Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Mencurinya di Halaman Gereja, Menikmatinya di Pelataran Masjid

31 Maret 2024   23:07 Diperbarui: 31 Maret 2024   23:14 1651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan ketika saya dan tim JWT di Gereja Bintaran Yogyakarta (Dokpri Agustina)

Ada banyak cerita toleransi yang saya ketahui dan alami. Mulai dari toleransi beragama hingga toleransi dalam hal-hal berbeda lainnya. Maklumlah, ya. Negara kita ini 'kan majemuk. Terdiri atas banyak agama, suku, budaya, dan tradisi. Namun berhubung tulisan ini dibuat dalam rangka Diari Ramadan, tentu saja fokusnya pada sikap toleransi dalam beragama.

Demikianlah adanya. Sebab masyarakat kita majemuk, mau tak mau toleransi merupakan tindakan sehari-hari. Bukan cuma omon-omon dalam tataran idealita dan teori. Pun, tidak selalu berbentuk gerakan besar. Pokoknya normal saja. Semua berlangsung otomatis seperti saat kita bernapas.

Salah satu contoh paling nyata adalah cerita terkait azan. Di Indonesia tak asing lagi kalau dalam sehari semalam terdengar suara azan sebanyak 5 kali. Yang mendengarnya siapa saja. Tidak hanya orang yang beragama Islam. Kerennya, hal itu menjadi sebuah kewajaran. Tidak kemudian menjadi poin pemantik permusuhan antaragama.

Ada pula cerita toleransi dari GIGI. Band yang digawangi Armand Maulana ini punya album religi Islam, sementara gitarisnya (Dewa Budjana) beragama Hindu. Tatkala tur ke pesantren, Dewa Budjana tetap ikut. Pihak pesantren pun menerimanya dengan baik. Mematahkan kecemasan sang gitaris yang sebelumnya tak pernah berinteraksi dengan kaum santri.

Selanjutnya, penyusunan rundown acara-acara kerap disesuaikan dengan waktu shalat. Selama Ramadan pun ada penyesuaian-penyesuaian jadwal masuk untuk anak sekolah dan pekerja kantoran. Jangan lupakan pula, fenomena Perang Takjil yang viral tahun ini, yang sesungguhnya selalu berlangsung tiap Ramadan.

Nah. Kurang apa lagi? Kalau didata satu per satu, bakalan panjang senarai cerita toleransi di negeri ini.

Uniknya, sikap toleransi yang terjadi tak melulu dalam nuansa serius (normal) seperti contoh-contoh di atas. Tak jarang malah ada sikap-sikap toleransi yang kocak. Misalnya ketika teman nonis (bukan muslim) dimanfaatkan sebagai tukang cicip ketika gengs mainnya yang muslim cari takjil sebelum azan Magrib. Kiranya inilah posisi dimanfaatkan yang menyenangkan sekaligus mengandung pesan perdamaian antarumat beragama.

Tentang dimanfaatkan, saya juga pernah dimanfaatkan oleh seorang teman yang beragama Hindu. Tatkala itu dia ingin mencicipi martabak bikinan ibu seorang teman kami. Kulit martabak dan isian sayurannya bisa dia konsumsi, tetapi daging sapinya harus dia sisihkan. Kalau hal ini dilakukannya, tentu dia akan diomeli. Alhasil, dimintanya saya sebagai solusi. Kami duduk di pojokan membongkar martabak. Isian dagingnya saya makan, kulit martabaknya jatah dia. Haha!

Ada pula kisah masa kecil teman saya yang hobi nyolong jambu di halaman gereja. Dia beragama Islam, sedangkan informannya salah satu kawan mainnya yang merupakan jemaat gereja tersebut. Sungguh the real kerja sama antarumat beragama 'kan? Konyolnya mereka menikmati jambu curian itu di pelataran masjid. Kebetulan lokasi masjid berada di belakang gereja. Nah, lho. Apa dosanya enggak dobel tuh?

O, ya. Ada cerita kocak satu lagi. Saya menemukannya di Tiktok. Begini. Ada VT yang berisi wawancara dengan beberapa bocah. Si pewawancara bertanya, "Dosa apa yang pernah kamu bikin saat Ramadan?"

Dengan cengar-cengir salah satu bocah menjawab, "Ikut mengambil takjil gratis dan ikut tarawih."

Yang mewawancarai bingung dan berkata, "Heh? Di mana letak dosanya?"

Si bocah menjawab, "Aku Kristen."

Naaah! Hanya terjadi di Indonesia 'kan? Hehe ...
***

Toleransi memang bukan barang baru di Indonesia. Jadi selain yang telah saya sampaikan di atas, sudah pasti masih amat banyak cerita toleransi di luaran sana. Begitulah adanya. Sesungguhnya cerita toleransi selalu ada, seiring dengan kemajemukan yang melekat pada bangsa Indonesia. Secara natural dari hati.

Jika kemudian muncul riak-riak yang sedikit banyak melunturkan gaya hidup bertoleransi, apa boleh buat? Yang terpenting, mari kembali mempraktikkan gaya hidup tersebut. Demi keutuhan dan perdamaian bangsa.

Bagaimanapun dan sampai kapan pun kita tak bisa menanggalkan gaya hidup bertoleransi. Sebab kenyataannya, kita memang majemuk di segala lini. Itu sebuah fakta yang tak terelakkan.

Demikianlah beberapa cerita toleransi yang saya ketahui. Kalau Anda punya cerita toleransi apa? Yuk, sampaikan di kolom komentar.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun