.

Akan tetapi, berhubung di era sekarang kemampuan literasi bangsa kita masih begini-begini saja, mau tidak mau saya menjadi curiga bahwa niat mulia pemerintah orde baru melalui Departemen P dan K dahulu tidak direspons dengan sungguh-sungguh. Mungkin ada guru yang kemudian lebih serius membina kegemaran membaca para siswanya. Sesuai dengan instruksi. Hanya saja, jumlahnya tampaknya tak banyak.

Apa boleh buat? Hingga ujungnya sekarang ini. Sebagaimana yang kita lihat bersama, memprihatinkan sekali kemampuan literasi kita.

Seyogianya kita tidak mengkambinghitamkan internet dan medsos. Jika sejak dini telah ditanamkan gemar-butuh membaca pada siswa, pastilah tak ada masalah. Kemampuan literasinya bakalan tetap solid. Mungkin jumlah buku berbentuk fisik yang dibaca berkurang. Namun, jangan lupa. Sekarang ini sudah banyak buku dan perpustakaan digital.

Nah. Bukunya digital atau tidak, itu cuma masalah sarana. Sementara sarana bisa beralih bentuk sesuai dengan perkembangan zaman. Esensinya dari masa ke masa tetaplah cinta buku, cinta membaca. Jadi, tak usahlah menyalahkan internet. Yang salah itu manusianya. Kita.

Kita sudah tahu sama tahulah, ya. Minat baca masyarakat Indonesia memang jauh lebih rendah daripada negara-negara lain. Wajar kalau kemudian diadakan momentum khusus untuk mendongkrak minat bacanya.

September ditahbiskan sebagai Bulan Gemar Membaca dan tanggal 14 September sebagai Hari Kunjung Perpustakaan. Dua perayaan tersebut memang saling terkait dan bertujuan sama, yaitu meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia.

Namun, rupanya ada fakta yang sangat unik. Meskipun minat baca masyarakatnya tercatat rendah, Indonesia pernah menjadi negara yang produktif dalam menerbitkan buku. Anda tentu masih ingat berita tentang menipisnya ketersediaan ISBN kita tempo hari. Nah. Bukankah itu sesuatu yang kontradiktif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun