Tepat tanggal 7 Oktober 2023, Kota Yogyakarta merayakan ulang tahun yang ke-267. Tentu saja sebagai kota yang istimewa dan "istimewa", perayaan ulang tahun Kota Yogyakarta diselenggarakan dengan meriah.
Sejak awal Oktober telah digelar berbagai macam acara. Salah satunya FAY (Festival Angkringan Yogyakarta) yang berlokasi di Plaza Ngasem Yogyakarta. Adapun pelaksanaannya selama 3 hari berturut-turut. Mulai dari tanggal 6 hingga 8 Oktober 2023.
Perlu diketahui, FAY dalam rangka HUT Kota Yogyakarta baru kali ini diadakan. Jika ternyata penyelenggaraannya sukses, disambut antusias oleh masyarakat, tahun berikutnya bakalan dipertimbangkan untuk diadakan lagi. Demikian janji Kepala Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta, Ibu Veronica E. Ismuwardani.
Janji tersebut disampaikan sesaat sebelum FAY 2023 dibuka secara resmi oleh Pj Walikota Yogyakarta, Bapak Singgih Raharjo. Pada Jumat, tanggal 6 Oktober 2023 lalu, di Plaza Ngasem.
angkringan diangkat sebagai tema sebab menurut pihak panitia penyelenggara, trennya sedang kembali naik setahun belakangan.
FAY merupakan buah dari kerja sama antara Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta dan Gekraf (Gerakan Ekonomi Kreatif) Nasional. AdapunSelain itu angkringan tercantum dalam puisi karya Penyair Joko Pinurbo (JokPin), yang sangat sering dirapalkan manakala orang menyebut Yogyakarta, yakni bahwa Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.
Pihak panitia penyelenggara lebih lanjut mengatakan bahwa Yogyakarta butuh ikon baru dan angkringan dirasa sebagai ikon yang tepat. Tujuannya menyelamatkan citra angkringan agar tak tergerus oleh coffee shop yang populasinya belakangan berkembang pesat di Yogyakarta.
Ibu Veronica E. Ismuwardani dalam sambutannya menyatakan bahwa angkringan sesuai dengan gaya hidup masyarakat Yogyakarta. Jadi, dianggap cocok untuk membranding Kota Yogyakarta.
Beliau pun menyatakan bahwa angkringan tidak hanya tentang budaya kuliner dengan harga murah, tetapi juga mengenai pergaulan sosial tanpa sekat. Orang bisa mengobrolkan apa saja dengan bebas dan nyaman di angkringan.
Mendengarkan semua penuturan itu, saya cuma bisa termangu sembari menatap langit senja. Kebetulan tempat duduk saya di bagian timur panggung, yang berarti saya menghadap ke ufuk barat.
Selintas rasa romantis melintas di jiwa. Apa yang dikatakan oleh Ibu Veronica tidak salah. Rencana untuk menjadikan angkringan sebagai branding Kota Yogyakarta pun tidak salah. Malah kalau dipikir-pikir, angkringan telah sekian lama menjadi ikon Kota Yogyakarta. Bukan lagi sekadar rencana walaupun tanpa deklarasi resmi.
Pada masanya dulu, angkringan adalah tempat nglithih yang seru. Egaliter. Tanpa sekat. Nyaman dan memang semengasyikkan itu nongkrong di angkringan!
Harap tenang. Tak perlu Anda buru-buru panik gara-gara angkringan saya nyatakan sebagai tempat nglithih yang seru. Nglithih memang berarti melakukan tindakan klithih. Akan tetapi, nglithih di sini berarti keluar main alias dolan tanpa tujuan pasti. Bukan nglithih yang membawa senjata tajam buat cari lawan (musuh).
Warga kampung, mahasiswa perantauan, dan siapa saja bisa bercanda di angkringan. Dari obrolan receh hingga obrolan bertema berat asyik-asyik saja dilakukan di angkringan.
Di tengah kerumunan pengunjung, di depan panggung Plaza Ngasem yang sedang menampilkan atraksi Pjs Walikota Yogyakarta menyalakan anglo sebagai tanda resmi dibukanya Festival Angkringan Yogyakarta 2023, saya terkenang masa lalu. Saat masih kuliah dan sesekali ikut nongkrong seru di angkringan.
