Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Festival Angkringan Yogyakarta (FAY) 2023, Romantisme Masa Lalu, dan Sosialisasi Sumbu Filosofi

8 Oktober 2023   14:36 Diperbarui: 8 Oktober 2023   14:45 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya diminta menyebutkan penandanya. Bukan disuruh menjelaskan makna Sumbu Filosofinya. Pun, sedang menjadi berita hangat terkait penetapannya sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO. Kok tidak bisa? Terlebih ketiga penanda yang dimaksud adalah spot-spot populer, yaitu Tugu Golong Gilig, Kraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.

Betapa ironis! Sementara jajaran pemerintahan dan Kraton Yogyakarta sedang euforia dengan Sumbu Filosofi yang bakalan lebih mendunia, mengapa para jomlo itu tidak paham tentangnya?

Sementara sewaktu ditanya domisili, mereka memang berdomisili di Yogyakarta. Bukan wisatawan luar daerah yang kebetulan singgah di FAY 2023 itu. Saya dan seorang teman kompasianer yang sekaligus anggota #purapurajogging merasa gemas sekali.

Terpantik oleh kegemasan itulah, saya kemudian punya harapan lanjutan terkait branding angkringan untuk Kota Yogyakarta.

Harapan saya begini. Pemkot Kota Yogyakarta mestinya dapat memanfaatkan angkringan untuk melakukan sosialisasi Sumbu Filosofi. Dal bayangan saya, nantinya ada orang Disbud dan Dispar yang diterjunkan ke angkringan-angkringan untuk mengenalkan Sumbu Filosofi ke khalayak.

Selama ini Pemda DIY memang sudah banyak melakukan usaha untuk mengampanyekan Sumbu Filosofi kepada masyarakat, baik secara daring maupun luring. Terutama  kepada masyarakat yang berdomisili di kawasan heritage penuh makna tersebut.

Akan tetapi, rupanya usaha tersebut belum menuai hasil maksimal. Bukankah itu mengindikasikan kalau sosialisasi kurang massif? Para jomlo yang di panggung itu buktinya. Adapun bukti lain bisa dicek di jagad maya. Betapa masih banyak warganet Yogyakarta yang belum paham tentang Sumbu Filosofi.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Sore telah berganti malam. Saya amati hingga hari ketiga (hari terakhir), pengunjung masih memadati FAY. Tentu mereka tidak semata-mata berharap memperoleh nasi kucing gratis yang memang tersedia. Sebab kenyataannya, jauh lebih banyak pengunjung yang membeli jajanan lain dan itu tidak gratis.

Kiranya memang benar bahwa masyarakat Yogyakarta gemar nglithih ke angkringan. Karena itu tidak ada salahnya kalau secara resmi di kemudian hari nanti, angkringan ditahbiskan menjadi ikon Yogyakarta melalui sebuah prosesi seremonial apalah-apalah.

Nah! Kalau menurut Anda bagaimana? Apakah Festival Angkringan Yogyakarta yang saya ceritakan ini, seketika bikin Anda terkenang pada sepotong masa lalu di Yogyakarta?

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun