Namun ketika kemudian ada "intimidasi" dari anak, mendadak hidup yang berat ini menjadi kian berat. 'Kan saya ikut lombanya tidak lagi dengan semangat nothing to loose. Tujuannya harus menang. Menangnya pun harus yang hadiahnya cokelat.
Alamak! Itu rumit. Â Pada akhirnya kami membuat kesepakatan. Â Saya berjanji untuk berjuang maksimal agar memenangkan cokelat. Sementara dia berjanji untuk tidak sewot kalau saya kalah. Begitu pula kalau menang, tetapi hadiahnya kebagian yang berupa buku.
Tentu langkah selanjutnya setelah bersepakat adalah menjalankan rencana. Menulis.
Sebelum menulis saya berdoa secara khusus. Memohon panduan-Nya supaya segera menemukan ide tulisan yang menarik, yang sesuai dengan tema lomba.
Saat telah tuntas menulis, kemudian mengunggahnya di Kompasiana, lega sekali rasa hati ini. Plus teriring doa supaya tulisan tersebut sukses memikat hati para juri.
Selama masa menunggu pengumuman hasil lomba, saya dilanda keresahan tipis-tipis. Kadangkala terserang virus H2C (Harap Harap Cemas), kadangkala tidak terlampau memikirkannya.
Syukurlah keresahan selama masa penantian pengumuman hasil lomba terbayar lunas. Target kami tercapai. Nama saya tercatat sebagai pemenang yang berhasil mendapatkan cokelat. Alhamdulillah.
Begitu paketan hadiah sampai di tangan, anak saya keesokan hari membawa sebagian besarnya ke sekolah. Tatkala itu sekolahnya sudah mulai memberlakukan PTM (Pertemuan Tatap Muka) terbatas. Jadi, cokelat tersebut menjadi semacam sinyal persahabatan kepada teman-teman sekelas. Menjadi penyerta perjumpaan langsung mereka, setelah sekian lama bersekolah daring akibat pandemi Covid-19.
Siapa yang menyangka kalau kurang lebih dua tahun kemudian, CLICKompasiana kembali mengadakan lomba menulis yang berhadiah cokelat. Tentu dengan penuh semangat saya bertekad mengikutinya. Seperti sebelumnya, anak saya pun "memaksa" supaya saya menang.
Hasilnya? Syukurlah saya terpilih lagi sebagai pemenang cokelat. Ini penampakan cokelatnya.