Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pesan Hijau dari Donat Gosong

4 Februari 2024   22:55 Diperbarui: 4 Februari 2024   22:55 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini sebuah cerita tentang cara saya berjuang menjaga lingkungan dari limbah domestik  ...

Saya terhenyak begitu membalik donat-donat yang sedang saya panggang. Alamaaak! Tidak ditinggal-tinggal kok ya bisa gosong? Sembari bertanya-tanya begitu, saya membetulkan letak satu donat. Setelah itu iseng mengintip bagian bawahnya. Heh? Sudah gosong juga? Cepat sekali gosongnya? Alhasil, saya segera mengangkat teflon dari kompor. Cepat-cepat memindahkan isinya ke piring.

Saya merutuki diri sendiri yang bahkan tak berdaya di hadapan donat frozen. Saya sudah bersiaga menunggu di depan kompor. Di tangan pun telah siap serok untuk membolak-balik. Namun, kenapa donat-donat itu masih gagal matang secara cantik?

Kurang lebih 30 menit kemudian saya teringat sesuatu. Rupanya secangkir kopi panas yang saya nikmati bersama satu donat gosong cukup ampuh untuk menjernihkan pikiran.

Bergegas saya buka kulkas dan mengambil sisa donat frozen. Mencermati kemasannya. Lalu, membaca petunjuk memasak di bagian belakang kemasan. Ternyata durasi menggorengnya cuma 2-3 menit dengan api kecil.

Saya pun nyengir kuda. Pantas saja donat-donat yang saya panggang gosong. Durasi memanggangnya kelebihan 100%. Apa hendak dikata? Saya pikir aturannya digoreng selama 5 menit. Itulah sebabnya saya memanggang selama 5 menit. Mestinya 'kan cuma selama 2-3 menit. Sudah begitu, tombol on kompor listrik yang saya pakai berada di posisi paling kanan. Yang artinya maksimal alias api besar.

Iya. Anda tidak salah baca. Aturannya memang digoreng. Seluruh bagian donat mestinya terendam dalam minyak goreng panas. Akan tetapi, saya sengaja menyalahi aturan dengan cara memanggangnya. Mengapa? Karena demi menghindari adanya limbah domestik. Memanggang itu 'kan cuma butuh minyak goreng untuk dioleskan ke seluruh bagian donat. Jadi, tidak bakalan menimbulkan minyak jelantah.

Bayangkan apa yang terjadi jika aturan menggoreng itu saya taati, sedangkan yang digoreng cuma 3 donat. Pastilah saya akan punya minyak jelantah (minyak goreng bekas) yang lumayan banyak. Yang di kemudian hari berpotensi menjadi limbah domestik.

Bagi orang yang rutin memasak, punya minyak jelantah tak terlalu menimbulkan masalah. Sebab demi penghematan, minyak jelantah itu masih bisa dipergunakan satu kali lagi tanpa risiko kesehatan. Cukup disimpan sehari atau dua hari saja, niscaya bakalan terpakai.

Namun bagi saya yang nyaris tak pernah memasak, punya minyak jelantah menjadi beban mental tersendiri. Mungkin terdengar lebay, tetapi sesungguhnya merupakan fakta. Hal ini berkaitan dengan komitmen saya untuk menerapkan gaya hidup zero waste, terkhusus zero food waste.

Pengalaman membuktikan bahwa punya minyak jelantah bikin saya repot. Ada rasa terbebani. Saya merasa dipaksa untuk segera menggoreng sesuatu lagi. Jangan sampai minyak jelantah tersebut kelamaan tersimpan, hingga akhirnya terbuang percuma gara-gara tak lagi layak konsumsi.

Kalau jumlahnya sedikit, misalnya cuma seukuran untuk bikin nasi goreng sepiring atau telur dadar 2 butir, masih amanlah. Menghabiskannya mudah. Yang jadi masalah kalau minyak jelantahnya banyak. Tentu perlu beberapa kali sesi memasak untuk menghabiskannya sedikit demi sedikit. Itu merepotkan sekali bagi saya yang jarang makan di rumah.

Memang bisa saja langsung saya gunakan untuk mematangkan sepiring gorengan. Akan tetapi, yang makan siapa? Malah gantian gorengannya yang terancam terbuang percuma. Ujung-ujungnya mengatasi masalah dengan cara membuat masalah baru 'kan?

Begitulah adanya. Memang serumit itu saya memikirkan pencegahan terjadinya limbah domestik berupa minyak jelantah. Pun, limbah makanan pada umumnya. Mungkin Anda seketika berkomentar, "Ribet amat. Kalau minyak jelantahnya tak layak dikonsumsi lagi 'kan tinggal dibuang?"

Nah! Jawabannya kembali pada komitmen saya untuk menerapkan gaya hidup zero waste, terkhusus zero food waste. Daripada membuang minyak jelantah, lebih baik meminimalkan pemakaian minyak goreng.

Sejauh bahan makanan yang hendak dimasak bisa dimatangkan dengan cara dipanggang, yang cuma perlu sedikit minyak goreng atau mentega, saya akan memanggangnya. Lebih baik saya melanggar aturan cara memasak daripada menaatinya dan puyeng gara-gara dihantui minyak jelantah.

Berhemat dan Berbagi Demi Menjaga Lingkungan

Seorang teman tiba-tiba menghadiahi seliter minyak goreng. Rupanya dia salah sangka. Dipikirnya saya hobi memanggang makanan sebab sedang ketat berhemat. Adapun sesungguhnya, saya sedang berupaya untuk ikut menjaga lingkungan.

