Hanya diminta menyebutkan penandanya. Bukan disuruh menjelaskan makna Sumbu Filosofinya. Pun, sedang menjadi berita hangat terkait penetapannya sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO. Kok tidak bisa? Terlebih ketiga penanda yang dimaksud adalah spot-spot populer, yaitu Tugu Golong Gilig, Kraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Betapa ironis! Sementara jajaran pemerintahan dan Kraton Yogyakarta sedang euforia dengan Sumbu Filosofi yang bakalan lebih mendunia, mengapa para jomlo itu tidak paham tentangnya?
Sementara sewaktu ditanya domisili, mereka memang berdomisili di Yogyakarta. Bukan wisatawan luar daerah yang kebetulan singgah di FAY 2023 itu. Saya dan seorang teman kompasianer yang sekaligus anggota #purapurajogging merasa gemas sekali.
Terpantik oleh kegemasan itulah, saya kemudian punya harapan lanjutan terkait branding angkringan untuk Kota Yogyakarta.
Harapan saya begini. Pemkot Kota Yogyakarta mestinya dapat memanfaatkan angkringan untuk melakukan sosialisasi Sumbu Filosofi. Dal bayangan saya, nantinya ada orang Disbud dan Dispar yang diterjunkan ke angkringan-angkringan untuk mengenalkan Sumbu Filosofi ke khalayak.
Selama ini Pemda DIY memang sudah banyak melakukan usaha untuk mengampanyekan Sumbu Filosofi kepada masyarakat, baik secara daring maupun luring. Terutama  kepada masyarakat yang berdomisili di kawasan heritage penuh makna tersebut.
Akan tetapi, rupanya usaha tersebut belum menuai hasil maksimal. Bukankah itu mengindikasikan kalau sosialisasi kurang massif? Para jomlo yang di panggung itu buktinya. Adapun bukti lain bisa dicek di jagad maya. Betapa masih banyak warganet Yogyakarta yang belum paham tentang Sumbu Filosofi.
Sore telah berganti malam. Saya amati hingga hari ketiga (hari terakhir), pengunjung masih memadati FAY. Tentu mereka tidak semata-mata berharap memperoleh nasi kucing gratis yang memang tersedia. Sebab kenyataannya, jauh lebih banyak pengunjung yang membeli jajanan lain dan itu tidak gratis.
Kiranya memang benar bahwa masyarakat Yogyakarta gemar nglithih ke angkringan. Karena itu tidak ada salahnya kalau secara resmi di kemudian hari nanti, angkringan ditahbiskan menjadi ikon Yogyakarta melalui sebuah prosesi seremonial apalah-apalah.
Nah! Kalau menurut Anda bagaimana? Apakah Festival Angkringan Yogyakarta yang saya ceritakan ini, seketika bikin Anda terkenang pada sepotong masa lalu di Yogyakarta?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H