Pada masa itu, belum ada istilah angkringan naik kelas. Atau, angkringan premium. Atau, angkringan dengan label apalah-apalah lainnya.
Pada masa itu, angkringan ya angkringan. The real angkringan. Yang menurut pengamatan saya, sekarang the real angkringan cuma ada di kampung-kampung. Yang pengunjungnya mayoritas warga setempat. Nyaris tak pernah ada mahasiswa dari generasi Z yang nimbrung di situ.
Semoga model angkringan yang tengah direncanakan sebagai ikon Kota Yogyakarta adalah yang the real angkringan. Bukan kafe modern yang desain interiornya dibikin menyerupai suasana di angkringan.
Tiba-tiba sehelai daun gugur menyerempet wajah. Membuat kenangan saya tentang angkringan tempo doeloe ambyar. Saya pun kembali fokus ke panggung FAY.
Rupanya sedang ada tanya-jawab antara Pjs Walikota Yogyakarta (Bapak Singgih Raharjo) dengan beberapa jomlo yang bersedia naik panggung. Semula saya mengira bahwa mereka hendak saling diperjodohkan. Eh, rupanya tidak.
Para jomlo itu ternyata akan diberi hadiah. Syaratnya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Bapak Singgih. Namun, syarat tersebut ternyata mesti dilanggar.
Apa hendak dikata? Tak ada yang bisa menjawab dengan benar, padahal pertanyaan-pertanyaan beliau mudah. Salah satunya ini, "Sebutkan 3 penanda Sumbu Filosofi!"
Hanya diminta menyebutkan penandanya. Bukan disuruh menjelaskan makna Sumbu Filosofinya. Pun, sedang menjadi berita hangat terkait penetapannya sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO. Kok tidak bisa? Terlebih ketiga penanda yang dimaksud adalah spot-spot populer, yaitu Tugu Golong Gilig, Kraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Betapa ironis! Sementara jajaran pemerintahan dan Kraton Yogyakarta sedang euforia dengan Sumbu Filosofi yang bakalan lebih mendunia, mengapa para jomlo itu tidak paham tentangnya?
Sementara sewaktu ditanya domisili, mereka memang berdomisili di Yogyakarta. Bukan wisatawan luar daerah yang kebetulan singgah di FAY 2023 itu. Saya dan seorang teman kompasianer yang sekaligus anggota #purapurajogging merasa gemas sekali.
Terpantik oleh kegemasan itulah, saya kemudian punya harapan lanjutan terkait branding angkringan untuk Kota Yogyakarta.
Harapan saya begini. Pemkot Kota Yogyakarta mestinya dapat memanfaatkan angkringan untuk melakukan sosialisasi Sumbu Filosofi. Dal bayangan saya, nantinya ada orang Disbud dan Dispar yang diterjunkan ke angkringan-angkringan untuk mengenalkan Sumbu Filosofi ke khalayak.
Selama ini Pemda DIY memang sudah banyak melakukan usaha untuk mengampanyekan Sumbu Filosofi kepada masyarakat, baik secara daring maupun luring. Terutama  kepada masyarakat yang berdomisili di kawasan heritage penuh makna tersebut.
Akan tetapi, rupanya usaha tersebut belum menuai hasil maksimal. Bukankah itu mengindikasikan kalau sosialisasi kurang massif? Para jomlo yang di panggung itu buktinya. Adapun bukti lain bisa dicek di jagad maya. Betapa masih banyak warganet Yogyakarta yang belum paham tentang Sumbu Filosofi.
Sore telah berganti malam. Saya amati hingga hari ketiga (hari terakhir), pengunjung masih memadati FAY. Tentu mereka tidak semata-mata berharap memperoleh nasi kucing gratis yang memang tersedia. Sebab kenyataannya, jauh lebih banyak pengunjung yang membeli jajanan lain dan itu tidak gratis.
Kiranya memang benar bahwa masyarakat Yogyakarta gemar nglithih ke angkringan. Karena itu tidak ada salahnya kalau secara resmi di kemudian hari nanti, angkringan ditahbiskan menjadi ikon Yogyakarta melalui sebuah prosesi seremonial apalah-apalah.
Nah! Kalau menurut Anda bagaimana? Apakah Festival Angkringan Yogyakarta yang saya ceritakan ini, seketika bikin Anda terkenang pada sepotong masa lalu di Yogyakarta?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H