Perlu diketahui bahwa limbah minyak jelantah tidak boleh dibuang sembarangan. Mengapa? Karena merupakan jenis limbah B3 yang dapat membahayakan lingkungan.

Kiranya banyak orang yang belum tahu fakta tersebut. Alhasil, tanpa perasaan bersalah mereka buang-buang minyak jelantah sembarangan. Sementara sesungguhnya, limbah domestik yang satu itu dapat dijual bila telah terkumpul banyak. Sebab faktanya, minyak jelantah bisa didaur ulang menjadi beberapa produk yang bermanfaat.

Baik. Mari kembali ke upaya saya dalam menjaga lingkungan. Apa boleh buat? Sebagai warga negara biasa di kalangan akar rumput, hanya gaya hidup zero waste yang bisa saya lakukan untuk ikut menjaga lingkungan dari limbah domestik. Itu pun belum maksimal. Limbah air cucian yang mengandung deterjen masih saya buang begitu saja ke saluran pembuangan air.  

Saya baru bisa konsisten menerapkan zero food waste, diet plastik dengan cara membawa wadah atau tas dari rumah bila hendak membeli makanan atau berbelanja, serta memilah sampah organik dan anorganik. Dengan demikian, yang saya buang ke tong sampah kampung cuma sampah residu.

Sampah anorganik yang terkumpul sejatinya hendak saya setorkan ke bank sampah kampung. Akan tetapi, berhubung bank sampah kampung nyaris tidak pernah buka, akhirnya saya jual ke pengepul rongsokan keliling. Harus diakui bahwa keberadaan pengepul keliling itu amat solutif. Sangat terbantu karena rumah tidak dipenuhi sampah anorganik yang kelamaan menunggu bank sampah buka.

Semula saya menjual semua sampah anorganik yang terkumpul. Namun, belakangan saya hanya menjual yang berupa kertas dan kardus. Yang berupa botol plastik dan benda lain yang tahan air saya masukkan ke dalam kantong plastik bening. Kemudian saya ikat kuat-kuat supaya aman dari kotoran dan hujan. Lalu, saya letakkan di dekat tong sampah kampung.

Memang sengaja tidak saya masukkan ke dalam tong walaupun tong tidak penuh.
Mengapa? Karena agar langsung terlihat oleh tukang angkut sampah atau pemulung. Barangsiapa yang menemukannya duluan, berarti dia itulah yang sedang beruntung. Dia mendapatkan rezeki nomplok berupa rongsokan layak jual. Sementara saya gembira sebab dapat berbagi.

Terusterang saja, semula saya tidak kepikiran untuk berbagi sampah anorganik (rongsokan) dengan tukang sampah atau pemulung. Hingga suatu ketika saya melihat seorang pemulung mengais-ais tong sampah. Dia tampak mencari sesuatu, tetapi kemudian pergi tanpa mengambil apa pun. Karena penasaran, sebelum dia berlalu saya bertanya, "Cari apa, Pak?"

"Botol. Sekarang susah cari rongsokan. Aturan pemerintah bikin susah. Tak ada lagi orang yang buang botol dan kertas."

Saya terhenyak mendengar jawaban tersebut. Bahu ini seperti ditepuk keras-keras. Diingatkan bahwa kebijakan pilah sampah yang secara umum dipandang bagus, ternyata punya dampak tidak mengenakkan bagi para pemulung. Sumber nafkah mereka terganggu. Menjadi berkurang secara drastis karena orang-orang dilarang membuang sampah anorganik dan organik ke depo sampah.

Kiranya dampak tersebut lupa diperhitungkan. Oleh karena itu, saya kemudian memutuskan untuk berbagi sampah anorganik dengan pemulung. Karena tukang sampah rupanya juga mengumpulkan rongsokan sebagai penghasilan tambahan, pada akhirnya ya seperti yang terjadi sekarang. Saya berbagi sampah anorganik dengan keduanya.

Tentu saja kesadaran saya untuk konsisten memilah sampah tidak datang tiba-tiba. Sejujurnya semua bermula dari adanya Gerakan Zero Sampah Anorganik yang dijalankan oleh pemkot Yogyakarta sejak awal 2023. Istilahnya bermula dari keterpaksaan, lambat-laun menjadi kebiasaan. Adapun saya dan segenap warga menjadi terbiasa memilah sampah sebab telah disadarkan tiap saat. Bagaimana tidak sadar kalau di berbagai lokasi ditempelkan poster serupa ini?

Dokumentasi DLH Kota Yogyakarta
Dokumentasi DLH Kota Yogyakarta
Demikian itulah cara saya menjaga lingkungan dari limbah domestik. Dimulai dari hal yang dapat saya lakukan secara konsisten. Yang mungkin tampak receh, tetapi sebenarnya berdampak besar dalam pemanfaatan energi berkelanjutan di Indonesia. Tentu asalkan Anda sekalian juga mau mengupayakan hal yang sama.

Penutup

Saya menatap dua donat gosong yang tersisa di piring. Tentu saya tidak akan membuangnya. Untunglah walaupun kedua sisi luarnya menghitam, bagian tengahnya masih kecokelatan. Citarasanya pun masih sebagaimana laiknya donat normal.

Hanya saja, ada sedikit hal yang saya sesali. Karena durasi memanggangnya kelebihan 100%, berarti telah terjadi pemborosan pemakaian listrik. Hehe .... Dasar emak-emak hemat tak mau rugi sepeser pun. Namun, ada sisi positifnya juga penyesalan serupa itu. Paling tidak bermodalkan semangat tak mau rugi itulah, perjuangan saya dalam menjaga lingkungan dari limbah domestik menjadi terasa lebih ringan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun